“Perkembangan
isu ijazah palsu Jokowi per hari Rabu (16/04/2025) menunjukkan fenomena
kebuntuan hukum dan ketidakmampuan hukum positif untuk mengatasi isu ijazah
palsu Jokowi,” rilisnya Kamis (17/04/2025) kepada TintaSiyasi.ID.
Kiai Shiddiq
menyatakan, “Mengapa demikian? Karena di satu sisi, pihak TPUA (Tim Pembela
Ulama dan Aktivis) menuntut Jokowi menunjukkan ijazah aslinya. Sementara di
sisi lain, Jokowi dan para kuasa hukumnya berkeras kepala berpegang pada
prinsip hukum “Barangsiapa yang mendalilkan, maka dia harus membuktikan”.
Artinya, beban pembuktian itu menjadi kewajiban TPUA, bukan kewajiban Jokowi.”
Maka dari
itu, imbuhnya, Jokowi berkeras kepala hanya mau menunjukkan ijazah aslinya di
pengadilan, atau jika diperintahkan oleh pengadilan. “Sikap Jokowi dan para
kuasa hukumnya itu seolah-olah nampak benar dan logis, yaitu menyelesaikan isu
ijazah palsu Jokowi di pengadilan,” ujarnya.
“Akan tetapi,
dalam konteks kekinian, menyelesaikan sengketa di pengadilan, bukan pilihan
yang tepat dan malah terlihat naif, dengan 2 (dua) alasan sbb,” sebutnya.
Pertama,
tingkat kepercayaan masyarakat kepada lembaga pengadilan sedang anjlok secara
drastis, setelah terbongkarnya kaus suap 20 miliar rupiah bagi Ketua Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan dkk, dalam kasus korupsi CPU (crude palm oil).
Kedua,
Jokowi sudah terbukti melakukan berbagai intervensi (cawè-cawè) pada berbagai
lembaga, termasuk MK (Mahkamah Konstitusi) yang akhirnya meloloskan Gibran
menjadi wapres, dengan mengubah norma hukum tentang usia minimal wapres.
Ia
menegaskan, “Maka dari itu, isu ijazah palsu Jokowi nampaknya berada pada
pilihan-pilihan sulit yang mengarah pada kebuntuan hukum, karena pihak Jokowi
berpegang dengan kaidah hukum mengenai beban pembuktian “Barang siapa
mendalilkan (mendakwa/menuduh), maka dia harus membuktikan.”.”
“Sementara
pihak penentang Jokowi jika ingin meladeni Jokowi lewat jalur hukum agar dapat
mengajukan bukti-bukti kepalsuan ijazah Jokowi, juga sangat dilematis. Ini
karena pengadilan saat ini bukanlah lembaga yang berisi hakim-hakim yang mulia,
yang jujur dan adil, melainkan lembaga yang sudah sangat busuk yang dipenuhi
oleh hakim-hakim korup yang hina dan cenderung hanya membela siapa yang bayar,”
ulasnya.
“Di sinilah
perlu terobosan hukum, khususnya terobosan menurut Fikih Islam bagaimana
caranya menyelesaikan kebuntuan hukum dalam isu ijazah palsu Jokowi,” ujarnya.
Terobosan Fikih
Islam
Terobosan Fikih
Islam yang kami maksudkan adalah 2 (dua) poin sbb;
Pertama,
dalam Fikih Islam, meskipun pada dasarnya beban pembuktian itu menjadi
kewajiban pihak yang menuduh (mendalilkan), namun dalam Fikih Islam terdapat
anjuran atau kesunahan agar pihak tertuduh menunjukkan bukti-bukti bantahan
yang dapat mementahkan tuduhan.
“Kesunahan
menunjukkan bukti-bukti bagi pihak tertuduh ini, dapat berubah hukumnya menjadi
wajib, jika pihak yang dituduh merupakan ulama atau pemimpin masyarakat yang
menjadi panutan,” bebernya.
Kedua,
dalam Fikih Islam, penyelesaian sengketa (al-khushūmāt, dispute) tidak
hanya dapat dilakukan di pengadilan (al-qadhā`), namun dapat juga dilakukan
di luar pengadilan, yaitu dapat memilih salah satu dari dua jalur hukum Islam
sbb:
(1)
perdamaian (al-shulhu/al-ishlāh) antara dua pihak yang bersengketa,
tanpa melibatkan pihak ketiga.
(2)
arbitrase (al-tahkīm, arbitration), yaitu penyelesaian sengketa di
antara dua pihak, dengan melibatkan pihak ketiga yang disebut muhakkam
(mediator nonhakim).
“Jadi,
penyelesaian sengketa seputar isu ijazah palsu Jokowi saat ini, menurut kami
tidak layak diserahkan kepada pengadilan saat ini, karena lembaga pengadilan
saat ini tidak layak dipercaya oleh publik, karena kasus korupsi para hakimnya
yang sudah sangat gila-gilaan dan karena teramat rawan terjadi intervensi
(cawè-cawè) kepada para hakim, baik intervensi oleh penguasa
(eksekutif/pejabat) dengan kekuatan kekuasaannya maupun oleh pengusaha
(oligarki) dengan kekuatan uangnya,” ulasnya lebih lanjut.
Penjelasan
Poin Pertama
Dalam Fikih
Islam, pada dasarnya beban pembuktian itu memang menjadi kewajiban pihak yang
menuduh (mendalilkan). Dalilnya (dasarnya) adalah Hadis Nabi saw. berikut ini:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله
عليه وسلم قَالَ: لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ لاَدَّعَى رِجَالٌ
أَمْوَالَ قَومٍ وَدِمَاءَهُمْ، وَلَكِنِ البَيِّنَةُ عَلَى المُدَّعِي،
وَاليَمِيْنُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ. حَدِيْثٌ حَسَنٌ رَوَاهُ اْلبَيْهَقِيّ وغيره
هَكَذَا بَعْضُهُ فِيْ الصَّحِيْحَيْنِ.
Dari Ibnu
‘Abbas RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Seandainya setiap orang dikabulkan
sesuai dengan dakwaannya niscaya orang-orang akan menuntut harta dan darah
suatu kaum. Akan tetapi bukti itu harus ditegakkan oleh orang yang mendakwakan
dan sumpah itu wajib diberikan oleh orang yang mengingkari (dakwaan).” (Hadis
hasan diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dan ahli hadis lainnya. Sebagian lafaznya
terdapat dalam Shahīh Al-Bukhārī dan Shahīh Muslim). (HR
Al-Baihaqi (10/252) dan sebagian lafazhnya diriwayatkan oleh Al-Bukhārī (2514,
2668 dan 4552) dan Muslim (1711). (Muhammad Al-Zuhailī, Al-Qawā’id
Al-Fiqhiyyah wa Tathbīqātuhā fī Al-Madzāhib Al-Arba’ah, hlm. 589-590).
Dalil hadis
tersebut dalam redaksi yang lebih ringkas, berbunyi:
الْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِي وَالْيَمِيْنُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ
Bukti harus
ditunjukkan oleh pihak yang mendakwakan, sedangkan sumpah diberikan oleh pihak
yang mengingkari (dakwaan itu). (HR Al-Dāraquthnī, dari
‘Abdullāh bin ‘Amr bin Al-‘Āsh ra.).
Kiai Shiddiq
menukil pendapat Imam Nawawi yang memberi syarah (penjelasan) untuk hadis di
bawah dengan berkata:
وَهَذَا الْحَدِيثُ قَاعِدَةٌ كَبِيرَةٌ مِنْ قَوَاعِدِ أَحْكَامِ
الشَّرْعِ، فَفِيهِ أَنَّهُ لَا يُقْبَلُ قَوْلُ الْإِنْسَانِ فِيمَا يَدَّعِيهِ
بِمُجَرَّدِ دَعْوَاهُ، بَلْ يَحْتَاجُ إِلَى بَيِّنَةٍ أَوْ تَصْدِيقِ
الْمُدَّعَى عَلَيْهِ، فَإِنْ طَلَبَ يَمِينَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ فَلَهُ ذَلِكَ
“Hadis ini
adalah satu kaidah yang agung di antara kaidah-kaidah syariah Islam. Jadi di
dalam hadis ini terdapat ketentuan bahwa tidak diterima perkataan manusia
mengenai apa saja yang dia dakwakan hanya dengan dakwaannya itu, melainkan
perkataannya itu memerlukan pembuktian, atau pembenaran (pengakuan) dari pihak
yang didakwa (dituduh). Jika pihak penuduh meminta pihak tertuduh untuk
bersumpah (dalam rangka untuk membantah tuduhan/dakwaan pihak penuduh), maka
pihak penuduh berhak untuk memintanya.” (Imam Nawawi, Syarah Shahīh Muslim,
11/36).
“Namun
demikian, dalam Fikih Islam, meskipun pada dasarnya beban pembuktian itu
menjadi kewajiban pihak yang menuduh (mendalilkan), namun dalam Fikih Islam
terdapat anjuran atau kesunahan agar pihak tertuduh menunjukkan bukti-bukti
bantahan yang dapat mementahkan tuduhan dari pihak pertama (yang
menuduh/mendalilkan),” katanya menambahkan penjelasan.
Dalilnya hadis
Nabi saw. sbb:
عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ صَفِيَّةَ بِنْتِ حُيَيٍّ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهَا أنَّهَا جَاءَتْ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
تَزُوْرُهُ وَهُوَ مُعْتَكِفٌ في الْمَسْجِدِ، في العَْشْرِ اْلأوَاخِرِ مِنْ
رَمَضَانَ، ثُمَّ قَامَتْ تَنْقَلِبُ، فَقَامَ مَعَهَا رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، حتَّى إذَا بَلَغَ قَرِيْبًا مِنْ بَابِ المَسْجِدِ
عِنْدَ بَابِ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النبيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
مَرَّ بهِمَا رَجُلَانِ مِنَ الأنْصَارِ، فَسَلَّمَا علَىَ رَسُوْلِ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ نَفَذَا، فَقَالَ لَهُمَا رَسُوْلُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عَلَى رِسْلِكُمَا إِنَّهَا صَفِيَّةُ
بِنْتُ حُيَيِّ، قَالَا: سُبْحَانَ اللَّهِ يَا رَسُوْلَ اللَّهِ! وَكَبُرَ
عَلَيْهِمَا ذَلِكَ، فَقالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
إنَّ الشَّيْطَانَ يَبْلُغُ مِنَ الإنْسَانِ مَبْلَغَ الدَّمِ، وَإنِّي خَشِيْتُ
أَنْ يَقْذِفَ في قُلُوْبِكُمَا شَيْئًا. رواه البخاري 3101
Artinya:
Dari Ummul
Mukminin Shafiyyah binti Huyay RA, bahwa beliau datang kepada Rasulullah saw.
mengunjungi beliau, sedang beliau sedang beriktikaf di masjid, pada sepuluh
hari terakhir di bulan Ramadan. Kemudian (setelah selesai) Shafiyah berdiri dan
hendak kembali, dan Rasulullah saw. (juga) berdiri dan membersamai Shafiyyah.
Hingga ketika Rasulullah saw. hendak mencapai pintu masjid di dekat pintu Ummu
Salamah (istri Nabi saw.), ada dua orang Anshar yang melintasi keduanya.
Keduanya mengucapkan salam kepada Rasulullah saw., kemudian hendak pergi. Lalu
Rasulullah saw., ”Hendaklah kalian berdua jalan perlahan-lahan! Sesungguhnya
dia itu Shafiyyah binti Huyay (istriku sendiri).” Keduanya berkata, ”Subhānalah,
wahai Rasulullah!” (Hal ini terasa berat bagi keduanya). Kemudian Rasulullah saw.
bersabda, ”Sesungguhnya setan itu dapat mencapai pada manusia segala bagian
tubuh yang dialiri oleh darah, dan sesungguhnya saya khawatir syaitan
melemparkan suatu tuduhan (yang tidak-tidak) ke dalam hati kalian berdua.” (HR
Al-Bukhari, no. 3101).
Lanjut dijelaskan,
Imam Al-Khaththābī memberi syarah (penjelasan) untuk hadis ini dengan berkata :
فِي هَذَا الْحَدِيثِ مِنْ الْعِلْمِ اسْتِحْبَابُ أَنْ يُحْذَرَ
الْإِنْسَانُ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ مِنْ الْمَكْرُوهِ مِمَّا تَجْرِي بِهِ
الظُّنُونُ، وَيَخْطِرُ بِالْقُلُوبِ، وَأَنْ يَطْلُبَ السَّلَامَةَ مِنْ النَّاسِ
بِإِظْهَارِ الْبَرَاءَةِ مِنْ الرِّيْبِ
“Dalam hadis
ini terdapat ilmu, bahwa disunahkan (dianjurkan) agar seseorang berhati-hati
terhadap setiap perkara yang tidak disukai (fitnah, tuduhan, dsb) yang dapat
mendatangkan berbagai prasangka (buruk) orang lain, atau menjadi pikiran
(negatif) dari orang lain. Hadis ini juga menuntut seseorang untuk mencari
posisi yang aman dari manusia dengan memperlihatkan bebasnya dia dari berbagai
prasangka.” (Imam Al-Khaththābī, Ma’ālimus Sunnan Syarah Sunan Abu Dāwud,
2/63; 3/314).
“Dengan
demikian, jelaslah bahwa dalam Fikih Islam, meskipun pada dasarnya beban
pembuktian untuk suatu tuduhan/klaim itu menjadi kewajiban pihak yang menuduh
(mendalilkan), namun terdapat kesunahan (anjuran) agar pihak tertuduh
menunjukkan bukti-bukti bantahan yang dapat mementahkan tuduhan dari pihak yang
menuduh (mendalilkan),” bebernya.
Bahkan untuk
orang-orang yang tertentu, lanjutnya, seperti para ulama, atau orang yang
menjadi panutan, semisal pemimpin, pejabat, dsb, upaya melepaskan diri dari
fitnahan atau tuduhan itu bukan sekedar anjuran (sunah), melainkan sudah
menjadi kewajiban syariat, sebagaimana diisyaratkan oleh Imam Ibnu Daqieqil
‘Ied:
فِي الْحَدِيثِ دَلِيلٌ عَلَى التَّحَرُّزِ مِمَّا يَقَعُ فِي الْوَهْمِ
نِسْبَةُ الْإِنْسَانِ إلَيْهِ مِمَّا لَا يَنْبَغِي، وَهَذَا مُتَأَكِّدٌ فِي
حَقِّ الْعُلَمَاءِ وَمَنْ يُقْتَدَى بِهِمْ، فَلَا يَجُوزُ لَهُمْ أَنْ
يَفْعَلُوا فِعْلًا يُوجِبُ ظَنَّ السُّوءِ بِهِمْ، وَإِنْ كَانَ لَهُمْ فِيهِ
مُخْلِصٌ، لِأَنَّ ذَلِكَ سَبَبٌ إِلَى إِبْطَالِ الِانْتِفَاعِ بِعِلْمِهِمْ
Artinya :
“Dalam hadis
ini terdapat dalil untuk menghindarkan diri agar (tidak) terjatuh pada waham
(prasangka lemah) yang menisbatkan manusia dengan hal-hal yang tidak
sepatutnya. Ini lebih tegas lagi bagi para ulama, dan bagi siapa saja yang
panutan. Jadi tidak boleh bagi mereka melakukan perbuatan yang dapat
mendatangkan prasangka buruk (sū’uzh zhann) kepada mereka, meskipun
mereka mempunyai alasan melepaskan diri (dari fitnahan, tuduhan, dsb) mengenai
perbuatan itu, karena adanya prasangka buruk itu dapat menyebabkan
tersia-siakannya ilmu dari mereka (ulama).” (Imam Al-Qasthalānī, Irsyād
Al-Sārī li Syarh Shahīh Al-Bukhārī, Juz IV, hlm. 608).
Penjelasan
Poin Kedua
Kiai Shiddiq
menyebutkan, dalam Fikih Islam, penyelesaian sengketa (al-khushūmāt, dispute)
tidak hanya dapat dilakukan di pengadilan (al-qadhā`), namun dapat juga
dilakukan di luar pengadilan, yaitu dapat memilih salah satu dari dua jalur
hukum Islam sbb:
(1),
perdamaian (al-shulhu/al-ishlāh) antara dua pihak yang bersengketa,
tanpa melibatkan pihak ketiga.
(2),
arbitrase (al-tahkīm, arbitration), yaitu penyelesaian sengketa di
antara dua pihak, dengan melibatkan pihak ketiga yang disebut muhakkam
(mediator nonhakim).
“Menyelesaikan
sengketa ini melalui pengadilan saat ini, tidak kami rekomendasikan, karena
hakim-hakimnya tidak dapat dipercaya, apalagi hukum yang digunakan untuk
mengadili, bukan hukum Islam,” sarannya.
Ia pun
menuturkan definisi perdamaian (al-shulhu/al-ishlāh) adalah:
اَلصُّلْحُ هُوَ عَقْدٌ يَرْفَعُ النِّزَاعَ بِالتَّرَاضِيْ
“Perdamaian (al-shulhu/al-ishlāh)
adalah suatu akad yang menghilangkan persengketaan, yang terjadi atas dasar
saling rida (suka sama suka).” (Rawwās Qal’ah Jī, Mu’jam Lughat Al-Fuqohā`,
hlm. 248).
Ia
menjelaskan dalil pensyariatan perdamaian (al-shulhu/al-ishlāh) adalah hadis
Nabi saw. berikut ini:
ألصُّلْحٌ جَائِزٌ بَيْنَ المُسلِمينَ، إلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلًا،
أَوْ أحَلَّ حَرَامًا
Perdamaian
itu boleh hukumnya di antara kaum Muslim, kecuali perdamaian yang mengharamkan
yang halal, atau yang menghalalkan yang haram. (HR
Al-Tirmidzi, no. 1352; Ibnu Majah, no. 2353; Abu Dawud, no. 3594; Ibnu Hibban,
no. 5091, Hadis shahih).
Sedangkan definisi
arbitrase/tahkīm disebutkan adalah:
اَلتَّحْكِيْمُ هُوَ اخْتَيارُ الْمُتُخَاصِمِيْنِ شَخْصًا لِيَحْكُمَ
بَيْنَهُمْ
“Tahkim
(arbitrase) adalah tindakan para pihak yang bersengketa untuk memilih seseorang
agar dia memutuskan hukum di antara mereka.” (Rawwās Qal’ah Jī, Mu’jam
Lughat Al-Fuqohā`, hlm. 103).
Dalil
pensyariatan tahkīm dari Al-Qur`an adalah firman Allah Swt.:
وَاِنۡ خِفۡتُمۡ شِقَاقَ بَيۡنِهِمَا فَابۡعَثُوۡا حَكَمًا مِّنۡ اَهۡلِهٖ
وَحَكَمًا مِّنۡ اَهۡلِهَا ۚ اِنۡ يُّرِيۡدَاۤ اِصۡلَاحًا يُّوَفِّـقِ اللّٰهُ
بَيۡنَهُمَا ؕ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيۡمًا خَبِيۡرًا
Dan jika kamu
khawatir terjadi persengketaan antara keduanya (suami istri), maka kirimlah
seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga
perempuan. Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan,
niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sungguh, Allah Maha Teliti,
Maha Mengenal. (QS An-Nisā`: 35).
Dalil
pensyariatan tahkīm dari As-Sunah antara lain hadis berikut ini:
عَنْ هَانِئِ بْنِ يَزِيْد بْنِ نهيك أَبِيْ شُرَيْحٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ: إِنَّ قَوْمِيْ إِذَا اخْتَلَفُوْا فِيْ شَيْءٍ أَتَوْنِيْ فَحَكَمْتُ
بَيْنَهُمْ فَرَضِيَ كِلَا الْفَرِيقَيْنِ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَا أَحْسَنَ مِنْ هَذَا
Dari Hāni`
bin Yazīd bin Nahīk Abu Syuraih ra., dia berkata (kepada Rasulullah saw.), “Sesungguhnya
kaumku jika mereka berselisih dalam suatu perkara, mereka datang kepadaku lalu
aku memutuskan perkara di antara mereka, dan kedua pihak merasa rida (terhadap
keputusan saya).” Maka Rasulullah saw. bersabda, ”Alangkah bagusnya kamu ini. (HR
Abu Dawud, no. 4955, Hadis shahih).
Ia menambahkan
bahwa dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa tahkīm (arbitrase) merupakan
suatu jalan syariat di luar pengadilan untuk menyelesaikan segala sengketa yang
terjadi di antara kaum Muslim.
“Menyelesaikan
sengketa ini melalui pengadilan saat ini, tidak kami rekomendasikan secara
mutlak, karena hakim-hakimnya tidak dapat dipercaya, karena moralnya pada bejat
(na’ūzhu billāh min dzālik), apalagi hukum yang digunakan untuk
mengadili, bukan hukum Islam,” ujarnya.
Ia
menegaskan, menyerahkan urusan kepada pihak yang tidak dapat dipercaya, artinya
menyerahkan urusan kepada orang yang bukan ahlinya, ini jelas tidak boleh dalam
agama Islam, sesuai hadis berikut ini;
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا ضُيِّعَتِ اْلأمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
قَالَ: كَيْفَ إضَاعَتُهَا يَا رَسُوْلَ اللَّهِ؟ قَالَ: إِذَا أُسْنِدَ اْلأمْرُ
إِلىَ غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ. رواه البخاري 59
Dari Abu
Hurairah ra., dia berkata, ”Rasulullah saw. telah bersabda, ’Jika amanah telah
disia-siakan, maka tunggulah Hari Kiamat. (Periwayat hadis) bertanya, ”Bagaimana
menyia-nyiakan amanah itu wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. bersabda, ”Jika
suatu perkara telah diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah
Hari Kiamat. (HR Al-Bukhari, no. 59).
“Apalagi
hukum yang digunakan untuk mengadili bukanlah hukum Islam, maka menyerahkan
sengketa kepada pengadilan saat ini, hukumnya haram tanpa keraguan lagi,”
sebutnya lugas.
Bagi hakim Muslim
yang mengingkari syariat Islam, berlaku firman Allah Swt.:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْكَٰفِرُونَ
Barangsiapa
yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir. (QS Al-Mā`idah : 44).
Adapun bagi
hakim Muslim yang masih beriman kepada syariat Islam, namun karena satu dan
lain hal mengadili dengan hukum selain Islam, berlaku kepada mereka firman
Allah Swt. pada dua ayat berikut ini:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ
Barangsiapa
yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang zalim. (QS Al-Mā`idah: 45).
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ
Barangsiapa
yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang fasik. (QS Al-Mā`idah: 47).
Penutup
“Demikianlah
penjelasan kami mengenai terobosan Fikih Islam yang dapat digunakan sebagai
solusi kebuntuan hukum dalam isu ijazah palsu Jokowi. Intinya adalah sebagai
berikut,” tuturnya.
Pertama,
dalam Fikih Islam, meskipun pada dasarnya beban pembuktian itu menjadi
kewajiban pihak yang menuduh (mendalilkan), namun dalam Fikih Islam terdapat
anjuran atau kesunahan agar pihak tertuduh menunjukkan bukti-bukti bantahan
yang dapat mementahkan tuduhan.
“Kesunahan
menunjukkan bukti-bukti bagi pihak tertuduh tersebut dapat berubah hukumnya
menjadi wajib, jika pihak yang dituduh merupakan ulama atau pemimpin masyarakat
yang menjadi panutan,” jelasnya.
Kedua,
dalam Fikih Islam, penyelesaian sengketa (al-khushūmāt, dispute) tidak
hanya dapat dilakukan di pengadilan (al-qadhā`), namun dapat juga
dilakukan di luar pengadilan, yaitu dapat memilih salah satu dari dua jalur
hukum Islam sbb:
(1),
perdamaian (al-shulhu/al-ishlāh) antara dua pihak yang bersengketa,
tanpa melibatkan pihak ketiga.
(2),
arbitrase (al-tahkīm, arbitration), yaitu penyelesaian sengketa di
antara dua pihak, dengan melibatkan pihak ketiga yang disebut muhakkam
(mediator nonhakim).
“Penyelesaian
sengketa seputar isu ijazah palsu Jokowi saat ini tidak layak diserahkan kepada
pengadilan yang ada pada saat ini. Wallāhu a’lam,” tuntasnya.[] Rere