TintaSiyasi.id -- Setiap tahun, umat Islam di berbagai belahan dunia menghadapi perbedaan dalam penetapan tanggal 1 Syawal. Fenomena ini bukan sekadar persoalan teknis dalam metode penentuan awal bulan hijriah, tetapi juga mencerminkan keterpecahan umat akibat sistem sekuler kapitalisme yang mengukuhkan nation-state. Padahal, dalam sejarah Islam, keputusan terkait ibadah yang bersifat publik selalu berada di bawah otoritas seorang khalifah yang menetapkan hukum berdasarkan syariat, bukan kepentingan politik nasionalisme. Namun, sejak runtuhnya Khilafah Islamiyah pada 1924, umat Islam kehilangan pemimpin yang mampu menghindarkan mereka dari perpecahan dan menyatukan seluruh kaum Muslim dalam satu ketetapan yang mengikat.
Fakta-Fakta Perbedaan Penetapan 1 Syawal
Salah satu faktor utama yang menyebabkan perbedaan ini adalah metode rukyat dan hisab yang digunakan dalam menentukan awal bulan Syawal. Rukyat mengandalkan pengamatan langsung terhadap hilal setelah matahari terbenam pada hari ke-29 bulan hijriah, sedangkan hisab menggunakan perhitungan astronomi untuk menentukan posisi hilal tanpa pengamatan langsung. Di Indonesia, perbedaan ini tampak jelas dalam keputusan organisasi seperti Muhammadiyah, yang menggunakan hisab wujudul hilal, sementara Nahdlatul Ulama (NU) dan pemerintah cenderung mengandalkan rukyat. Selain itu, negara-negara Muslim memiliki standar berbeda dalam menentukan kemungkinan hilal dapat terlihat, di mana Indonesia mengikuti kriteria MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura).
Namun, perbedaan ini bukan sekadar persoalan teknis. Dalam sistem Islam, khalifah sebagai pemimpin umat memiliki otoritas mutlak dalam mengambil keputusan yang mengikat seluruh kaum Muslim. Dengan adanya khalifah, perbedaan ijtihad dalam metode penentuan hilal dapat diselesaikan dalam satu keputusan yang menghindarkan umat dari kebingungan dan perpecahan. Oleh karena itu, ketidakhadiran seorang pemimpin Islam global membuat masalah ini terus berulang setiap tahun, tanpa solusi yang benar-benar menyatukan umat Islam dalam satu ketetapan syar'i.
Sekularisme dan Nation-State sebagai Akar Perpecahan
Ketidakadaan otoritas Islam global telah menjadikan umat Islam kehilangan arah dalam menetapkan keputusan-keputusan fundamental. Sistem nation-state yang mengakar di dunia Muslim saat ini menjadikan Islam hanya sebatas urusan ibadah personal dan tidak lagi menjadi pedoman dalam kehidupan politik dan pemerintahan. Akibatnya, negara-negara Muslim terfragmentasi, masing-masing membuat keputusan sendiri tanpa merujuk pada satu otoritas Islam global yang sahih.
Lebih jauh, kapitalisme yang melahirkan sekularisme semakin memperparah kondisi ini dengan menggeser paradigma berpikir umat Islam. Akibatnya, perbedaan dalam penentuan 1 Syawal yang seharusnya menjadi bukti perlunya pemersatu justru dianggap sebagai dinamika yang wajar. Padahal, inilah salah satu bentuk disintegrasi umat yang paling nyata, di mana kaum Muslim terbiasa menerima perbedaan tanpa ada mekanisme yang menyatukan mereka dalam satu komando yang kuat dan berlandaskan hukum syarak. Tanpa institusi kepemimpinan yang menyatukan, perpecahan ini akan terus terjadi dan berulang setiap tahun.
Dalam konteks ini, Allah SWT telah memerintahkan umat Islam untuk tetap bersatu dan melarang perpecahan dalam agama-Nya:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai...” (QS. Ali Imran: 103)
Selain itu, Rasulullah ﷺ juga telah memperingatkan umat Islam agar tidak hidup tanpa pemimpin:
مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barang siapa yang mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada pemimpin Islam), maka ia mati dalam keadaan jahiliah.” (HR. Muslim No. 1851)
Khilafah sebagai Pemersatu Umat Islam
Maka dari itu, ketidakadaan kepemimpinan Islam global harus disadari sebagai akar utama perpecahan umat, termasuk dalam hal penentuan 1 Syawal. Dalam sistem Islam, khalifah adalah satu-satunya pemimpin yang memiliki wewenang untuk menetapkan keputusan yang mengikat seluruh kaum Muslim, termasuk penentuan hari raya. Dengan adanya seorang khalifah, perbedaan metode rukyat dan hisab tidak akan menyebabkan perpecahan, karena keputusan final akan ditetapkan dan diterapkan kepada seluruh umat Islam secara syar'i, di bawah naungan khilafah.
Lebih dari sekadar menetapkan waktu ibadah, keberadaan khalifah juga memastikan bahwa hukum Islam diterapkan secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Keputusan-keputusan yang dibuat bukan didasarkan pada pertimbangan geopolitik atau kepentingan negara tertentu, tetapi pada ketundukan penuh pada syariat Allah SWT. Oleh karena itu, Khilafah Islamiyah bukan hanya solusi untuk polemik penetapan 1 Syawal, tetapi juga jawaban bagi seluruh problematika umat yang lahir akibat absennya institusi kepemimpinan Islam yang sahih.
Sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
“Sesungguhnya Imam (Khalifah) itu adalah perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR. Muslim No. 1841)
Penutup
Dengan demikian, perbedaan dalam penetapan 1 Syawal bukan hanya persoalan teknis, tetapi bukti nyata dari keterpecahan umat akibat sekularisme dan sistem nation-state. Tanpa kepemimpinan Islam global, perbedaan ini akan terus terjadi, memperlihatkan betapa umat Islam kini kehilangan otoritas tunggal yang mampu menyatukan mereka dalam satu ketetapan yang bersumber dari syariat. Oleh karena itu, solusi hakiki bukanlah menyeragamkan metode perhitungan atau mencari kompromi antar-negara, melainkan menegakkan kembali Khilafah Islamiyyah sebagai institusi yang akan mengakhiri perpecahan dan mengembalikan umat Islam pada persatuan sejati di bawah naungan hukum Allah SWT. Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Rahmiani Tiflen, S.Kep.
Aktivis Muslimah