TintaSiyasi.id -- Lonjakan kasus HIV/AIDS di Kabupaten Kaimana sepanjang 2024 bukan sekadar alarm krisis kesehatan, melainkan bukti nyata kegagalan sistem sekuler dalam menjaga moral dan tatanan sosial masyarakat. Di balik angka-angka itu tersembunyi kerusakan yang lebih dalam—runtuhnya kontrol sosial, longgarnya norma terhadap perilaku menyimpang, serta kebijakan yang hanya bersifat tambal sulam. Selama akar persoalan ini diabaikan, upaya pencegahan tak ubahnya menampung air dengan keranjang bocor. Allah SWT telah memperingatkan: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (TQS. Al-Isra: 32). Maka tak heran jika penyebaran HIV/AIDS terus membayangi, selama masyarakat dibiarkan larut dalam kebebasan tanpa batas.
Lonjakan Kasus HIV/AIDS dan Faktor Penyebabnya
Fenomena peningkatan kasus HIV/AIDS di Kabupaten Kaimana, Papua Barat, sepanjang tahun 2024, tidak terlepas dari berbagai faktor yang saling berkaitan. Berdasarkan laporan dari Puskesmas Kaimana, sebanyak 51 kasus baru HIV terdeteksi tahun ini, menambah jumlah total penderita di wilayah tersebut menjadi 505 orang (RRI, 29/03/2025).
Tren peningkatan ini sejalan dengan data dari Provinsi Papua Barat, yang mencatat 540 kasus baru dalam periode yang sama. Bahkan secara nasional, jumlah penderita HIV di Indonesia telah mencapai 526.841 kasus hingga tahun 2024, dengan 76% kasus terkonsentrasi di 11 provinsi utama (Kemenkes RI, 2025).
Jika ditelaah lebih jauh, penyebaran HIV/AIDS di Indonesia, termasuk di Kabupaten Kaimana Papua Barat, sebagian besar dipicu oleh perilaku seksual berisiko. Tidak seperti di daerah perkotaan yang notabene memiliki high risk tambahan seperti penggunaan jarum suntik narkotika, di Kabupaten sendiri, penyebaran virus ini lebih dominan transmisinya melalui seks bebas. Di sisi lain kemudahan akses terhadap praktik prostitusi, serta makin lunturnya kontrol sosial terhadap perilaku menyimpang, menjadi faktor utama yang juga turut mempercepat penyebaran virus. Sayangnya, meskipun kasus HIV/AIDS terus meningkat, upaya pencegahan yang dilakukan masih bersifat parsial dan tidak menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya.
Tinjauan Kritis terhadap Sistem Sekuler Kapitalisme
Melihat kondisi ini, tampak jelas bahwa pendekatan yang digunakan dalam sistem sekuler kapitalisme masih jauh dari solusi yang efektif. Sampai saat ini, respons pemerintah terhadap HIV/AIDS cenderung berfokus pada aspek medis, seperti penyediaan pengobatan melalui BPJS serta kampanye pencegahan yang lebih menekankan pada penggunaan alat kontrasepsi dan pemeriksaan rutin. Namun, kebijakan ini hanya menangani dampak dari perilaku berisiko, tanpa menyentuh faktor utama yang menyebabkan maraknya praktik seks bebas di masyarakat.
Lebih dari itu, sistem sekuler kapitalisme justru memperparah keadaan dengan menjunjung tinggi kebebasan individu tanpa mempertimbangkan dampak sosial jangka panjang. Dengan dalih Hak Asasi Manusia (HAM), kebebasan dalam memilih gaya hidup—termasuk dalam aspek seksual—ditempatkan di atas pertimbangan moral dan etika. Akibatnya, berbagai praktik yang jelas-jelas berisiko, seperti prostitusi dan hubungan seksual di luar pernikahan, semakin dinormalisasi. Media dan industri hiburan, yang dikendalikan oleh para kapitalis pun turut berperan dalam menyebarluaskan gaya hidup hedonis yang mendorong masyarakat untuk mengutamakan kenikmatan sesaat tanpa memikirkan konsekuensinya.
Allah SWT telah memperingatkan umat manusia agar tidak terjerumus dalam perilaku menyimpang ini: ”Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (TQS. Al-Isra: 32)
Konsekuensi dari kebebasan (liberal) ini tidak hanya terbatas pada meningkatnya jumlah penderita HIV/AIDS, tetapi juga berimbas pada meningkatnya angka keluarga tanpa kejelasan nasab, perceraian, hingga krisis moral yang semakin meluas. Meskipun pemerintah telah menjamin pengobatan HIV/AIDS melalui BPJS sehingga biaya pengobatan tidak lagi menjadi kendala utama bagi penderita, fakta bahwa kasus infeksi baru terus meningkat menunjukkan bahwa kebijakan saat ini belum menyentuh akar permasalahan. Rasulullah SAW telah memperingatkan umatnya akan bahaya dari perilaku menyimpang ini:
”Tidaklah tampak perbuatan keji (zina) pada suatu kaum sehingga mereka melakukannya secara terang-terangan, melainkan akan menyebar di tengah-tengah mereka penyakit tha’un dan penyakit-penyakit yang belum pernah ada pada generasi sebelumnya.” (HR. Ibnu Majah)
Islam Menangani HIV/AIDS Secara Mendasar
Berbeda dengan pendekatan sekuler yang hanya menangani dampak dari penyebaran HIV/AIDS, Islam menawarkan solusi yang bersifat mendasar dan menyeluruh. Islam mengatur kehidupan manusia dengan landasan ketakwaan, yang dimulai dari individu, dikukuhkan melalui kontrol masyarakat, dan ditegakkan oleh negara dengan penerapan hukum-hukum syariah secara menyeluruh.
Pertama. Ketakwaan individu dan keluarga.
Pencegahan HIV/AIDS dalam Islam bermula dari pembentukan ketakwaan individu yang berakar dalam keluarga. Islam mewajibkan orang tua untuk mendidik anak-anak mereka dengan nilai-nilai Islam sejak dini, membangun kesadaran akan pentingnya menjaga kehormatan diri, serta menanamkan pemahaman bahwa hubungan seksual hanya diperbolehkan dalam ikatan pernikahan. Allah SWT berfirman: ”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (TQS. At-Tahrim: 6)
Melalui pendidikan berbasis Islam, individu akan memiliki kesadaran tinggi untuk menjauhi zina dan perilaku menyimpang lainnya. Rasulullah SAW juga menekankan pentingnya pemilihan pasangan hidup yang berlandaskan agama, bukan sekadar fisik atau harta, agar terbentuk rumah tangga yang kokoh dan jauh dari kehancuran moral. Dalam Islam, interaksi antara laki-laki dan perempuan juga diatur dengan jelas untuk mencegah perbuatan yang mengarah kepada zina. Menutup aurat, menjaga pandangan, serta menghindari pergaulan bebas adalah bagian dari langkah pencegahan yang diwajibkan dalam syariat.
Kedua. Kontrol masyarakat.
Selain membangun ketakwaan individu, Islam juga menetapkan mekanisme kontrol sosial dalam masyarakat melalui konsep amar makruf nahi mungkar (memerintahkan yang baik dan mencegah yang mungkar). Masyarakat memiliki kewajiban untuk saling mengingatkan dan mencegah berbagai bentuk kemaksiatan, termasuk seks bebas dan penyebaran HIV/AIDS. Rasulullah SAW bersabda: ”Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya (kekuasaan). Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Masyarakat Islam seharusnya tidak bersikap permisif terhadap perilaku menyimpang. Prostitusi, perzinaan, dan perilaku menyimpang lainnya harus dicegah melalui penyuluhan berbasis Islam serta dukungan dari komunitas yang berlandaskan ukhuwah Islamiyah. Kehidupan sosial harus dibangun di atas akhlak mulia, bukan kebebasan individu yang tanpa batas sebagaimana dalam sistem sekuler kapitalisme.
Ketiga. Peran negara.
Pilar utama dalam pencegahan HIV/AIDS secara menyeluruh adalah peran negara dalam menerapkan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Khilafah bukan hanya menegakkan hukum pidana bagi pelaku zina, tetapi juga membangun sistem yang berlandaskan syariat untuk mencegah timbulnya perilaku menyimpang dari akarnya.
Sistem sosial. Negara wajib menata interaksi sosial berdasarkan syariat Islam, dengan memisahkan ruang sosial laki-laki dan perempuan kecuali dalam keadaan yang diizinkan syariat. Penerapan aturan berpakaian yang sesuai dengan syariat Islam, seperti kewajiban menutup aurat bagi laki-laki dan perempuan, akan menjaga kesucian masyarakat dan menghindarkan dari eksploitasi seksual. Islam juga melarang segala bentuk promosi pergaulan bebas dan pornografi yang banyak beredar di media dalam sistem sekuler kapitalisme saat ini. Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah rasa malu." (HR. Ibnu Majah)
Dengan adanya kontrol ketat terhadap norma sosial yang sesuai syariat, perilaku yang menjadi penyebab utama penyebaran HIV/AIDS, seperti zina dan seks bebas, dapat dicegah secara efektif.
Sistem pendidikan. Pendidikan Islam memiliki peran strategis dalam membentuk karakter individu dan masyarakat. Dalam sistem sekuler saat ini, pendidikan sering kali berfokus pada aspek kognitif dan keterampilan, tetapi kurang dalam membentuk akhlak dan ketakwaan. Akibatnya, banyak generasi muda yang tidak memiliki kesadaran tentang batasan moral dalam interaksi sosial. Selain itu, pendidikan seks yang diajarkan di sekolah sering kali mengedepankan konsep “seks aman” dengan pendekatan biologis semata, tanpa menanamkan nilai-nilai moral dan tanggung jawab dalam hubungan laki-laki dan perempuan. Pendekatan ini, meskipun bertujuan untuk mengedukasi, justru bisa memberikan kesan permisif terhadap perilaku seksual di luar pernikahan.
Dalam Islam, pendidikan bukan hanya berorientasi pada akademik, tetapi juga membentuk kepribadian Islam yang kuat. Islam mengajarkan pentingnya menjaga kesucian diri dan menjauhkan diri dari perbuatan yang mendekati zina. Sebagaimana firman Allah SWT: ”Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (TQS. Al-Isra: 32)
Khilafah akan memastikan bahwa pendidikan menanamkan nilai-nilai Islam sejak dini, membentuk pemahaman yang benar tentang relasi laki-laki dan perempuan sesuai dengan syariat, serta menanamkan rasa tanggung jawab dalam membangun keluarga yang sah serta berada dalam rida Allah SWT. Dengan sistem pendidikan Islam, generasi yang lahir akan memiliki kesadaran tinggi untuk menjaga diri dan menjauhi perilaku yang dapat menjerumuskan mereka ke dalam risiko penyebaran HIV/AIDS.
Sistem ekonomi. Dalam sistem kapitalisme, kemiskinan sering kali menjadi faktor pendorong seseorang terjerumus ke dalam prostitusi dan eksploitasi seksual. Islam menyelesaikan masalah ini dengan menerapkan sistem ekonomi yang menjamin kesejahteraan rakyat. Negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan yang halal, memastikan distribusi kekayaan yang adil, serta melarang praktik ekonomi ribawi yang hanya menguntungkan segelintir orang. Islam juga menetapkan bahwa nafkah adalah tanggung jawab laki-laki, baik sebagai ayah, suami, atau wali, sehingga perempuan tidak dipaksa untuk mencari nafkah dengan cara yang bertentangan dengan syariat. Dengan sistem ekonomi Islam, faktor ekonomi sebagai penyebab praktik prostitusi dan pergaulan bebas dapat dihilangkan secara sistematis.
Sistem politik dan pemerintahan. Negara dalam Islam memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa seluruh kebijakan yang diambil berpihak pada kemaslahatan umat. Dalam sistem sekuler, banyak kebijakan yang justru melanggengkan kebebasan seksual dengan alasan hak asasi manusia. Namun dalam Islam, kebijakan negara harus berlandaskan hukum syara yang bertujuan menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kebijakan dalam Kekhilafahan Islam akan melarang segala bentuk legalisasi prostitusi, peredaran narkoba, dan konten pornografi yang merusak moral masyarakat. Khilafah juga akan menindak tegas individu atau kelompok yang mempromosikan kebebasan seksual yang bertentangan dengan Islam.
Sistem sanksi. Dalam Islam, negara memiliki kewajiban untuk menerapkan sanksi tegas terhadap pelanggaran syariat sebagai bentuk pencegahan dan efek jera. Allah SWT berfirman: ”Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah masing-masing dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir.” (QS. An-Nur: 2)
Islam pun menerapkan hukum sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Zawajir mencegah masyarakat dari perbuatan maksiat dengan hukuman tegas, sementara jawabir menjadi penebus dosa di dunia agar tidak dihukum di akhirat. Dalam kasus zina, Allah SWT berfirman: ”Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah masing-masing dari keduanya seratus kali dera...” (TQS. An-Nur: 2)
Sanksi bagi pezina belum menikah adalah cambuk 100 kali dan pengasingan, sedangkan yang sudah menikah dirajam. Homoseksual juga dikenai hukuman tegas sebagaimana dalam sunnah Rasulullah SAW. Khilafah juga memastikan lingkungan yang bersih dari pornografi, prostitusi, dan pergaulan bebas yang menjadi penyebab utama penyebaran HIV/AIDS. Dengan hukum yang konsisten, Islam tidak hanya menghukum pelaku, tetapi juga melindungi masyarakat dari kehancuran moral dan kesehatan.
Penutup
Dengan demikian maka jelas bahwa solusi Islam terhadap HIV/AIDS bukanlah solusi parsial, tetapi menyeluruh dan mendasar. Islam membangun ketakwaan individu sejak dalam keluarga, menguatkan kontrol sosial melalui amar makruf nahi mungkar, dan menerapkan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan melalui negara. Selama sistem sekuler kapitalisme masih diterapkan, HIV/AIDS akan terus menjadi ancaman yang sulit dikendalikan. Hanya dengan kembali kepada sistem Islam yang kaffah, dengan menata setiap aspek kehidupan berdasarkan wahyu Allah SWT, maka masyarakat dapat hidup dalam lingkungan yang bersih, sehat, dan bermartabat. Wallahu a’lam bishshawab. []
Oleh: Rahmiani Tiflen, S.Kep.
Aktivis Muslimah & Nakes