TintaSiyasi.id -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, per Pebruari 2025 total utang masyarakat Indonesia lewat layanan Buy Now Pay Later (BNPL) atau yang lebih akrab disebut PayLater di sektor perbankan menyentuh angka Rp 21,98 triliun. (Liputan6.com, 11/4/2025)
Sementara itu, Presiden Direktur (Presdir) PT. Bank Central Asia Tbk (BCA) juga menyampaikan bahwa ketidakpastian ekonomi, e-Commerce, pinjaman online (Pinjol), peningkatan pajak hingga judi online (Judol) ini lah yang diduga kuat menjadi penyebab daya beli masyarakat turun pada tahun 2024 dibandingkan tahun 2023. Seperti yang telah diketahui bahwa selama pandemi, platform e-commerce memberikan diskon, gratis ongkos kirim, dan promo lainnya untuk mendapatkan income dari pengguna. Di tahun 2022, uang yang digelontorkan untuk subsidi belanja online ini tembus Rp80 triliun. (Suara.com, 29/9/2024)
Turunnya daya beli masyarakat tidak hanya terjadi di DKI Jakarta, tetapi juga terjadi di berbagai daerah. Selain dari pengaruh peningkatan e-Commerce, maraknya PHK yang terjadi di masyarakat, naiknya harga-harga, beban utang yang semakin meningkat, serta lesunya ekonomi secara global juga berdampak pada semakin menambah turunnya daya beli di tengah masyarakat. Himpitan ekonomi yang semakin menyesakkan dada membuat masyarakat memutar otak untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, tidak sedikit yang berutang dengan memanfaatkan Paylater (pembayaran nanti) dalam belanjanya. Apalagi belanja saat ini bisa dilakukan secara online hingga paylater dianggap memudahkan. Hal ini menjadi tren di tengah masyarakat terlebih pada generasi muda. Dengan adanya aplikasi ini dianggap oleh masyarakat “memudahkan” untuk memenuhi kebutuhan tanpa berpikir jumlah utang yang semakin menumpuk. Apalagi sifat konsumtif pada masyarakat terbilang tinggi. Walhasil, kondisi ini semakin memperburuk ekonomi masyarakat.
Oleh karena itu, semua ini adalah akibat dari penerapan sistem kapitalisme. Besarnya arus budaya konsumerisme yang masuk ke negeri ini mengakibatkan keinginan masyarakat tidak terbendung, dan kebahagiaan bagi masyarakat yang hanya diukur dengan standar materi semata. Maka, adanya paylater semakin mendorong arus konsumerisme ditengah masyarakat. Bahkan tidak sedikit masyarakat yang menanggung utang hanya demi memenuhi gaya hidup.
Paylater yang marak saat ini berbasis ribawi. Dalam Islam hukum nya haram. Alih-alih menjadi solusi bagi kesulitan ekonomi masyarakat. Paylater justru berpotensi menambah beban masalah ditengah masyarakat, menambah dosa, dan akan menjauhkan hidup kita dari keberkahan. Nampak sekilas dengan adanya paylater masyarakat yang berpikiran dangkal merasa dimudahkan, padahal sebenarnya menyengsarakan kehidupan sebab riba adalah dosa besar.
Sistem Islam akan menutup celah budaya konsumerisme, sebab setiap perbuatan akan ada pertanggungjawabannya di hadapan Allah SWT. Jika sistem Islam kaffah yang diterapkan dalam kehidulan masyarakat. Masyarakat akan terbentuk ketakwaannya sehingga yang menjadi bahagia pun bukan dari sisi materi tapi karena mendapatkan ridha Allah SWT. Penerapan Islam kaffah akan menjamin kesejahteraan rakyat. Sistem ekonomi Islam memiliki mekanisme untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat individu per individu.
Praktik ribawi dengan segala bentuknya akan dihapuskan dalam negara Islam karena negara yaitu khilafah yang akan menjaga agar rakyat jauh dari keharaman. Sehingga tidak akan ada praktek riba ditengah masyarakat. Sanksi yang tegas juga akan diberikan oleh negara apabila ada yang melanggar. Sehingga tidak akan ada lagi pelaku riba baik secara nyata maupun secara online.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Pipit Ayu
Aktivis Muslimah