“Jagalah
mata, lisan, dan seluruh anggota tubuhmu. Bersungguh-sungguhlah dalam
penjagaannya dan jangan biarkan rasa malas melemahkanmu.”
Kalimat ini
bukan sekadar ajakan etis, tetapi merupakan fondasi dalam perjalanan menuju marifatullah.
Setiap anggota tubuh adalah amanah. Mata yang semestinya digunakan untuk
melihat tanda-tanda kebesaran-Nya, bisa menjadi sumber fitnah jika tidak
dikendalikan. Lisan yang diciptakan untuk zikir dan menyampaikan kebenaran,
bisa berubah menjadi sumber dosa jika digunakan untuk gibah, dusta, dan
kata-kata yang menyakitkan.
Begitu pula
dengan tangan, kaki, dan semua bagian tubuh lainnya.
Imam
Al-Ghazali menyebut bahwa tubuh ini adalah kendaraan dalam perjalanan menuju
Allah. Jika kendaraan ini rusak karena kelalaian, maka perjalanan akan
terhambat, atau bahkan terhenti sama sekali. Maka, mujahadat—kesungguhan dalam
menjaga diri—adalah syarat utama dalam menempuh jalan menuju rida-Nya.
Di zaman yang
serba terbuka ini, godaan datang dari segala arah. Layar-layar kecil di
genggaman bisa menjadi pintu masuk berbagai maksiat mata dan telinga.
Ucapan-ucapan di ruang digital seringkali kehilangan adab dan rasa takut kepada
Allah. Maka lebih dari sebelumnya, seruan Imam Al-Ghazali menjadi semakin
relevan: jangan biarkan anggota tubuh ini bergerak tanpa kendali iman dan
taqwa.
Mulailah
dengan kesungguhan. Bangun niat yang jujur untuk menjaga tubuh ini sebagai
amanah dari Allah. Disiplinkan diri untuk berkata yang baik atau diam,
menundukkan pandangan, menahan tangan dari menyakiti, serta melangkahkan kaki
hanya ke arah yang diridai-Nya. Di situlah awal kebersihan jiwa akan tumbuh,
dan pintu makrifat akan mulai terbuka.
Sejatinya,
penjagaan terhadap anggota tubuh bukan hanya bentuk ibadah, tetapi juga
ekspresi dari rasa malu dan cinta kepada Allah. Barangsiapa yang malu
kepada-Nya, niscaya ia akan menjaga gerak tubuhnya. Dan barangsiapa
mencintai-Nya, maka ia akan merasa cukup hanya dengan yang halal dan diridai.
Semoga Allah
membimbing kita untuk mampu menjaga amanah tubuh ini, hingga setiap langkah,
tatapan, dan kata yang keluar dari diri kita menjadi saksi akan cinta dan
pengabdian kita kepada-Nya.
Pertama:
Mata, Jendela Hati
Wahai jiwa
yang merindukan Allah, mulailah penjagaanmu dari yang paling halus namun paling
berpengaruh: mata.
Imam
Al-Ghazali menjelaskan bahwa mata adalah jendela hati. Apa yang dilihat akan
menetap di dalam dada, menjadi bayangan yang terus membekas. Karena itu, engkau
wajib menjaga matamu dari segala sesuatu yang diharamkan. Pandangan yang
dibiarkan liar akan menanam benih syahwat dan kelalaian. Dari satu pandangan
bisa muncul keinginan, lalu dorongan, lalu perbuatan, dan akhirnya penyesalan.
Menundukkan
pandangan bukan berarti menutup diri dari dunia, tetapi memilih untuk hanya
melihat hal-hal yang mendekatkan kepada Allah. Pandanglah ciptaan-Nya dengan
rasa syukur, lihatlah saudaramu dengan kasih sayang, dan palingkan mata dari
segala yang mengotori hati.
Sungguh, mata
yang bersih akan melahirkan hati yang jernih. Dan hati yang jernih adalah
ladang tempat tumbuhnya cinta kepada Allah.
Dalam
kehidupan sehari-hari, ini berarti menahan diri dari tontonan yang merusak,
dari gambar-gambar yang mengundang syahwat, dari melihat keburukan orang lain
dengan rasa senang. Pandangan yang dijaga adalah bentuk penghambaan yang
sejati. Sebagaimana
Allah telah
berfirman:
Katakanlah
kepada orang laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan
memelihara kemaluannya…’ (QS. An-Nur: 30)
Mata bukan
sekadar indra, tetapi gerbang menuju keselamatan atau kehancuran jiwa. Maka
awali penjagaan tubuhmu dengan menjaga mata, niscaya engkau akan merasakan
kesejukan dalam hati dan kedekatan dengan Rabb-mu.
Kedua: Lisan,
Cermin Hati
Setelah mata,
lisan adalah anggota tubuh yang paling sering tergelincir. Satu kata bisa
menjadi zikir, tetapi bisa juga menjadi sebab murka Allah. Maka engkau wajib
menjaga lisanmu dari dusta, gibah, fitnah, adu domba, dan ucapan sia-sia.
Imam
Al-Ghazali menasihati bahwa lisan adalah penerjemah hati. Bila hati dipenuhi
keimanan dan kebersihan, maka lisan akan memancarkan hikmah dan kebenaran.
Namun bila hati penuh kotoran, maka lisan akan menjadi alat menyebarkan
keburukan.
Setiap kata
yang terucap tercatat. Tak ada satu pun yang luput. Maka berkata baiklah, atau
diam. Biasakan menyebut nama Allah, berbicaralah hanya bila ada manfaat, dan
jangan sampai lisanmu melukai hati sesama.
Barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau
diam. (HR Bukhari dan Muslim)
Lisan yang
dijaga akan menjadi jalan keselamatan. Tapi lisan yang dibiarkan lepas bisa
menjadi sebab seseorang terjungkal ke dalam neraka.
Ketiga:
Telinga, Gerbang Pemahaman
Telinga
adalah pintu masuk ilmu dan informasi. Maka engkau wajib menjaga telingamu dari
mendengar hal-hal yang haram, seperti gibah, musik yang melalaikan, atau
percakapan yang merusak iman.
Apa yang kita
dengar akan mempengaruhi hati. Jika yang didengar adalah kalimat hikmah dan
kebenaran, hati akan hidup. Tapi jika yang masuk adalah suara-suara yang
menodai kesucian, maka hati akan sakit.
Imam
Al-Ghazali mengajarkan bahwa telinga dan hati terikat erat—maka jangan biarkan
telingamu menjadi tempat sampah bagi ucapan sia-sia. Pilihlah untuk mendengar
tilawah Al-Qur'an, nasihat para ulama, atau obrolan yang menumbuhkan iman. Itu
semua akan menjadi cahaya di dalam dada.
Keempat:
Kaki, Penentu Arah Langkah
Kaki adalah
kendaraan yang mengantar kita menuju surga atau neraka. Maka engkau wajib
menjaga kakimu dari melangkah ke tempat-tempat yang dibenci Allah. Jangan
biarkan kaki ini membawa tubuhmu ke tempat maksiat, ke majelis dosa, atau ke
jalan yang menjauhkan dari kebaikan.
Sebaliknya,
bimbinglah langkahmu menuju masjid, majelis ilmu, atau rumah orang-orang saleh.
Imam Al-Ghazali mengingatkan bahwa setiap langkah yang dibimbing niat karena
Allah akan dicatat sebagai amal kebaikan.
Jadikan kaki
sebagai bukti kesungguhanmu dalam mencari rida-Nya. Jangan sia-siakan tenaga
untuk melangkah kepada dunia yang menipu, tapi arahkan setiap tapak menuju
jalan yang lurus.
Kelima: Hati,
Sang Raja dalam Dada
Dan terakhir,
yang paling utama: hati. Karena dari sinilah semua bermula. Mata melihat, lisan
berbicara, telinga mendengar, kaki melangkah—semuanya bergantung pada kesehatan
hati.
Imam
Al-Ghazali menyebut hati sebagai raja, dan seluruh anggota tubuh adalah
tentaranya. Jika hati baik, maka seluruh tubuh akan baik. Tapi jika hati rusak,
maka seluruh amal akan ikut rusak.
Jagalah hati
dari penyakit iri, dengki, sombong, riya, dan cinta dunia. Bersihkan ia dengan zikir,
istighfar, dan muhasabah. Hati yang jernih akan mampu melihat kebenaran, bahkan
dalam gelapnya dunia.
Sesungguhnya
dalam jasad terdapat segumpal daging, jika ia baik maka baiklah seluruh jasad;
dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah, itulah hati. (HR
Bukhari dan Muslim)
Hati yang
hidup akan selalu rindu kepada Allah. Ia gelisah bila jauh, dan tenang bila
dekat. Maka jangan pernah berhenti memperbaiki dan menyucikannya.
Penutup:
Jadikan Tubuhmu Kendaraan Menuju Allah
Wahai jiwa
yang merindu, tubuh ini adalah amanah. Mata, lisan, telinga, kaki, dan
hati—semua harus dijaga agar tak menjadi penghalang dalam perjalanan menuju
Allah. Bersungguh-sungguhlah, jangan pernah lelah. Karena tiap detik
penjagaanmu adalah ibadah.
Semoga Allah
menjadikan kita hamba-hamba yang mampu menjaga seluruh anggota tubuh dengan
amanah dan kesungguhan, hingga tibalah hari kita dipanggil dengan wajah
bercahaya dan hati yang selamat.
“Ya Allah,
berilah kami kekuatan untuk menjaga diri kami dari segala yang Engkau murkai.
Bimbinglah tubuh kami agar menjadi kendaraan menuju rida-Mu.”
Oleh: Dr.
Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku
Gizi Spiritual Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo