Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Lima Sebab Nabi Adam Bahagia

Selasa, 08 April 2025 | 13:21 WIB Last Updated 2025-04-08T06:21:18Z
TintaSiyasi.id -- Ingatlah sobat, Nabi Adam a.s. bahagia karena oleh lima hal, pertama, mengakui dosa yang dilakukannya, kedua, menyesali perbuatan dosanya, ketiga, mencela dirinya sendiri atas perbuatan dosa, keempat, segera bertaubat, kelima, tidak putus asa dari rahmat Allah Swt.

Lima hal yang membuat Nabi Adam a.s. kembali bahagia setelah melakukan kesalahan benar-benar menjadi pelajaran besar untuk kita semua. Mari kita renungkan satu per satu:

1. Mengakui dosa. Ini adalah langkah awal menuju perbaikan. Tanpa pengakuan, hati kita tertutup dari kebaikan.
2. Menyesali perbuatan dosa. Penyesalan adalah tanda bahwa hati masih hidup dan peka terhadap kebenaran.
3. Mencela diri sendiri. Bukan untuk merendahkan, tetapi agar kita tidak sombong dan terus mengintrospeksi diri.
4. Segera bertaubat. Tidak menunda-nunda karena kita tak pernah tahu kapan ajal akan tiba.
5. Tidak putus asa dari rahmat Allah. Ini inti dari harapan. Allah Maha Pengampun, pintu taubat selalu terbuka.

Pesan ini bisa jadi bekal agar kita tidak larut dalam kesalahan, tetapi juga tidak menyerah untuk terus memperbaiki diri.

Kutipan tentang lima sebab Nabi Adam a.s. bahagia memang berasal dari kitab NashoihulIbad, karya Syekh Nawawi al-Bantani, salah satu ulama besar Nusantara yang diakui dunia Islam, terutama di Tanah Hijaz (Mekah dan Madinah).

Penjelasan Lengkap Lima Sebab Nabi Adam a.s. Bahagia (dari Kitab Nashoihul ‘Ibad):

Dalam Nashoihul ‘Ibad, Syekh Nawawi menjelaskan bahwa Nabi Adam a.s. merasa bahagia meskipun sebelumnya telah melakukan kesalahan karena beliau melakukan lima hal utama yang menjadi fondasi taubat yang diterima Allah.

Berikut ini adalah lima hal tersebut, lengkap dengan penjelasannya:

1. Mengakui Kesalahan (I’tiraf bidz-dzanbi)
Nabi Adam tidak menyalahkan setan, Hawa atau makhluk lain. Beliau jujur dan rendah hati mengakui dosa yang telah diperbuat:
"Rabbanaa zhalamnaa anfusanaa..."
("Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri...") (QS. Al-A’raf: 23).
Ini mengajarkan kita pentingnya kejujuran terhadap diri sendiri dan kepada Allah. Tanpa pengakuan dosa, taubat tidak akan lengkap.

2. Menyesali Dosa (An-nadam)
Penyesalan adalah inti dari taubat (an-nadamu taubah). Nabi Adam menyesali perbuatannya dengan sangat dalam. Bukan hanya karena takut siksa, tetapi karena telah mendurhakai perintah Allah yang Maha Pengasih.
Ini menunjukkan ketulusan dalam penyesalan yang menjadi dasar kuat untuk kembali ke jalan-Nya.

3. Mencela Diri Sendiri (Tatsrib ‘ala an-nafs)
Beliau mencela dirinya sendiri, bukan dengan rasa putus asa, tetapi sebagai bentuk muhaasabah (evaluasi diri). Ini adalah cara untuk memperbaiki diri, agar tak jatuh ke kesalahan yang sama.
Artinya, menyalahkan diri bukan untuk putus asa, tetapi untuk sadar dan bangkit.

4. Segera Bertaubat (Ta’jiilut-Taubah)
Nabi Adam tidak menunda taubat. Setelah melakukan kesalahan, beliau langsung kembali kepada Allah.
Menunda taubat berarti menunda kedekatan dengan Allah, dan itu berbahaya karena umur tidak ada jaminan.
Pelajaran penting: taubat itu jangan ditunda. Setiap detik bisa jadi kesempatan terakhir.

5. Tidak Putus Asa dari Rahmat Allah (La tay’asu min rahmatillah)
Ini yang sangat penting. Meskipun telah melakukan kesalahan, Nabi Adam tidak berputus asa dari kasih sayang dan ampunan Allah. Beliau yakin bahwa Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
Ini membedakan antara orang yang kembali kepada Allah dan orang yang terus larut dalam dosa.

Kesimpulan dari Syekh Nawawi

Kelima hal inilah yang membuat Nabi Adam kembali bahagia karena Allah menerima taubatnya dan mengampuni dosanya.
Kitab Nashoihul ‘Ibad menekankan bahwa siapa pun yang melakukan kelima hal ini, ketika berbuat dosa, maka akan mendapatkan kebahagiaan dan ampunan sebagaimana Nabi Adam.

Sebaliknya, Iblis itu akan sengsara karena lima hal, pertama, tidak mengakui dosa yang dilakukannya, kedua, tidak menyesali perbuatan dosanya, ketiga, tidak mencela dirinya sendiri atas perbuatan dosa, keempat, tidak bertekad untuk bertaubat, kelima, putus asa dari rahmat Allah.

Sebagaimana Nabi Adam a.s. berbahagia karena lima sikap baik saat bertaubat, Iblis justru menjadi makhluk yang paling sengsara karena kebalikannya lima sikap buruk yang membuatnya terusir dari rahmat Allah Swt.

Dan ini pun dijelaskan dalam kitab NashoihulIbad sebagai pelajaran berharga bagi kita. Mari kita bahas satu per satu lebih dalam:

Lima Sebab Iblis Menjadi Sengsara

1. Tidak Mengakui Dosa (Lam ya’tarif bidz-dzanbi)
Iblis menolak mengakui kesalahan. Ia justru membantah perintah Allah dengan berkata:
“Aku lebih baik daripadanya (Adam), Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia dari tanah.” (QS. Al-A’raf: 12).
Kesombongan dan pembenaran diri membuatnya buta terhadap kebenaran. Inilah awal kehancurannya.

2. Tidak Menyesali Dosanya (Lam yandam ‘ala dzanbih)
Iblis tidak memiliki rasa penyesalan sedikit pun. Bahkan ia merasa benar dan bangga dengan pembangkangannya, seolah ia lebih tahu dari Allah.
Ini menunjukkan hati yang keras dan tertutup dari cahaya hidayah.

3. Tidak Mencela Diri (Lam yatsrib ‘ala nafsih)
Alih-alih introspeksi, Iblis justru menyalahkan Allah:
“Karena Engkau telah menyesatkan aku, aku akan menggoda mereka...” (QS. Al-A’raf: 16).
Ia tidak mau bermurah hati pada dirinya sendiri untuk berubah, malah mencari kambing hitam.

4. Tidak Bertekad untuk Bertaubat (Lam yandzim ‘ala taubah)
Iblis tidak punya keinginan untuk memperbaiki diri, apalagi bertaubat. Bahkan, ia malah berniat untuk menyesatkan manusia sebagai bentuk dendamnya.
Orang yang tidak berniat bertaubat berarti menutup pintu kembali pada Allah.

5. Putus Asa dari Rahmat Allah (Ya’isu min rahmatillah)
Ini adalah puncak kehancuran Iblis. Ia sudah putus asa dari kasih sayang Allah, padahal Allah Maha Pengampun.
Putus asa adalah ciri khas Iblis, karena ia tidak percaya lagi pada rahmat Allah. Dalam Islam, putus asa dari rahmat Allah adalah dosa besar.
"Sesungguhnya tidak ada yang berputus asa dari rahmat Allah, kecuali orang-orang kafir."
(QS. Yusuf: 87).

Perbandingan Besar
Nabi Adam a.s. mengakui dosa, Iblis menolak dosa. Nabi Adam a.s. menyesal, sedangkan Iblis tidak menyesal, Nabi Adam a.s. introspeksi diri, Iblis menyalahkan pihak lain. Nabi Adam a.s. segera bertaubat, Iblis tak berniat taubat, Nabi Adam a.s. penuh harap pada rahmat Allah, Iblis putus asa dari rahmat-Nya.

Hikmah untuk Kita

Dari dua tokoh ini, kita belajar bahwa dosa itu bukan akhir segalanya. Yang penting adalah bagaimana sikap kita setelah berbuat dosa.
Ingin jadi seperti Adam? Ikuti lima langkah taubatnya. Jangan jadi seperti Iblis yang membangkang, keras kepala, dan putus asa.

Dr. Nasrul Syarif M.Si. 
Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana  UIT Lirboyo

Opini

×
Berita Terbaru Update