Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Gaza Berdarah, Dunia Membisu, Saatnya Umat Islam Bangkit

Selasa, 08 April 2025 | 10:53 WIB Last Updated 2025-04-08T03:53:53Z

TintaSiyasi.id -- Idulfitri yang secara syariat dimaknai sebagai hari kemenangan dan kegembiraan umat Islam setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, seharusnya menjadi momentum persatuan, penguatan ukhuwah, dan perayaan kemuliaan. Namun, realitas global menunjukkan kontras yang menyayat, ketika sebagian umat merayakan dengan pakaian terbaik dan hidangan berlimpah, sebagian lainnya justru tenggelam dalam duka dan kehancuran. Tragedi kemanusiaan yang terus berlangsung di Palestina, terutama saat lebaran kali ini, menjadi cermin retak dari kondisi umat yang tercerai dan sistem dunia yang gagal total melindungi keadilan dan kemuliaan manusia. Oleh karena itu, hari raya bukan lagi sekadar perayaan, tetapi panggilan sadar akan perlunya perubahan sistemik dan ideologis yang mendasar.


Tragedi Berulang di Hari Raya

Realitas pilu ini tergambar jelas pada 1 Syawal 1446 H, ketika ribuan warga Palestina tetap melaksanakan shalat Idul Fitri di Masjid Al-Aqsa dalam tekanan militer Israel yang represif (CNBC Indonesia, 30/03/2025). Di Gaza, euforia lebaran bahkan nyaris tak berdenyut. Warga sipil, termasuk anak-anak, menjadi target kekerasan struktural yang dilembagakan melalui agresi militer sistematis oleh Israel (AntaraNews, 30/03/2025).

Selain itu, dalam salah satu serangan saat hari raya, sembilan orang terbunuh, lima di antaranya adalah anak-anak. Dilansir dari berbagai media internasional, serangan udara Israel ini menghantam wilayah pemukiman sipil dan fasilitas umum di Gaza, bahkan saat umat Islam sedang mempersiapkan atau melaksanakan shalat Idulfitri. 

Ini bukan sekadar statistik, melainkan angka-angka yang menyimpan tragedi kemanusiaan, pengkhianatan terhadap hukum internasional, dan kegagalan moral dunia. Sementara itu, di kamp pengungsian Wihdat, Yordania, para eksil Palestina menjalani Idul Fitri dalam kegetiran eksistensial sebagai korban sejarah yang diabaikan. Kesaksian mereka menggambarkan keterasingan dan penderitaan yang terus berlangsung lintas generasi.


Disfungsi dan Delusi Sistem Internasional

Situasi ini tidak dapat dipisahkan dari kerangka besar sistem internasional kontemporer yang dibangun di atas fondasi sekularisme dan kapitalisme global. Sistem ini telah menegasikan otoritas wahyu dalam pengaturan kehidupan manusia dan menggantinya dengan prinsip-prinsip antroposentris yang dibalut jargon demokrasi, HAM, dan pluralisme. Namun, seluruh nilai-nilai tersebut terbukti bersifat partikular, diskriminatif, dan manipulatif.

Sebagai contoh nyata, kasus Palestina memperlihatkan secara telanjang bagaimana standar ganda diterapkan secara sistemik. Pembelaan terhadap Ukraina dijalankan secara total oleh Barat, namun terhadap Palestina, mereka bungkam atau bahkan menjadi bagian dari mesin penjajahan. Ini menegaskan bahwa sistem sekuler global tidak dibangun di atas keadilan universal, melainkan pada kalkulasi geopolitik, dominasi ideologis, dan hegemoni ekonomi.


Pengkhianatan Dunia Islam terhadap Palestina

Tak hanya dunia Barat yang bersatu dalam kebisuan dan keberpihakan terhadap penjajahan, dunia Islam sendiri yang terdiri dari negeri-negeri Muslim pun banyak yang menunjukkan pengkhianatan terhadap Palestina. Alih-alih bersatu dan membela saudara seimannya yang tertindas, banyak di antara mereka justru menjalin hubungan bilateral dengan Amerika Serikat dan entitas zionis Israel—laknatullah ‘alaihim. Mereka mengadakan normalisasi diplomatik, kerjasama ekonomi, bahkan latihan militer bersama dengan entitas penjajah yang telah membunuhi anak-anak dan menodai kehormatan umat. Ini adalah cermin nyata dari dekadensi politik dan hilangnya independensi ideologis di negeri-negeri Muslim.

Fenomena ini tidak lahir dari kevakuman, tetapi merupakan konsekuensi logis dari penerimaan sistem sekuler nasionalistik yang memisahkan agama dari politik dan menjadikan maslahat semu sebagai tolok ukur kebijakan. Padahal Allah SWT berfirman:

وَلَا تَرْكَنُوۤا۟ إِلَى ٱلَّذِینَ ظَلَمُوا۟ فَتَمَسَّكُمُ ٱلنَّارُ 

"Dan janganlah kamu condong kepada orang-orang yang zalim, yang menyebabkan kamu disentuh api neraka" (QS. Hud: 113).

Islam menuntut agar umat tidak tunduk pada kekuasaan thagut, sebagaimana firman Allah SWT:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْكَـٰفِرُونَ

"Barangsiapa tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir" (QS. Al-Ma'idah: 44).

Ayat-ayat ini menjadi pengingat tegas bahwa hanya hukum Allah SWT yang layak dijadikan pedoman dalam menyelesaikan persoalan umat, bukan hukum buatan manusia yang sarat kepentingan.


Khilafah Adalah Alternatif Ideologis

Oleh karena itu, jika akar persoalan umat Islam hari ini adalah ketiadaan institusi politik global yang mampu mengintegrasikan potensi umat dan memobilisasi kekuatan ideologis serta militer, maka solusinya adalah jelas: menegakkan kembali Khilafah Islamiyah.

Khilafah bukan hanya institusi politis, melainkan manifestasi dari kewajiban kolektif (fardhu kifayah) yang ditetapkan syariat Islam. Ia merupakan perangkat struktural yang mengintegrasikan kepemimpinan umat secara global dan menjamin pelaksanaan hukum Allah SWT secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Dalam sejarah, khilafah telah menjadi pelindung umat, penjaga tanah suci, dan simbol keadaban dunia yang berlandaskan tauhid.

Dalil-dalil mengenai kewajiban menegakkan khilafah sangat jelas, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ، مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

"Barangsiapa mati dalam keadaan tidak ada bai’at (kepada khalifah) di pundaknya, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah" (HR. Muslim).

Rasulullah juga menegaskan bahwa setelah wafatnya beliau, kepemimpinan umat akan berada di tangan para khalifah:

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الْأَنْبِيَاءُ... 

"Dulu Bani Israil diurus dan dipimpin oleh para nabi... Tetapi tidak akan ada nabi lagi setelahku. Yang akan ada adalah para khalifah dan jumlah mereka banyak.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Lebih jauh, khilafah adalah antitesis dari sistem internasional sekuler yang telah gagal menciptakan stabilitas, keadilan, dan kemanusiaan. Di bawah Khilafah Islamiyah, diplomasi bukanlah alat kepentingan pragmatis, tetapi bagian dari dakwah; kekuatan militer bukan instrumen penjajahan, melainkan pelindung umat; dan kekayaan umat bukan objek eksploitasi, tetapi amanah untuk kesejahteraan seluruh manusia.


Penutup

Dengan demikian, Idulfitri kali ini harus dimaknai sebagai refleksi kolektif yang menggugah kesadaran umat bahwa penderitaan di Palestina bukan hanya urusan geopolitik, melainkan cerminan kerusakan mendalam dari sistem global yang memusuhi Islam dan umatnya. Maka, mempertahankan sistem ini sama saja dengan memperpanjang penderitaan yang tiada akhir.

Kini saatnya umat Islam tidak lagi terjebak dalam romantisme simbolik dan nostalgia sejarah, tetapi melangkah menuju proyek kebangkitan ideologis dan institusional. Perjuangan menegakkan Khilafah Islamiyah bukanlah pilihan emosional, tetapi sebuah imperatif zaman dan tuntutan iman. Hanya dengan itulah, kita benar-benar dapat menyambut Idulfitri dengan hakikat kemenangan—bukan sekadar ritual tahunan di tengah reruntuhan tragedi umat. Wallahu a’lam bishshawab. []


Oleh: Rahmiani Tiflen, S.Kep.
Aktivis Muslimah

Opini

×
Berita Terbaru Update