TintaSiyasi.id -- Dalam kitab Nashoihul ‘Ibad karya Syekh Nawawi al-Bantani, terdapat pembahasan mengenai enam perkara yang menjadi penyebab rusaknya hati. Keenam hal ini merupakan bagian dari nasihat agar manusia menjaga hatinya karena hati adalah pusat dari amal dan niat.
Berikut adalah enam penyebab rusaknya hati menurut Nashoihul ‘Ibad:
1. Banyak bergaul (terlalu sering berkumpul dengan orang lain tanpa tujuan yang baik)
Terlalu sering berkumpul atau bergaul tanpa seleksi dapat menimbulkan pengaruh buruk, seperti ghibah, fitnah, atau perbuatan sia-sia. Hati menjadi keras karena kehilangan waktu untuk merenung atau berdzikir.
2. Angan-angan yang terlalu panjang (thulul amal)
Orang yang terlalu panjang angan-angannya sering lalai dari kematian dan tidak segera bertaubat. Ia merasa masih punya banyak waktu, padahal ajal bisa datang kapan saja.
3. Cinta dunia berlebihan
Kecintaan yang berlebihan terhadap dunia membuat hati buta terhadap akhirat. Seseorang akan rela berbuat dosa demi mempertahankan harta, jabatan, atau kedudukan.
4. Sedikit rasa takut kepada Allah
Hati yang tidak takut kepada Allah mudah tergoda oleh maksiat. Takut (khauf) merupakan rem yang menahan seseorang dari perbuatan dosa.
5. Meninggalkan dzikir kepada Allah
Hati akan menjadi keras dan gelap jika tidak sering berdzikir. Dzikir adalah makanan hati. Tanpa dzikir, hati menjadi lemah dan mati.
6. Makan makanan haram atau syubhat
Makanan yang haram atau meragukan akan memengaruhi hati dan amal. Doa tidak dikabulkan, ibadah tidak diterima, dan hati menjadi gelap.
Hasan al-Bashri rahimahullah berkata " Sesungguhnya rusaknya hati disebabkan enam hal yaitu, pertama, sengaja berbuat dosa dengan harapan kelak taubatnya diterima, kedua, mempunyai Ilmu, tetapi enggan mengamalkannya, ketiga, beramal, tetapi tidak ikhlas.
Betul, ucapan Hasan al-Bashri rahimahullah yang disebutkan itu adalah salah satu nasihat emas tentang penyebab kerusakan hati, dan isinya sangat mendalam. Berikut adalah enam sebab rusaknya hati menurut Hasan al-Bashri yang sering dikutip oleh para ulama dalam kitab-kitab tarbiyah dan tasawuf:
Enam Penyebab Rusaknya Hati menurut Hasan al-Bashri
1. Sengaja berbuat dosa dengan harapan kelak taubatnya diterima.
Orang seperti ini menunda taubat dan meremehkan dosa, seolah yakin bahwa dia pasti akan sempat bertaubat nanti. Padahal, tidak ada jaminan umur dan hidayah akan datang lagi.
2. Mempunyai ilmu, tetapi tidak mengamalkannya.
Ilmu tanpa amal seperti pohon tanpa buah. Hati menjadi keras karena tidak ada cahaya dari amal. Bahkan, ilmu itu bisa menjadi hujjah (argumen) yang membinasakan di akhirat nanti.
3. Beramal, tetapi tidak ikhlas.
Amal yang tidak ikhlas seperti tubuh tanpa ruh. Ia tidak akan sampai kepada Allah. Amal seperti ini biasanya hanya ingin dipuji manusia.
4. Makan rezeki dari Allah, tetapi tidak mau bersyukur.
Menikmati karunia Allah tanpa rasa syukur menyebabkan hati mati rasa. Syukur itu menghidupkan hati dan menambah nikmat.
5. Tidak ridha dengan pemberian dari Allah.
Orang yang tidak ridha akan selalu merasa kurang dan gelisah. Hatinya dipenuhi hasad dan keluh kesah, sehingga menjauh dari ketenangan.
6. Menguburkan orang mati, tapi tidak mengambil pelajaran darinya.
Melihat kematian seharusnya menyentuh hati dan mengingatkan akan akhirat. Namun, jika hati sudah keras, bahkan kematian pun tidak menyentuhnya.
Kalimat-kalimat ini menunjukkan kedalaman hati dan pengamatan spiritual Hasan al-Bashri, yang sangat tajam terhadap penyakit batin.
Adapun Syukur yang dimaksud poin empat di atas adalah mensyukuri nikmat-nikmat Allah Swt. dengan mempergunakan semua anggota badan dan untuk melakukan hal-hal yang diridhoi-Nya.
Memang benar, syukur dalam pandangan ulama salaf, termasuk Hasan al-Bashri, bukan sekadar ucapan "Alhamdulillah" di lisan saja. Namun, syukur sejati adalah:
“Menggunakan semua nikmat Allah dengan cara yang diridhai-Nya.”
Rinciannya seperti ini:
• Lisan, digunakan untuk dzikir, membaca Al-Qur’an, memberi nasihat, dan tidak berkata kotor.
• Telinga, mendengar hal yang baik: ilmu, nasihat, dan Al-Qur’an.
• Mata, melihat yang halal, menjauhi maksiat pandangan.
• Tangan, untuk menolong, menulis kebaikan, dan bekerja halal.
• Kaki, melangkah ke masjid, silaturahmi, dan ke majelis ilmu.
• Harta, disyukuri dengan zakat, sedekah, dan digunakan di jalan kebaikan.
Imam Al-Junaid berkata
“Bersyukur adalah tidak menggunakan satu pun nikmat dari Allah untuk bermaksiat kepada-Nya.”
Jadi, dalam konteks ucapan Hasan al-Bashri tadi, rusaknya hati karena tidak mensyukuri nikmat Allah, maksudnya adalah:
Tubuh diberi sehat, tetapi digunakan untuk maksiat. Waktu luang tidak digunakan untuk taat. Harta tidak digunakan untuk menolong sesama.
Dr. Nasrul Syarif M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo