Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Di Balik Evakuasi Muslim Gaza

Senin, 28 April 2025 | 04:58 WIB Last Updated 2025-04-27T21:58:28Z
TintaSiyasi.id -- Dengan belum adanya solusi yang jelas untuk konflik Israel-Palestina, pemerintah Indonesia mengajukan inisiatif untuk memindahkan sebagian warga Gaza yang terluka akibat konflik ke tanah air. Rencana ini mulai mengemuka pada minggu kedua April 2025. Dalam pernyataannya kepada media sebelum kunjungannya ke Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, pada Rabu (9/4/2025), Presiden Prabowo Subianto mengumumkan bahwa Indonesia siap menampung ribuan warga Gaza, Palestina, yang menjadi korban dari kekejaman militer Israel. Untuk itu, Prabowo berencana mengirim pesawat guna menjemput mereka (Kompas, 19/4/2025).

Terdapat dugaan bahwa rencana Prabowo ini merupakan upaya untuk meredakan ketegangan dan menggugah minat Trump agar bersedia mengurangi tarif yang diperkirakan akan berdampak besar pada perekonomian domestik. Jika dugaan ini memang benar, hal tersebut sangat disayangkan, karena dikhawatirkan justru akan memperkuat ambisi Trump dan kelompok Zionis dalam upaya menguasai Gaza sepenuhnya serta mengusir penduduknya.

Presiden Trump tampak sangat berambisi untuk menguasai Gaza dalam rangka mewujudkan apa yang ia sebut Proyek Riviera Timur Tengah. Salah satu strategi yang digunakannya adalah memasukkan klausa mengenai rencana rekonstruksi total Gaza ke dalam perjanjian gencatan senjata yang ia inisiasi antara Zionis dan Hamas pada Januari 2025.

Dalam konteks rekonstruksi ini, ia mengemukakan narasi mengenai perlunya mengosongkan Gaza, yang dikenal dengan sebutan The Trump Peace Plan. Ia berargumen bahwa wilayah tersebut sudah tidak layak untuk dihuni oleh warganya. Trump juga berupaya melobi negara-negara Arab sekutunya, seperti Mesir, Yordania, dan Turki, agar mau menerima warga Gaza sebagai bagian dari program relokasi. Namun, hingga saat ini, negara-negara tersebut menolak permintaan Trump dengan berbagai alasan.

Tidak hanya negara-negara Arab, sejak Januari 2025, sejumlah media asing, termasuk situs Zman Israel, melaporkan bahwa Amerika Serikat dan Zionis terus melakukan kontak rahasia dengan berbagai negara di Afrika untuk menerima ribuan imigran dari Gaza. Media-media tersebut juga menyebutkan bahwa Indonesia, sebagai negara Muslim terbesar, telah menjadi fokus perhatian Amerika dan masuk dalam daftar negara yang akan menjadi tujuan relokasi warga Gaza.

Lebih lanjut, laporan-laporan tersebut mengungkapkan bahwa telah terjadi kesepakatan rahasia antara AS, Zionis, dan pihak Indonesia mengenai rencana relokasi warga Gaza. Diberitakan bahwa terdapat 100 warga Gaza yang siap tiba di Indonesia untuk bekerja di sektor konstruksi sebagai bagian dari proyek percontohan. Langkah ini diharapkan dapat mempermudah rencana relokasi ribuan warga Gaza di tahap berikutnya yang diklaim sebagai migrasi sukarela.

Namun, terlepas dari kebenaran kabar tersebut, Presiden Prabowo secara jelas menawarkan opsi relokasi yang digambarkan sebagai evakuasi bagi warga Gaza. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun pemerintah Indonesia selalu menekankan sikap antipenjajahan dan dukungan terhadap perjuangan kemerdekaan Palestina, posisi Indonesia kini hampir sejalan dengan rencana Amerika.

Lebih jauh lagi, banyak analisis yang mengemukakan bahwa kebijakan tarif impor Amerika, selain berkaitan dengan perang dagang dengan Cina, juga merupakan strategi untuk memperkuat lobi kebutuhan politik dan ekonomi mereka, termasuk rencananya di Gaza. Merespons kebijakan ini, muncul tren di mana beberapa negara mengadopsi pendekatan appeasement atau pemuasan terhadap AS dan Donald Trump, dengan harapan dapat mengurangi tarif impor Amerika di negara mereka.

Sebagai negara Muslim terbesar di dunia, peran politik Indonesia diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam menyelesaikan berbagai masalah global, termasuk krisis di Palestina, terutama tragedi yang terjadi di Gaza. Sayangnya, alih-alih memanfaatkan posisi strategisnya untuk memimpin upaya global dan mendorong pengunduran kekuatan Zionis dari tanah Palestina, kebijakan luar negeri Indonesia selama ini tampak lebih dipengaruhi oleh kekuatan besar, khususnya Amerika Serikat.

Dalam situasi Gaza-Palestina, misalnya, Indonesia lebih sering mengeluarkan pernyataan dukungan dan berkomitmen untuk berkontribusi dalam penyelesaian konflik. Seperti negara-negara Muslim lainnya, Indonesia cenderung mengambil langkah hati-hati dengan memberikan sedikit bantuan logistik serta bergabung dalam diplomasi yang tidak signifikan, termasuk pengiriman pasukan keamanan di bawah naungan PBB. Namun, langkah-langkah ini tidak mampu menyentuh akar permasalahan, yaitu keberadaan entitas Zionis yang menjajah tanah Palestina, yang seharusnya menjadi perhatian utama umat Islam.

Terkait dengan situasi di Gaza, banyak penguasa Indonesia dan negara-negara Muslim lainnya tampak tidak bereaksi sedikit pun terhadap penderitaan yang dialami oleh warganya. Mereka enggan untuk mengangkat suara jihad, apalagi mengirimkan tentara dan persenjataan untuk membantu. Sementara puluhan ribu warga Gaza dibantai dengan cara yang tidak manusiawi, mereka hanya terdiam. Beberapa bahkan berpendapat bahwa solusi untuk masalah Palestina adalah dengan membagi tanah tersebut menjadi dua, memberikan sebagian kepada pihak penjajah, atau sekadar membantu menampung mereka yang tertindas. Namun, pada saat yang sama, mereka membiarkan Tanah Gaza diambil paksa oleh entitas Zionis dan Amerika, yang semakin menjauhkan Palestina dari cita-cita kemerdekaannya.

Lantas, sebutan apa yang layak diberikan jika keadaan ini tidak bisa dianggap sebagai bentuk persekongkolan? Bagaimana mungkin proyek pembantaian ini—dengan para korban yang merupakan sesama Muslim—dapat berlangsung selama 18 bulan tanpa ada tindakan dari mereka? Mengapa mereka hanya diam, padahal kendali atas jutaan tentara dan alat-alat militer ada di tangan mereka? Di mana letak akal dan nurani mereka, ketika jeritan anak-anak dan perempuan Gaza terus menggema di depan mata dan telinga mereka?

Sungguh, pemahaman yang keliru tentang sekularisme, kapitalisme, dan nasionalisme yang telah mengakar di negara-negara Islam, telah berhasil mengikis ikatan persaudaraan sejati yang seharusnya dibangun berdasarkan iman. Bukannya memimpin dan menggerakkan jihad melawan musuh-musuh yang ada, para pemimpin Muslim justru memilih untuk setia menjaga sistem negara bangsa yang diciptakan oleh penjajah, dengan tujuan memperlemah kekuatan umat dan mempertahankan hegemoni negara-negara adidaya atas mereka. Pertanyaannya, sampai kapan keadaan ini akan berlanjut?

Umat seharusnya menyadari bahwa merekalah pemilik hakiki kekuasaan. Tanpa dukungan dari umat, para pemimpin di negara-negara Islam tidak akan pernah memiliki legitimasi atas posisi mereka. Inilah sebabnya mengapa kita sering melihat mereka mencari jalan pintas dengan mengandalkan dukungan dari kekuatan negara adidaya.

Satu-satunya cara untuk membantu Gaza adalah dengan mengingatkan seluruh potensi umat dalam jihad fi sabilillah. Namun, kita tidak bisa berharap bahwa aktivitas yang begitu mulia dan agung ini akan dipelopori oleh penguasa Muslim yang berkuasa saat ini. Hanya seorang khalifah yang dibaiat oleh umat untuk menerapkan syariat Islam dalam segala aspek kehidupan yang mampu memimpin jihad universal ini.

Keberadaan seorang khalifah memang merupakan tantangan besar bagi seluruh umat Islam. Sejak runtuhnya khilafah terakhir akibat pengaruh Barat lebih dari seratus tahun yang lalu, dua miliar umat Muslim hidup tanpa pimpinan dan perlindungan. Padahal, syariat Islam menetapkan bahwa umat tidak boleh hidup tanpa baiat kepada khalifah lebih dari tiga hari tiga malam. Keterpurukan ini menjelaskan mengapa selama kurun waktu tersebut, umat Islam menghadapi berbagai kesulitan. Berbagai krisis, mulai dari politik, ekonomi, moral, sosial, hingga hukum dan pertahanan, terus membayangi kehidupan umat Islam.

Oleh karena itu, sudah saatnya umat Islam berjuang untuk mengembalikan khilafah, yang selama berabad-abad telah sukses menyatukan umat dan menjadikannya sebagai kekuatan yang tangguh. Upaya ini dapat dilakukan dengan meningkatkan dakwah dan membangun kesadaran, agar umat memahami bahwa Islam bukan hanya sekadar agama ritual, melainkan juga sebuah ideologi yang menawarkan solusi untuk segala permasalahan kehidupan.

Dalam konteks saat ini, Islam merupakan satu-satunya sistem kehidupan yang layak untuk menggantikan sistem sekuler kapitalisme. Sistem ini terbukti sangat merusak dan sering kali melahirkan kezaliman, termasuk melegalkan penjajahan, seperti yang dilakukan oleh Amerika dan Zionis di Palestina serta di berbagai belahan dunia lainnya.

Kembalinya khilafah adalah janji Allah dan juga kabar gembira dari Rasul-Nya. Namun, memperjuangkan khilafah adalah sebuah upaya yang harus kita pilih sebagai wujud dari iman kita. Tentu saja, jalan ini tidaklah mudah, tetapi Allah SWT telah menyediakan pahala yang melimpah dan balasan surga bagi mereka yang ikhlas dan berkomitmen menjalani jalan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. []


Oleh: Kanti Rahayu
(Aliansi Penulis Rindu Islam)

Opini

×
Berita Terbaru Update