Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Daya Beli Menurun: Dampak Paylater dan Budaya Konsumerisme

Rabu, 23 April 2025 | 08:54 WIB Last Updated 2025-04-23T01:55:29Z
TintaSiyasi.id -- Akhir-akhir ini fenomena berulang terjadi kala Lebaran Idulfitri tahun 2025, yaitu terkait daya beli masyarakat yang semakin menurun. Hal ini terjadi di berbagai daerah di Indonesia, termasuk DKI Jakarta. Penurunan terjadi mulai dari menurunnya aktivitas mudik serta menurunnya jumlah wisatawan saat libur Lebaran.

Hal tersebut diungkapkan oleh Menteri Perhubungan (Menhub) Dudy Purwagandhi bahwa penurunan mudik Lebaran 2025 sekitar 4,69% dibandingkan dengan realisasi pada 2024 yang mencapai 162,2 juta orang. Tahun ini tercatat 154,6 juta jiwa. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) juga memprediksi tren pergerakan wisatawan periode libur Lebaran 2025 mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya.

Menurut Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran, daya beli terganggu karena situasi ekonomi tidak bagus. Banyak PHK, masalah dinamika, kebijakan dalam negeri yang masih belum kondusif. Selain itu, adanya pinjaman online (pinjol) yang kasusnya semakin meningkat membuktikan situasi di Indonesia sedang tidak baik-baik saja, sehingga memicu sebagian masyarakat tak mudik. (https://www.pikiran-rakyat.com/news/13-4-2025).

//Dampak Paylater dan Budaya Konsumerisme//

Lesunya ekonomi pra dan pasca Lebaran terjadi oleh karena beberapa faktor, seperti harga bahan pokok naik secara global dan beban utang yang meningkat terjadi sebelum momentum Idulfitri. Pasca Idulfitri, masyarakat dipersoalkan kembali oleh beban ekonomi untuk menutupi utang sebelumnya.

Hal ini terjadi karena himpitan ekonomi yang membelenggu masyarakat. Tak sedikit yang berutang dengan memanfaatkan paylater (pembayaran nanti) dalam belanjanya. Apalagi belanja saat ini dapat dilakukan secara daring yang dianggap lebih memudahkan. Namun, sayangnya kebutuhan tak diimbangi dengan sifat konsumerisme. Alhasil, pengeluaran menjadi tak terkendali.

Konsumerisme telah membudaya. Masyarakat cenderung membeli barang dan jasa secara berlebihan, didorong oleh keinginan pribadi seperti status sosial dan kepuasan fisik, menggapai kebahagiaan dan kesuksesan dengan mengikuti gaya hidup kekinian. Mereka lebih mengutamakan kebutuhan sekunder, yang kebanyakan dari kalangan remaja dan mahasiswa.

Dampaknya menyebabkan perubahan pola hidup, pengeluaran tak terkontrol, menciptakan utang, dan kesulitan menghadapi keuangan di masa depan. Lebih dari itu, konsumsi berlebihan menyebabkan kesenjangan sosial, kesehatan terganggu, dan mengabaikan nilai agama. Terlebih, merusak lingkungan dan moral.

Hal ini terjadi sebagai akibat dari penerapan sistem kapitalis sekuler yang menyebabkan lahirnya budaya konsumerisme yang berasal dari asing. Sistem kapitalisme mendorong pertumbuhan ekonomi melalui permintaan konsumen yang menciptakan kebutuhan akan konsumerisme. Dalam pandangan kapitalis, kebahagiaan hidup diukur dengan standar materi. Apa pun bisa diraih dengan materi asalkan bahagia.

Kapitalisme menawarkan solusi dengan berbagai pinjaman daring sekaligus menyuguhkan produk yang mengikuti gaya hidup kekinian. Konsumerisme terkadang mengabaikan sisi halal dan haram, akibat kehidupan yang sekuler (memisahkan agama dari kehidupan), mengambil solusi tanpa melihat dari sisi agama.

Paylater ini berbasis ribawi, kian diminati bahkan berulang setiap tahun. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, pola ini sudah menjadi siklus tahunan yang terus berulang. Saat Lebaran 2024 lalu, misalnya, kredit melalui paylater meningkat 31,45 persen secara tahunan hingga mencapai Rp6,47 triliun. Akibat tingginya permintaan pinjaman menjelang Lebaran, disusul dengan lonjakan gagal bayar setelahnya, bukan hanya berdampak pada individu.

Heru Sutadi, Direktur Eksekutif ICT Institute, menyebut bahwa fenomena ini bisa menjadi "tsunami kredit macet" bila tidak diantisipasi dengan baik. Tingginya PHK juga berkontribusi terhadap risiko ini. Sepanjang 2024, tercatat 77.965 orang terkena PHK, naik 20 persen dibanding 2023. Layanan ini makin diminati di tengah kondisi ekonomi yang sulit, terutama saat banyak orang mengalami PHK. Alhasil, daya beli masyarakat melemah. Setelah Lebaran, banyak orang kehabisan uang untuk kebutuhan pokok, apalagi untuk membayar cicilan. (https://www.tempo.co/ekonomi/15-4-2025).

Paylater sejatinya berpotensi menambah beban utang yang menumpuk. Selain itu, menambah beban dosa yang akan menjauhkan dari keberkahan hidup. Demikian kejamnya sistem kapitalis menciptakan konsumerisme dan memberi peluang besar bagi para kapital untuk terus meraup keuntungan dari rakyat miskin.

Ironisnya, di saat rakyat terhimpit, negara seolah tak peduli. Negara saat ini hanya bertugas sebagai regulator dan fasilitator, namun tak mampu melayani rakyat. Rakyat kehilangan pekerjaan, kebutuhan pokok mahal, pendidikan dan kesehatan mahal, dan lain-lain. Namun, setiap kebijakan negara selalu menguntungkan para pengusaha. Sebaliknya, rakyat terus menderita dan dibiarkan mencari solusi sendiri.

//Islam Solusi Konsumerisme//

Islam datang dengan kesederhanaan. Tidak menawarkan kekayaan dan hidup glamor. Sebaliknya, menawarkan solusi untuk kembali pada fitrahnya, yaitu menyembah semata hanya kepada Allah SWT dan meninggalkan kebiasaan jahiliah yang tidak ada dalam ajaran Islam. Melarang praktik riba dan hidup berlebihan/foya-foya. Islam mengajak manusia berpikir tentang makna kehidupan dan tujuannya hidup di dunia. Menuntun manusia meninggalkan kekufuran dan beralih beriman kepada Allah SWT.

Dalam aturannya, Islam melarang hidup boros, berlebihan, dan banyak utang. Sebab, hal itu merupakan sifat setan yang harus dihindari. Berutang yang di dalamnya mengandung riba jelas diharamkan dalam Islam. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah: 275:
"Orang-orang yang memakan (bertransaksi dengan) riba tidak dapat berdiri kecuali seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan. Demikian itu terjadi karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba."

Riba merupakan kejahatan besar yang menyebabkan kezaliman. Ketika sistem Islam ditegakkan, maka akan menutup celah segala sesuatu yang menjadikan abai dengan hukum Allah SWT, termasuk riba dan budaya konsumerisme. Agar dapat dicegah, maka negara akan menyeleksi berbagai transaksi dan hanya menjual produk yang dibutuhkan saja agar tidak terjadi konsumerisme di masyarakat.

Untuk itu, negara akan terus menanamkan ketakwaan individu, masyarakat, dan negara. Akan terbentuk pola hidup yang mencerminkan kesederhanaan dan tidak berlebih-lebihan sebagaimana budaya kapitalisme.

Konsumerisme muncul dari gharizah baqa’ (naluri mempertahankan diri) dalam diri manusia. Tanda-tandanya seperti rasa takut, cinta harta, keinginan untuk diakui, mendorong untuk melindungi dirinya dari serangan musuh, dan melestarikan keberadaannya. Konsumerisme merupakan tanda dari naluri ini, yaitu cinta harta dan mempertahankan diri. Karena itu, Islam mengingatkan seseorang agar selalu waspada akan kecintaan terhadap harta yang berlebihan dengan senantiasa mendekatkan diri pada Allah SWT dan mengingat kematian.

Makna kebahagiaan dalam Islam bukan dicapai dengan materi, namun melalui ketakwaan untuk meraih rida-Nya Allah SWT. Sejatinya Islam tidak melarang memperoleh materi yang banyak, namun tetap harus mampu mempertanggungjawabkannya.

Pun dengan utang, sebisa mungkin harus dihindari. Sebab, utang akan menyempitkan rezeki seseorang. Utang bukan solusi akhir ketika ekonomi sedang sulit. Akar dari masalah utang saat ini karena negara tak hadir untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Sehingga rakyat dibiarkan sendiri mencari solusi penuhi ekonomi keluarga.

Padahal peran negara sangat dibutuhkan di tengah ekonomi rakyat yang sulit, sebab menjadi tanggung jawab negara. Negara akan menjamin kesejahteraan rakyatnya. Melalui penerapan aturan Islam secara kaffah, akan sangat mampu atasi persoalan rakyat yang pelik. Dengan sistem ekonomi Islam, akan mampu terapkan mekanisme mewujudkan kesejahteraan rakyat individu per individu.

Praktik ribawi akan dihapuskan, sebab mengandung keharaman dan kezaliman. Semua akan mampu diwujudkan ketika syariat Islam diterapkan secara kaffah dalam lingkup negara. Negara akan menindak tegas terhadap pelaku riba beserta turunannya. Tidak seperti saat ini, riba dibiarkan di mana-mana, bahkan hukum tak mampu ditegakkan. Saatnya Indonesia menjaga negeri dan rakyatnya dari segala praktik riba yang dapat merugikan ekonomi rakyat.
Wallahu a’lam bishshawab.

Opini

×
Berita Terbaru Update