TintaSiyasi.id -- Maraknya kasus kriminal jelang lebaran telah membuat warga resah. Namun, hal itu belum bisa diatasi oleh pemerintah. Dikutip dari metrotvnews.com, menjelang perayaan Idulfitri 1445 H/2024 M kasus kejahatan tercatat naik. Total ada 2.427 kejadian gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) pada Senin, 25 Maret 2024 dan 1.312 kejadian pada Minggu, 24 Maret 2024.
Yakni, pencurian dengan pemberatan (curat) sebanyak 216 kasus, narkotika sebanyak 197 kasus, pencurian kendaraan bermotor (curanmor) sebanyak 58 kasus. Lalu, judi sebanyak 35 kasus, dan pencurian dengan kekerasan (curas) sebanyak 30 kasus.
Selain itu, Polri juga mencatat jumlah kecelakaan lalu lintas (laka lantas). Total ada 515 lama lantas pada Senin, 25 Maret 2024. Jumlah itu juga mengalami peningkatan dibanding pada Minggu, 24 Maret 2024. Pada akhir pekan itu jumlah kecelakaan terjadi sebanyak 317 kejadian.
Kok Bisa?
Kasus kriminal di berbagai kota memang meresahkan dan merugikan masyarakat. Bahkan, karena bebasnya masyarakat mendapatkan bahan peledak ada beberapa bocah yang menjadi korban, meninggal karena main mercon. Belum lagi soal narkoba, premanisme, pencurian, dan prostitusi, hal tersebut marak tidak hanya karena faktor individu atau moralnya yang rusak. Namun, banyak hal yang memengaruhi.
Pertama, operasi Ketupat yang biasa dilakukan jelang lebaran seharusnya dilakukan berkala, tidak hanya ketika Ramadan hingga lebaran saja. Apabila pemerintah ingin tercipta keamanan dan ketenangan di tengah masyarakat seharusnya pendisiplinan dilakukan rutin setiap saat. Sehingga tidak ada celah terjadi tindak kriminal. Memang ini akan menguras energi dan tenaga aparat, tetapi inilah yang seharusnya mereka lakukan demi keamanan seluruh warganya.
Kedua, lemahnya edukasi bisa menjadi penyebab maraknya tindak kriminal. Edukasi kepada masyarakat terkait tindakan kejahatan dan kriminal hari ini sangat kurang. Dalam mengedukasi membutuhkan penguatan akidah dan ketakwaan individu di tengah masyarakat. Namun, itu tidak terwujud jika negara masih menggunakan hukum yang menihilkan peran syariat dalam mengatur kehidupan.
Ketiga, hukum sekuler tidak membuat jera dan rawan suap. Yang menciptakan manusia adalah Allah Taala, maka sebaik-baiknya pemberi hukuman dan bisa membuat jera adalah hukum Allah Swt. Sebagai contoh, mereka yang memproduksi, mengedarkan, atau mengonsumsi minuman keras atau narkoba, tidak hanya dipenjara. Seharusnya mereka dicambuk 80 kali atau sesuai hasil keputusan hakim.
Begitu pun yang melakukan prostitusi, tidak hanya ditertibkan dan dipenjara, tetapi pelaku harus dirajam atau dicambuk bergantung fakta zina yang ditemui. Kalau masih mendekati zina hanya dicambuk, tetapi kalau sudah sampai zina bisa dirajam jika pelaku sudah menikah dan dicambuk 100 kali jika pelaku belum menikah. Hal-hal seperti ini wajib ditegakkan karena perintah cambuk, rajam, atau potong tangan bagi pencuri adalah seruan Allah Swt.
Andai saja pemerintah mau berbenah dengan cara hijrah ke hukum yang diturunkan Allah Swt. dalam segala aspek kehidupan, niscaya kasus kriminal dapat ditekan sampai tataran nol. Karena mereka akan berpikir seribu kali ketika hendak akan melakukan tindak kriminal. Jalan menuju kenikmatan yang halal saja terbentang luas, mengapa masih memilih jalan maksiat atau kemungkaran yang mendatangkan hukuman? Tentunya hal ini juga dikuatkan dengan edukasi akidah Islam yang mengkristal di tengah masyarakat. Baik pendidikan, tuntutan maupun tontonan semuanya islami.
Maqashid Syariat
Dalam Islam menerapkan syariat Islam adalah konsekuensi dari akidah Islam. Terikat dengan syariat baik dalam urusan ibadah maupun muamalah; dari aspek individu, masyarakat, maupun negara adalah tuntutan keimanan. Maqashid syariat (tujuan bersyariat) akan terwujud ketika syariat Islam diterapkan ke segala aspek kehidupan dalam bingkai khilafah.
Imam Asy-Syatibi membagi maqashid menjadi tiga bagian, iaitu dharuriyat, hajiyat, dan tahsinat. Dharuriyat diwujudkan demi kemaslahatan umat, jika tidak ada, maka akan menimbulkan kerusakan rukun Islam. Hajiyat adalah sesuatu yang diperlukan untuk menghilangkan kesempitan, seperti rukhsah (keringanan) untuk tidak berpuasa bagi orang sakit. Tahsinat artinya sesuatu yang dilakukan untuk kebaikan kehidupan dan menghindarkan keburukan, seperti berakhlak, menghilangkan najis dan menutup aurat.
Dharuriyat pula beliau jelaskan dengan lebih terperinci mencakup lima tujuan, iaitu (1) menjaga agama (hifzh ad-din); (2) menjaga jiwa (hifzh an-nafs); (3) menjaga akal (hifzh al-‘aql); (4) menjaga keturunan (hifzh an-nasl); (5) menjaga harta (hizh al-mal) (Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat, II/4).
Inilah sekilas konsep Asy-Syatibi tentang maqashid asy-syari‘ah. Maqashid syariat tidak akan terwujud jika sistem kehidupan masih demokrasi kapitalisme sekuler. Seharusnya pemerintah legawa diatur dengan aturan Islam dan mau menerapkan syariat Islam secara keseluruhan sehingga kesejahteraan terwujud dan rahmat bisa didapatkan untuk seluruh alam.[]
Imam Asy-Syatibi membagi maqashid menjadi tiga bagian, iaitu dharuriyat, hajiyat, dan tahsinat. Dharuriyat diwujudkan demi kemaslahatan umat, jika tidak ada, maka akan menimbulkan kerusakan rukun Islam. Hajiyat adalah sesuatu yang diperlukan untuk menghilangkan kesempitan, seperti rukhsah (keringanan) untuk tidak berpuasa bagi orang sakit. Tahsinat artinya sesuatu yang dilakukan untuk kebaikan kehidupan dan menghindarkan keburukan, seperti berakhlak, menghilangkan najis dan menutup aurat.
Dharuriyat pula beliau jelaskan dengan lebih terperinci mencakup lima tujuan, iaitu (1) menjaga agama (hifzh ad-din); (2) menjaga jiwa (hifzh an-nafs); (3) menjaga akal (hifzh al-‘aql); (4) menjaga keturunan (hifzh an-nasl); (5) menjaga harta (hizh al-mal) (Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat, II/4).
Inilah sekilas konsep Asy-Syatibi tentang maqashid asy-syari‘ah. Maqashid syariat tidak akan terwujud jika sistem kehidupan masih demokrasi kapitalisme sekuler. Seharusnya pemerintah legawa diatur dengan aturan Islam dan mau menerapkan syariat Islam secara keseluruhan sehingga kesejahteraan terwujud dan rahmat bisa didapatkan untuk seluruh alam.[]
Oleh. Ika Mawarningtyas (Direktur Mutiara Umat Institute)