Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Bahaya di Balik UU TNI

Selasa, 22 April 2025 | 09:33 WIB Last Updated 2025-04-22T02:33:04Z

Tintasiyasi.id.com -- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah resmi menetapkan revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi undang-undang.

RUU TNI disahkan lewat sidang paripurna di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (20/3/2025), dipimpin oleh Ketua DPR RI, Puan Maharani didampingi Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, Adies Kadir, dan Saan Mustopa.

Dilansir dari Kompas, Poin-poin revisi UU TNI terdapat pada pasal 7 Pasal 7 Ayat (15) dan (16) terkait tugas pokok TNI. Pasal 7 Ayat (15) menambahkan tugas soal membantu dalam upaya menanggulangi ancaman siber. 

Ayat selanjutnya, terkait tugas membantu dalam melindungi dan menyelamatkan Warga Negara serta kepentingan nasional di luar negeri.

Selanjutnya, poin revisi terdapat pada pasal 53 tentang batas usia pensiun prajurit TNI. Pada UU TNI lama, batas usia pensiun TNI bagi perwira paling lama 58 tahun, sedangkan batas usia pensiun bagi bintara dan tamtama adalah 53 tahun.

Setelah direvisi, batas usia pensiun diperpanjang sesuai dengan pangkat prajurit. Pasal 53 Ayat (3) UU TNI baru mencatat batas usia pensiun Bintara dan Tamtama paling tinggi 55 tahun; Perwira sampai dengan pangkat Kolonel adalah 58 tahun. Kemudian, Perwira Tinggi bintang 1 adalah 60 tahun; Perwira Tinggi bintang 2 paling tinggi 61 tahun; dan Perwira Tinggi bintang 3 adalah 62 tahun.

Terakhir, perubahan yang paling menjadi sorotan adalah perubahan Pasal 47 terkait jabatan TNI aktif di kementerian/lembaga sipil. Berdasarkan Pasal 47 Ayat (1) UU TNI lama, membatasi hanya jabatan sipil di 10 kementerian dan lembaga yang bisa diduduki prajurit militer aktif.

Dalam UU TNI baru, poin itu diubah sehingga TNI akfif dapat menjabat di 14 Kementerian/Lembaga. Kementerian/Lembaga yang dimaksud adalah;

Kementerian/Lembaga Yang Membidangi Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara Termasuk Dewan Pertahanan Nasional, Kesekretariatan Negara yang Menangani Urusan Kesekretariatan Presiden dan Kesekretariatan Militer Presiden, Intelijen Negara, Siber dan/atau Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Pencarian dan Pertolongan, Narkotika Nasional, Pengelola Perbatasan, Penanggulangan Bencana, Penanggulangan Terorisme, Keamanan Laut, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Mahkamah Agung.

Pihak yang Menolak dan Mendukung UU TNI

Beberapa pihak mendukung revisi ini dengan alasan efektivitas pertahanan nasional, sementara yang lain menolaknya karena dianggap menghidupkan kembali praktik dwifungsi TNI. Berikut reaksi dari berbagai pihak yang menolak dan mendukung UU TNI:
Dilansir dari Tempo (19/03/2025) pihak yang menolak revisi UU TNI ini;

Pertama, dari Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Mohamad Syafi’i Alielha atau Savic Ali, yang menilai revisi UU TNI berpotensi menghidupkan kembali praktik dwifungsi TNI, meskipun dalam skala yang lebih terbatas dibandingkan era Orde Baru.
Salah satu poin utama yang disoroti adalah penempatan prajurit aktif di jabatan sipil, seperti di Kejaksaan Agung dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). 

Menurutnya, ini bisa menimbulkan permasalahan struktural dalam sistem pemerintahan, karena ada perbedaan budaya organisasi antara militer dan sipil.

Kedua, dari Masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi masyarakat sipil untuk Advokasi HAM Internasional (HRWG) sebanyak 34 organisasi mengecam rencana UU TNI yang sedang dibahas oleh Komisi I DPR. Menurut mereka Upaya revisi UU TNI ini dinilai mengkhianati komitmen Indonesia dalam menjalankan berbagai rekomendasi PBB dan kewajiban hukum HAM internasional.

Revisi UU TNI tersebut dianggap bertentangan dengan rekomendasi Komite Hak Sipil dan Politik (CCPR), Universal Periodic Review (UPR), serta instrumen HAM global seperti Statuta Roma ICC dan Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT). Salah satunya adalah beleid Pasal 65 UU TNI yang mempertahankan yurisdiksi pengadilan militer untuk penyelesaian kasus HAM.

Sedangkan pihak yang pro revisi UU TNI datang dari:

Pertama, Staf Khusus Menteri Pertahanan Deddy Corbuzier menyatakan rapat revisi UU TNI oleh panitia kerja DPR di Hotel Fairmont Jakarta pada Sabtu, 15 Maret 2025, tidak membahas dwifungsi TNI. Ia mengatakan dwifungsi TNI tidak akan terjadi di pemerintahan Prabowo Subianto.
“Rapat kemarin itu adalah resmi, konstitusional, dan tidak lagi membahas hal-hal seperti dwifungsi TNI,” ucap Deddy Corbuzier melalui akun Instagram @dc.kemhan dikutip Senin, 17 Maret 2025.

Dia mengatakan bahwa Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin juga telah memberikan kepastian, dwifungsi TNI tidak akan terjadi lagi di Indonesia. Deddy Corbuzier menyebut gagasan yang diterapkan oleh pemerintahan Orde Baru itu sudah lama hilang dari permukaan.

Kedua, Kepala Pusat Penerangan atau Kapuspen TNI, Mayor Jenderal Hariyanto, menegaskan bahwa prajurit aktif yang ditempatkan di jabatan sipil akan melalui proses seleksi ketat agar tidak mengganggu prinsip netralitas TNI.
“Penempatan prajurit aktif di luar institusi TNI akan diatur dengan ketat,” kata Hariyanto dalam keterangan resminya, dikutip Senin, 17 Maret 2025.

Ia juga menambahkan bahwa revisi ini bertujuan untuk menghindari tumpang tindih kewenangan antara militer dan institusi sipil serta memastikan stabilitas nasional tetap terjaga. “Kami berkomitmen menjaga keseimbangan peran militer dan otoritas sipil,” ujarnya.

Bahaya yang Akan Mengintai Ketika Militer Berada di Posisi Jabatan Sipil

Seperti dipahami bersama bahwa tugas militer adalah melindungi dan menjaga keamanan negara serta sebagai alat negara untuk mempertahankan negara dari berbagai ancaman.

Dengan disahkannya revisi UU TNI yang di salah satu pasalnya akan memberikan jabatan sipil pada militer ini akan berpotensi bahaya bagi negara dan rakyat, di antaranya;

Pertama, adanya upaya para politisi borjuis sipil (didukung para oligarki) yang dengan senang hati membagi kekuasaan ke militer karena mereka sadar bahwa buruknya, bejatnya, dan korupnya pemerintahan mereka yang kini semakin terang benderang terungkap di masyarakat hanya bisa dipertahankan (dari kemarahan dan perlawanan rakyat) dengan kekuatan militer.

Ini bisa menjadi salah satu upaya pemerintah melibatkan militer ke pemerintahan karena selama ini kelompok-kelompok anti-korupsi tidak bisa menyentuh militer.

Kedua, militer tidak akan becus mengelola negara dan ini konsekuensi langsungnya karena militer mayoritas hanya belajar soal perang dan persenjataan. Maka, dikhawatirkan ketika militer berkuasa dan menggenjot militerisme ke tingkat tinggi, mereka akan menghabiskan banyak anggaran yang utamanya untuk kepentingan militer, sehingga mengempeskan anggaran untuk rakyat seperti anggaran kesehatan dan pendidikan.

Sebagai contoh, pada kekuasaan rezim Orde Baru di mana militer dikerahkan untuk menghabisi rakyat yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah seperti yang terjadi di sepanjang tahun 1965-1968, jutaan rakyat dibantai. Rakyat Aceh, Papua ataupun Timor Leste juga mengalaminya.

Belum termasuk Tragedi Tanjung Priok, Talangsari, Penembakan Misterius, Tragedi 27 Juli, Tragedi Semanggi I dan II, Penembakan Mahasiswa Trisakti, Penculikan Aktivis termasuk pembunuhan Marsinah.

Kini, gejala ke arah sana sudah mulai terlihat dengan adanya efisiensi anggaran di berbagai kementerian namun kementerian pertahanan (termasuk TNI) dan Polri yang merupakan kementerian tanpa hubungan langsung dengan kesejahteraan rakyat tidak terkena efisiensi anggaran malah mendapatkan anggaran yang besar.

Ketiga, adanya keterlibatan militer dalam ranah ciber akan mengarah pada militerisasi ruang ciber yang akan mengancam kebebasan sipil dan membuka celah bagi negara untuk menggunakan dalih keamanan digital sebagai tameng untuk membungkam wacana-wacana kritis termasuk suara Islam dan mempersempit ruang kebebasan ekspresi serta memperketat kontrol atas sirkulasi informasi publik di ruang digital.

Keempat, melihat dari proses pembuatan undang-undang ini yang kurang transparan dan minim partisipasi publik menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya dwifungsi ABRI.

Dari sini tergambar sangat jelas betapa sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini berlaku hipokrit. Sistem kapitalisme mengklaim menjunjung demokrasi dimana suara rakyat adalah suara Tuhan tapi nyatanya setiap kebijakan yang dikeluarkan tidak pernah pro rakyat.
Klaim menjunjung kebebasan dalam menyuarakan pendapat namun pada praktiknya hanya memberi ruang bagi pendapat-pendapat yang mendukung status quo.

Perbedaan Tugas Militer dan Pejabat Sipil

Untuk mengurai pembahasan di atas, mesti dipahami dulu perbedaan tugas utama militer dan pejabat publik karena sejatinya militer dan pejabat publik itu merupakan dua aktivitas berbeda. Militer tugasnya menghancurkan fisik musuh.

Sedangkan pejabat fungsinya mengurus urusan rakyat.
Perbedaan mendasar antara tugas militer dan pejabat publik terletak pada fokus, tanggung jawab, dan cara mereka menjalankan tugas. Perbedaan utama:

- Tugas militer berfokus pada pertahanan dan keamanan negara, sementara pejabat publik berfokus pada pelayanan masyarakat dan pelaksanaan kebijakan publik.

- Militer bekerja dalam struktur komando yang hierarkis, sementara pejabat publik bekerja dalam kerangka hukum dan administrasi negara.

- Militer menggunakan kekuatan bersenjata, sementara pejabat publik menggunakan kewenangan administratif dan kebijakan publik.

Dari pemaparan di atas, tergambar jelas bahwa fungsi dan peran militer sangat berbeda dengan pejabat publik sehingga kekhawatiran berbagai kalangan untuk menolak UU TNI ini cukup beralasan.

Apalagi jika dicermati di Indonesia selama ini bukan dwifungsi apalagi multifungsi militer. Melainkan malfungsi militer. Mengapa? Karena alih-alih menyuruh militer berjihad malah menyuruhnya menjadi pejabat.

Apakah Islam Melarang Militer Menduduki Jabatan Publik?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka harus dijelaskan dengan menggunakan dua istilah berikut:

1. Militer reguler
2. Wajib militer

Dalam Islam, militer reguler tentu saja tidak boleh jadi pejabat publik. Mengingat fungsi militer dan pejabat publik yang berbeda. Bila dibolehkan maka dikhawatirkan terjadi konflik kepentingan atau tidak fokus pada tugas utama sebagai militer. Atau malah memperlakukan rakyat sebagai musuh.

Sebaliknya, setiap muslim lelaki yang tidak punya ujur syar’i wajib berjihad. Untuk memudahkan mereka menjalankan kewajiban, maka khilafah mengharuskan mereka (semua lelaki muslim yang tidak ujur syar’i termasuk di dalamnya para pejabat publik bahkan khalifah) ikut wajib militer.

Nah, kerancuan ini bisa terjadi karena pada sistem demokrasi di Indonesia ada kebingungan dalam mengklafikasikan antara militer reguler dan wajib militer.

Mereka mengira yang sesekali berjihad dengan yang kerjaannya hanya berjihad itu sama saja. Padahal yang sesekali berjihad (setelah pulang jihad kembali ke kerjaan awalnya) itu berarti hanya ikut wajib militer.

Sedangkan, yang pulang jihad lalu latihan jihad, lalu jihad lagi. Lalu pulang lagi, lalu latihan jihad lagi, lalu jihad lagi itu namanya militer reguler. Militer reguler ini digaji tiap bulan oleh negara.

Dari sini menjadi jelas bahwa Islam hanya membolehkan seseorang menduduki jabatan publik ketika dia bukan bagian dari militer reguler. Karena militer reguler berbeda tugas dan fungsinya dan devisinya juga terpisah dari negara.

Dalam kitab Ajhizah Ad-Daulah Al-Khilafah halaman 144 -145 (karya Syekh Taqiyuddin An-Nabhani) digambarkan bahwa pasukan dalam Islam diklasifikasikan menjadi dua kelompok:

Pertama, pasukan cadangan (wajib militer) yaitu setiap orang yang mampu mengangkat senjata untuk berperang.

Kedua, pasukan tetap (pasukan reguler) yaitu setiap orang yang secara kontinu menjadi anggota tentara yang telah ditetapkan gajinya di dalam anggaran negara sebagaimana pegawai negeri lainnya.

Adapun adanya pasukan reguler ini berdasarkan kaidah; “Mala yatimmu al wajib fahuwa wajib.” (Suatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan suatu yang lain maka sesuatu itu hukumnya menjadi wajib). Sebab kewajiban jihad tidak bisa sempurna dilaksanakan secara terus-menerus, begitu juga kewajiban menjaga kecemerlangan Islam dan melindungi kaum Muslim dari kehancuran akibat dari serangan kaum kafir, kecuali dengan adanya pasukan tetap (reguler).

Dari sini maka, Khalifah wajib merealisasikan adanya pasukan tetap (pasukan reguler).
Dalam kitab ini juga digambarkan bahwa militer reguler berada di bawah Departemen Peperangan (Da’irah al Harbiyah) yang menangani urusan yang berhubungan dengan angkatan bersenjata seperti pasukan, logistik, persenjataan, peralatan, amunisi dan menangani akademi-akademi militer, misi-misi militer serta pemikiran Islam dan pengetahuan umum apa saja yang menjadi keharusan bagi tentara.

Dengan pemaparan di atas menjadi jelas bahwa militer reguler tidak boleh menjadi pejabat publik karena tugas mereka hanya fokus untuk menjaga dan melindungi negara dari serangan musuh-musuh Islam.

Oleh: Emmy Emmalya 
(Analis Mutiara Umat Institute)

Opini

×
Berita Terbaru Update