TintaSiyasi.id-- Sengketa Alun-alun Kota Kediri senilai Rp 17,9 miliar mangkrak berlanjut ke persidangan arbitrase di Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Hasilnya, Pemerintah Kota (Pemkot) Kediri kalah dalam persidangan tersebut. Mahkamah Agung (MA) akhirnya mengabulkan permohonan banding PT Surya Graha Utama-KSO dalam sengketa proyek revitalisasi Alun-alun Kota Kediri. Dengan keputusan ini, Pemkot Kediri dinyatakan kalah dan wajib memenuhi kewajibannya kepada kontraktor. Juru Bicara Pengadilan Negeri (PN) Kediri, Novi Nuradhayanty, mengungkapkan bahwa putusan kasasi No. 1333 B/Pdt.sus-Arbt/2024 diterima pada Jumat (7/2).
Amar putusan menyatakan bahwa keberatan kontraktor dapat dibenarkan karena putusan arbitrase sebelumnya tidak mengandung cacat hukum. “Majelis hakim menyatakan putusan arbitrase telah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 70 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,” jelas Novi. Dengan demikian, putusan Pengadilan Negeri Kediri Nomor 56 tanggal 24 September 2024 yang memenangkan Pemkot Kediri, dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum.
Kronologi sengketa proyek Alun-alun Kediri sebagai berikut. Pertama, 30 November 2023: Dinas PUPR Kota Kediri memutus kontrak proyek pembangunan Alun-alun dengan PT Surya Graha Utama-KSO. Kedua, 16 November 2023 (pekan ke-26): Progres proyek mencapai 88,21%, lebih cepat dari target. Ketiga, 30 November 2023 (pekan ke-28): Kontraktor mengklaim telah menyelesaikan proyek hingga 94%. Keempat, Januari 2024: PT Surya Graha Utama mengajukan gugatan ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
Kelima, 1 Juli 2024: BANI memutuskan memenangkan kontraktor dan meminta Pemkot Kediri membayar sesuai termin. Keenam, 24 September 2024: Pemkot Kediri memenangkan gugatan pembatalan arbitrase di PN Kediri. Ketujuh, 13 Februari 2025: MA mengabulkan banding kontraktor dan membatalkan putusan PN Kediri. Dengan putusan final ini, PN Kediri akan menerbitkan teguran kepada Pemkot Kediri untuk segera melaksanakan kewajibannya sesuai putusan MA. (Oktana.co.id, 17-2-2025).
Kelola Buruk
Kisruh proyek alun-alun Kota Kediri mengungkap buruknya tata kelola Pemerintah Kota (Pemkot) Kediri dengan korporasi. Memang ada banyak versi terkait dugaan mangkraknya proyek alun-alun kota Kediri ini. Versi dari pemkot, mereka menilai proyek tidak berjalan sebagaimana mestinya dan pihak kontraktor tidak melanjutkan proyek itu dengan baik. Berbeda dengan versi kontraktor, pihak kontraktor menyampaikan tidak mendapatkan dana sesuai yang dijanjikan, sehingga terpaksa menghentikan proyek tersebut. Akhirnya setelah sengketa dari tahun 2023—2025, putusan pengadilan memenangkan kontraktor dan meminta Pemkot Kediri membayar sesuai termin.
Memang memalukan, masak Pemkot Kediri kalah sama kontraktor alias korporasi? Namun, kalau memang pihak Pemkot Kediri tidak membayar sesuatu kesepakatan bisa apa? Sebenarnya apabila melihat kisruh proyek alun-alun ini ada beberapa hal yang perlu dikritisi.
Pertama, sejak awal Pemkot Kediri sudah salah langkah, mengapa harus menyerahkan proyek pembangunan infrastruktur kepada korporasi? Ini secara konsep kepengurusan umat sudah keliru, karena menggunakan cara pengelolaan kapitalisme sekuler. Artinya, negara menyerahkan pengelolaan infrastruktur publik kepada korporasi.
Korporasi dalam mengelola infrastruktur tentunya mengutamakan untung-rugi, bukan kemaslahatan umat. Jika pemerintah menyerahkan kepengurusan umat kepada korporasi ini adalah bentuk lepas tangan dan tanggung jawab. Walhasil ketika ada konflik begini jadi rakyat yang jadi korbannya. Seharusnya dana pembangunan dikelola dengan baik jadi berlarut-larut dan tidak tepat sasaran.
Kedua, penyerahan proyek pemerintah kepada korporasi rawan terjadi korupsi. Apalagi citra sistem demokrasi kapitalisme sekuler memang tidak pernah sepi soal masalah korupsi. Bahkan, korupsi secara berkelompok, hal itu berpeluang terjadi di setiap lembaga pemerintah, kalau tata cara pengelolaan menggunakan mindset kapitalisme sekuler.
Ketiga, sebenarnya kalau pemkot kalah dengan korporasi, rakyat yang akan menanggung kerugiannya ke depan. Mengamati kasus dari kedua versi, sepertinya memang ada dugaan korupsi yang berkelindan di sana. Entah korupsi dilakukan pihak pemkot atau pihak korporasi, ini adalah ranah penegak hukum yang membuktikan. Kalau keputusan pemkot kalah dan harus membayar ganti rugi, ini artinya rakyat yang disuruh bayar atas kebodohan dan keteledoran mereka dalam membangun alun-alun kota Kediri.
Seharusnya, jika memang ada kerugian, harus diusut pihak mana yang terlibat terjadinya kerugian itu dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Beginilah dampaknya jika pengelolaan urusan umat diserahkan kepada swasta atau korporasi. Konflik, sengketa, atau kejahatan bisa terjadi dan yang menjadi korban atas semua itu adalah rakyat.
Sampai hari ini konflik-konflik soal pembangunan infrastruktur masih menjadi skandal yang berakibat perampasan/penggusuran rumah warga. Parahnya pembangunan infrastruktur tidak pyur untuk rakyat tetapi dikomersialisasi atas nama kerja sama dengan korporasi.
Pandangan Islam
Membangun infrastruktur adalah sebuah keniscayaan yang harus dilakukan oleh negara. Dalam Islam, pertama, pembangunan infrastruktur publik wajib dilakukan oleh negara, pembiayaan dikelola negara, dan negara yang menerjunkan tenaga ahli untuk kesuksesan pembangunan tersebut. Kedua, terkait pembiayaan dan sumber dana diambil dari Baitulmal. Tidak boleh negara melakukan utang ke luar negeri atau menarik pungutan ke rakyatnya demi ambisi melakukan pembangunan tersebut.
Ketiga, infrastruktur dalam Islam tidak boleh keluar dari konsep akidah islamiah. Sehingga apa pun yang dibangun dalam peradaban Islam melambangkan kedigdayaan Islam sebagai ideologi dan jantung peradaban dunia. Memadukan seni dan arsitektur yang berlandaskan akidah Islam, sehingga potensi apa pun yang mengarahkan ke hadlarah (peradaban) dan madaniyah (bentuk-bentuk) kekafiran bisa diminimalisir sedini mungkin. Infrastruktur sebagai lambang keagungan Islam dan nuansa dakwah tidak akan terlepas dari segala bentuk infrastruktur tersebut.
Keempat, dalam melakukan pembangunan, negara juga menggunakan skala prioritas berdasarkan tuntunan syariat Islam. Tidak boleh menghambur-hamburkan uang, di kala masih ada infrastruktur umum yang rusak dan berpotensi menjadi kecelakaan lalu lintas (laka lantas). Sehingga, harmonisasi pembangunan infrastruktur sejalan dengan visi-misi Islam yakni Islam rahmatan lil 'alamin.
Kelima, konsep pembangunan dalam Islam adalah ketakwaan dan kemaslahatan. Sehingga jika ada siapa pun membangun bangunan yang berpotensi membahayakan masyarakat akan ditindak tegas oleh negara. Begitu pun terkait lingkungan, tentunya dalam membangun akan mempertimbangkan amdal (analisis dampak lingkungan) dengan baik. Pembangunan tidak boldh asal-asalan sehingga bisa memungkinkan terjadi bencana dan musibah yang menimpa umat manusia.
Sejarah telah mencatat dengan tinta emas terkait pembangunan infrastruktur yang dilakukan di era kekhilafahan Islam. Bagaimana ilmuan muslim menciptakan pesawat yang hari menjadi dasar adanya transportasi udara. Abbas Ibn Firnas adalah ilmuwan muslim yang dianggap sebagai penemu pesawat terbang pertama. Ia lahir di Ronda, Spanyol pada tahun 810 M dan tinggal di Cordoba, pusat pembelajaran dunia Islam pada saat itu. Di era Kekhilafahan Utsmani juga dibuat kereta Hijaz yang memudahkan jemaah haji dalam melaksanakan ibadahnya.
Segala kemajuan sains dam teknologi adalah untuk kemaslahatan umat, begitu pun pembangunan infrastruktur yang perlu didukung tenaga ahli dan dana. Semua dikelola khalifah demi mengemban misi Islam karena amanah kepemimpinan akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Khalifah Umar Bin Khaththab r.a. pernah berkata: “Seandainya seekor keledai terperosok di kota Baghdad niscaya Umar akan diminta pertanggungjawabannya (oleh Allah), seraya ditanya: Mengapa tidak meratakan jalan untuknya?”. Inilah pentingnya mengelola pembangunan berdasarkan standar Islam. Begitu pun dalam bernegara sudah saatnya negeri ini menjadikan Islam sebagai landasan, yakni penerapan Islam secara keseluruhan dalam bingkai Khilafah Islamiah.[]
Oleh. Ika Mawarningtyas (Direktur Mutiara Umat Institute)