Tintasiyasi.id.com -- Saat rakyat dihantam krisis dan anggaran negara dipangkas di sana-sini, muncul kebijakan yang membuat publik geleng-geleng kepala: retret kepala daerah. Katanya untuk pembekalan, tetapi benarkah itu diperlukan, atau hanya akal-akalan untuk foya-foya dengan uang rakyat? Apakah ini langkah strategis untuk memperkuat kepemimpinan daerah atau justru wujud pemborosan terselubung?
Presiden Prabowo Subianto melantik 961 kepala dan wakil kepala daerah hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 di Istana Kepresidenan. Usai dilantik, para kepala daerah menjalani retret untuk mendapatkan pembekalan intensif guna memperkuat pemahaman mereka tentang tugas pemerintahan dan pembangunan daerah (voaindonesia.com, 20-2-2025).
Namun, sejumlah pihak mempertanyakan urgensi retret tersebut. Bahkan, kegiatan ini menjadi sorotan media asing. AFP dalam artikelnya "Glamping Retreat for Indonesia Leaders Sparks Criticism as Cuts Bite" menyoroti bahwa acara ini dilakukan saat pemerintah justru memangkas anggaran negara secara besar-besaran.
Pasalnya, acara ini menghabiskan biaya Rp13,2 miliar dan dilakukan saat Indonesia sedang melakukan efisiensi anggaran hingga Rp306,7 triliun di berbagai kementerian dan lembaga (Kompas.com, 21-2-2025).
Pemangkasan anggaran yang signifikan ini seharusnya menjadi momen bagi pemerintah untuk lebih selektif dalam penggunaan dana publik. Namun, alih-alih berhemat, retret kepala daerah justru menjadi sorotan karena dilakukan dengan fasilitas mewah.
Situasi ini menimbulkan beberapa pertanyaan mendasar. Jika seorang kepala daerah masih perlu pembekalan setelah dilantik, bukankah itu menunjukkan bahwa mereka belum siap sejak awal? Retret ini justru menegaskan bahwa proses pemilihan kepala daerah lebih banyak ditentukan oleh kekuatan politik dan modal, bukan kapasitas kepemimpinan yang sebenarnya.
Di sisi lain, kebijakan ini juga memperlihatkan bagaimana pemimpin negeri ini makin jauh dari realitas rakyat. Ketika masyarakat berjuang menghadapi kenaikan harga pangan dan sulitnya mencari pekerjaan, para kepala daerah malah menikmati kenyamanan retret mewah.
Sayangnya, permasalahan mendesak seperti ini sering kali luput dari perhatian para pemimpin yang lebih sibuk mengurusi agenda seremonial dibandingkan turun langsung ke lapangan.
Dalam konteks pengelolaan negara, pemimpin sejati seharusnya lebih fokus pada tanggung jawabnya terhadap rakyat. Menjelang bulan Ramadan, misalnya, para kepala daerah seharusnya kembali ke wilayah masing-masing untuk mengawasi distribusi pangan, mengantisipasi lonjakan harga, dan memastikan kebijakan yang pro-rakyat benar-benar dijalankan.
Namun, agenda seperti retret ini justru memperlihatkan bagaimana pejabat lebih memilih fasilitas dan kenyamanan pribadi dibandingkan menjalankan tugas mereka secara langsung.
Sistem politik yang ada saat ini memang cenderung melahirkan pemimpin yang jauh dari rakyat. Berbeda dengan Islam yang menempatkan kepemimpinan sebagai amanah besar, bukan sekadar jabatan untuk memperoleh keuntungan. Seorang pemimpin dalam Islam dituntut untuk benar-benar memahami bahwa setiap kebijakan yang diambil akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Rasulullah saw. bersabda: "Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam sejarah Islam, kita mengenal Khalifah Umar bin Khattab ra. yang menjalankan kepemimpinan dengan penuh ketegasan dan kesederhanaan. Beliau selalu memastikan bahwa pejabat di bawahnya bertindak adil dan tidak menyalahgunakan amanah. Setiap gubernur yang ditunjuk harus melaporkan kekayaannya sebelum dan sesudah menjabat untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.
Model kepemimpinan seperti inilah yang seharusnya menjadi standar, bukan gaya kepemimpinan yang sibuk dengan acara seremonial tanpa manfaat nyata bagi rakyat.
Pembinaan pemimpin dalam Islam juga dilakukan dengan cara yang berbeda. Seorang pemimpin dipilih bukan karena modal politik, tetapi karena kapasitas, akhlak, dan kemampuannya dalam mengelola urusan umat. Mereka tidak perlu dibekali dengan retret mewah, karena sistem Islam sudah membentuk mereka sejak awal dengan pendidikan berbasis akidah yang kokoh. Dengan demikian, kepemimpinan bukanlah ajang mencari keuntungan, melainkan ladang pengabdian yang akan dimintai pertanggungjawaban di dunia dan akhirat.
Retret kepala daerah yang menghabiskan miliaran rupiah ini bukanlah bentuk investasi kepemimpinan, melainkan cerminan dari sistem yang tidak berpihak kepada rakyat. Selama pemimpin lahir dari sistem yang sarat dengan kepentingan kapitalis, kebijakan seperti ini akan terus terjadi.
Hanya dengan penerapan sistem Islam, kepemimpinan dapat kembali kepada esensinya, yakni melayani rakyat dengan penuh tanggung jawab, tanpa kemewahan yang tidak perlu. Wallahualam bishshawwab.[]
Oleh: Muzaidah
(Aktivis Muslimah)