Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Retret Kepala Daerah Cerminan Sistem Kapitalis

Kamis, 06 Maret 2025 | 23:09 WIB Last Updated 2025-03-06T16:09:13Z
TintaSiyasi.id -- Setelah pelantikan serentak kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berjumlah sangat banyak di Istana Negara — yakni 85 wakil wali kota dengan total 961 kepala daerah dari 481 daerah, 33 gubernur, 33 wakil gubernur, 363 bupati, 362 wakil bupati, dan 85 wali kota — mereka akan menjalani retret untuk meningkatkan efektivitas kinerja mereka serta memperkuat kekompakan dan keselarasan dalam menjalankan tugas pemerintahan. 

Tak tanggung-tanggung, dana yang dikeluarkan untuk kegiatan tersebut terbilang sangat fantastis. Kendati demikian, Mendagri Tito Karnavian mengatakan bahwa telah dilakukan efisiensi dana terhadap kegiatan tersebut dengan memangkas hari pelaksanaannya menjadi lebih singkat. Ia juga menyebutkan bahwa dana yang dikeluarkan untuk kegiatan retret tersebut mencapai 13,2 miliar.

Pengamat hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari, menjelaskan bahwa kegiatan retret tersebut ada di masa pemerintahan Prabowo-Gibran dalam bentuk pendidikan semimiliter yang tidak ada hubungannya dengan pelaksanaan tugas kenegaraan. (sumber: VOAIndonesia.com, 20 Februari 2025)

Banyak pihak yang tidak setuju dan mengkritik pelaksanaan retret bagi kepala daerah dan wakilnya yang baru saja dilantik ini. Pasalnya, selain kegiatan tersebut dinilai tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja pemerintah, waktu pelaksanaannya pun dianggap tidak tepat dan justru menghamburkan dana di saat Indonesia sendiri seharusnya melakukan efisiensi anggaran.

Momentum retret yang bertepatan dengan datangnya bulan Ramadan juga menjadi alasan ketidaktepatan kegiatan ini. Sebab, pada saat inilah pasokan dan stok pangan, serta berbagai kebutuhan lainnya, membutuhkan perhatian lebih.
(sumber: Tirto.id, 19 Februari 2025)

Retret dianggap sebagai sarana untuk menyiapkan kepala daerah dalam menjalankan tugas, khususnya dalam hal koordinasi dengan pemerintah pusat dan daerah lain. Namun, banyak pihak menyatakan bahwa retret ini tidak membawa manfaat yang jelas. Terlebih lagi, saat ini ada banyak hal mendesak yang seharusnya menjadi prioritas mereka — yaitu urusan kehidupan rakyat.

Efisiensi dana yang berdampak pada kurangnya pelayanan kepada rakyat sesungguhnya membuktikan bahwa negara abai terhadap tanggung jawabnya sebagai pengurus rakyat. Negara hanya berperan sebagai operator dan fasilitator bagi kepentingan korporasi. Peran ini semakin menguat dengan diterapkannya desentralisasi kekuasaan atau otonomi daerah. Inilah wajah buruk sistem kapitalisme: lebih mementingkan kepentingan penguasa daripada rakyatnya.

Di sisi lain, dalam kegiatan retret ini disediakan berbagai fasilitas mewah. Hal ini menjadi ironis mengingat masih banyak rakyat yang hidup dalam kesulitan. Apalagi, kegiatan ini berlangsung di tengah kebijakan efisiensi anggaran untuk menyukseskan program seperti MBG dan lainnya. Seharusnya para pejabat memiliki empati terhadap rakyat yang saat ini tengah menghadapi himpitan hidup. Para pejabat semestinya bertanggung jawab dengan membuat kebijakan yang mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan rakyat.

Dalam hal ini, terlihat jelas bahwa kapitalisme telah gagal mengurus urusan rakyat. Kapitalisme juga tidak akan pernah mampu menciptakan kesejahteraan karena pada dasarnya sistem ini memiliki banyak cacat dan ketimpangan.

Sangat Berbeda dengan Sistem Islam

Islam menetapkan bahwa penguasa adalah ra’in (pengurus rakyat) yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT. Dengan menerapkan sistem Islam secara kaffah, penguasa diwajibkan mewujudkan kesejahteraan rakyat dan memenuhi berbagai kebutuhannya, seperti sandang, pangan, dan papan.

Dalam Islam, pemerintahan bukan sekadar alat untuk meraih kekuasaan, melainkan amanah besar untuk menegakkan aturan Allah SWT secara adil dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Sistem Islam kaffah (khilafah) yang berlandaskan syariat Islam hadir sebagai solusi dalam mengatur kehidupan masyarakat secara menyeluruh. Dalam konteks pemerintahan, khilafah memegang peran penting dalam menciptakan stabilitas politik dan ekonomi.

Islam juga memiliki sistem pendidikan yang mampu menghasilkan generasi pemimpin yang siap mengemban amanah kepemimpinan. Jika diperlukan pembekalan, maka kegiatan tersebut akan diselenggarakan seefektif dan seefisien mungkin, dengan fokus pada substansi pembekalan, bukan pada seremonial dan kemewahan yang hanya menghamburkan uang rakyat.

Islam juga menetapkan syarat-syarat menjadi pemimpin yang dapat menjamin terwujudnya kepemimpinan yang amanah, yaitu: beragama Islam, laki-laki, baligh, berakal, merdeka, adil, dan mampu. Dengan syarat seperti ini, Islam mampu menghadirkan pemimpin yang benar-benar mampu menjalankan amanah sebagai penguasa.

Wallahu a'lam bish-shawab

Oleh: Yusniah Tampubolon
Aktivis Muslimah

Opini

×
Berita Terbaru Update