TintaSiyasi.id -- Jalur Gaza kembali memanas setelah Israel melancarkan serangan darat pada 19 Maret 2025, menyusul serangan udara besar-besaran. Israel berupaya memperluas zona keamanan dan menekan Hamas agar membebaskan sandera yang masih ditahan.
Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, menyampaikan ultimatum keras, didukung oleh pernyataan Presiden AS Donald Trump. Upaya diplomasi dan gencatan senjata sebelumnya gagal karena perbedaan sikap antara Israel dan Hamas. Ketegangan ini memicu kekhawatiran akan eskalasi menjadi perang besar, sementara rakyat Israel mendesak pemerintah lebih memprioritaskan penyelamatan sandera. (Beritasatu.com, 20/03/2025)
Ramadhan seharusnya menjadi bulan yang penuh kegembiraan dan keberkahan bagi seluruh umat Islam. Di masa Rasulullah Saw., Ramadhan adalah momentum umat untuk memperbanyak ibadah, memperkuat ukhuwah, dan meraih kemenangan dalam berbagai pertempuran besar. Namun, apa yang terjadi di Palestina hari ini menunjukkan betapa jauhnya umat dari kondisi tersebut.
Kaum Muslim di Palestina tidak bisa leluasa beribadah di Masjid Al Aqsa, kiblat pertama umat Islam yang penuh kemuliaan. Otoritas Zionis, dengan dalih keamanan, memberlakukan pembatasan ketat terhadap jamaah yang ingin salat di sana. Setiap tahun, khususnya di bulan Ramadhan, pembatasan ini terus berulang, mencerminkan ketidakadilan yang dibiarkan dunia.
Meski demikian, semangat warga Palestina tak pernah surut. Mereka tetap berbondong-bondong datang ke Al Aqsa untuk salat dan berbuka puasa bersama di Al Quds. Ini menjadi bukti nyata bahwa penjajahan belum berakhir. Sebab, keamanan umat Islam berada di tangan penjajah, bukan di tangan kaum muslimin sendiri.
Kondisi ini menunjukkan bahwa umat Islam Palestina dan umat Islam pada umumnya tak seharusnya gentar menghadapi kejahatan Zionis yang didukung penuh oleh Amerika Serikat. Ramadan harus menjadi momentum memperkuat azzam (tekad) untuk melawan penjajahan dan menolak tunduk pada kediktatoran Zionis.
Umat Islam tak boleh lagi tertipu dengan solusi Barat yang berkedok "perdamaian" atau narasi sesat yang hanya memperpanjang penderitaan Palestina. Sudah terlalu lama Palestina dijadikan alat tawar-menawar politik internasional. Padahal, musuh yang dihadapi adalah muhariban fi'lan. Musuh nyata yang secara terang-terangan memerangi umat Islam dan merampas tanah suci mereka.
Karena itu, satu-satunya solusi efektif dan hakiki adalah melawan penjajahan dengan kekuatan dan bukan diplomasi. Perlawanan yang akan berhasil hanyalah yang berada di bawah kepemimpinan seorang khalifah yang menyatukan seluruh kekuatan umat Islam di dunia. Penegakan kembali khilafah bukan lagi sekadar cita-cita, melainkan qadliyah mashiriyah perkara hidup dan mati yang harus menjadi agenda utama umat Islam.
Untuk mewujudkannya, diperlukan dakwah yang dipimpin oleh jamaah dakwah ideologis. Dakwah ini harus membangun kesadaran umat bahwa menegakkan khilafah adalah kewajiban syar’i. Hanya dengan khilafah, umat Islam bisa bersatu, menggalang kekuatan, dan menyerukan jihad ke Palestina demi membebaskan Masjid Al Aqsa dan seluruh bumi Palestina dari cengkeraman penjajah Zionis.
Ramadhan bukan sekadar bulan ibadah pribadi, melainkan bulan kemenangan yang harus kita sambut dengan tekad perjuangan — sebagaimana Rasulullah saw. dan para sahabat mencontohkan. Saatnya umat bangkit, bersatu, dan bergerak menuju kebangkitan hakiki di bawah naungan khilafah yang akan memimpin umat menuju kemenangan dan kemuliaan. Wallahu a'lam bishshawab. []
Tsaqifa Nafi'a
(Aktivis Muslimah)