Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Potensi Bahaya Danantara bagi Rakyat Indonesia

Kamis, 20 Maret 2025 | 16:21 WIB Last Updated 2025-03-22T15:34:27Z


TintaSiyasi.id-- Meski bertujuan untuk mengelola kekayaan Indonesia dengan mengoptimalkan aset dan investasi pemerintah serta mendukung pertumbuhan ekonomi nasional tetapi Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) menyimpan potensi bahaya bagi rakyat Indonesia yang tidak bisa dianggap sebagai angin lalu saja. 

Berikut empat dari sekian banyak potensi bahaya dan patut dikritisi dari lembaga pengelolaan investasi terbesar Indonesia yang terkesan tergesa-gesa tersebut.

Pertama, dari dana awalnya sudah salah. Presiden Prabowo Subianto menargetkan dana kelolaan lembaga superholding BUMN yang diluncurkan pada 24 Februari 2025 tersebut mencapai US$900 miliar (sekitar Rp14.715 triliun) yang untuk sementara mengelola dividen tujuh BUMN (masih memungkinkan bertambah) yakni Bank Mandiri, Bank BRI, PLN, Pertamina, Bank BNI, Telkom Indonesia, dan MIND ID untuk diinvestasikan ke dalam proyek, baik yang ada di dalam negeri ataupun di luar negeri.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga  Atas UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara ---disingkat jadi UU BUMN 2025, yang baru disahkan 4 Februari 2025--- Pasal 3G ayat (3) dan ayat (4) intinya berbunyi dana awal Badan (Danantara) minimal Rp1000 triliun dan modalnya bersumber dari penyertaan modal negara (PMN) dan/atau sumber lain. 

Oleh karena itu, Prabowo pun segera memangkas anggaran pengeluaran APBN untuk berbagai kementerian sekitar Rp750 triliun yang Rp327,2 triliunnya dialokasikan untuk PMN Danantara. Sedangkan sisanya untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG). 

Untuk mencapai Rp1000 triliun, maka Danantara harus mendapatkan modal dari swasta nasional ataupun asing Rp672,8 triliun. Namun, sampai makalah ini ditulis (11 Maret 2025), belum ada satu pun investor yang bersedia berinvestasi ke Danantara. Bahkan, sejak hari pertama Danantara diluncurkan, justru arus modal asing terus menerus keluar dari Indonesia.  Tidak terkecuali dari perbankan BUMN yang baru saja menjadi subholding Danantara.

Jika dilihat dari dana awalnya, maka pembentukan Danantara ini menyalahi fungsinya itu sendiri sebagai badan pengelola investasi (sovereign wealth fund/SWF) atau dana abadi bagi sebuah negara. 

Karena dana SWF itu harusnya diambil dari keuntungan (dividen) BUMN yang menjadi subholding-nya, bukan dari dana APBN yang memang sudah dialokasikan untuk kepentingan publik atau masyarakat. Apalagi 80 persennya diambil dari pajak yang jelas-jelas menambah beban hidup rakyat.

Belum lagi, dari total belanja APBN 2025 sebesar Rp3.621,3 triliun (yang Rp775,9 triliunnya diperoleh dari utang), pemerintah mengalokasikan Rp552,8 triliun untuk pembayaran bunga utang. Bunga lho ya, belum pokoknya. Naik 10,8% dibandingkan APBN 2024. 

Jika seperti itu faktanya, maka keberadaan Danantara menjadi tambahan beban berat negara dan rakyat. Baik di dunia maupun akhirat. Apalagi adiknya Prabowo yakni Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi Hashim Djojohadikusumo mengatakan pemerintah akan menyuntikkan dana US$ 20 miliar (lebih dari Rp300 triliunan) setiap tahun untuk Danantara. Harusnya pemerintah menyelesaikan masalah APBN terlebih dahulu yang dalam Islam itu haram diambil dari pajak dan pinjaman renten, jangan malah menambah beban baru. 

Kedua, efesiensi anggaran yang salah prioritas. Suntikan dana Danantara hanya berfokus pada proyek-proyek infrastruktur dan investasi besar dan waktunya untuk jangka panjang. Sementara, sektor-sektor yang vital dan mendesak harus dikorbankan dengan dipangkas anggarannya. Ada belasan kementerian yang anggarannya dipangkas. Tiga di antaranya adalah kementerian kesehatan (dipangkas Rp19,6 triliun), kementerian pendidikan dasar dan menengah (dipangkas Rp8 triliun), dan kementerian pekerjaan umum, secara teknis membangun infrastruktur (dipangkas Rp81,38 triliun) yang dibutuhkan untuk hajat hidup orang banyak. 

Adapun pendidikan, sangat dibutuhkan untuk menentukan generasi yang berkualitas. Belum dipangkas saja, kualitas pendidikan saat ini sangat buruk, baik tenaga pengajarnya, sarana dan prasarana, bahkan kurikulum yang sering berganti. Bahkan, laporan World Population Review 2021 menempatkan Indonesia pada peringkat ke-54 dari 78 negara yang masuk dalam pemeringkatan pendidikan dunia. Ini menunjukkan kualitas pendidikan di Indonesia saat ini terbilang rendah dibandingkan dengan negara-negara lain.

Begitu juga dengan kesehatan, jika dananya dipangkas akan sulit menjangkau fasilitas kesehatan yang berkualitas, infrastruktur terbatas, minimnya tenaga medis dan lainnya. Begitu juga jika infrastruktur dipangkas juga, maka kualitas terkait pelayanan publik juga akan buruk. Artinya, ketika hal-hal vital seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur harus dipotong anggarannya, maka akan berdampak langsung kepada masyarakat. Oleh karena itu, justru Danantara dibentuk itu sebuah beban baru.

Ketiga, berisiko diwarnai kepentingan politik. Masuknya sederet tokoh politik nasional, bahkan luar negeri terutama Inggris dan Amerika Serikat dalam struktur kepengurusan Danantara berisiko diwarnai kepentingan politik, akibatnya kebijakannya akan tidak efisien, konflik kepentingan, atau bahkan penyalahgunaan wewenang dan justru bisa menjadi sarang korupsi terselubung, yang seakan sudah diniatkan sejak awal; mulai dari payung hukumnya hingga para penyelenggara Danantaranya. 

Dari payung hukumnya, dapat diduga dari Pasal 71 ayat 3 UU BUMN 2025 yang intinya berbunyi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) hanya dapat melakukan audit BUMN (termasuk superholding BUMN Danantara tentunya) atas permintaan alat kelengkapan DPR RI yang membidangi BUMN. Bagaimana kalau DPR tidak mau meminta BPK mengaudit BUMN/Danantara? Bandingkan dengan UU BUMN 2003, Pasal 71 yang hanya dua ayat dan tidak ada ayat tiga tersebut sehingga BPK dapat inisiatif mengaudit BUMN tanpa harus diminta DPR.  

Sedangkan dari para penyelenggaranya, salah satunya dapat diindikasikan dari penunjukkan Dewan Direksi, Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Rosan Roeslani sebagai CEO Danantara. Pasalnya, Rosan sebagai menteri seharusnya bekerja di ranah regulasi sementara jabatan barunya sebagai CEO Danantara ada di ranah operasional. 

Begitu juga Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dony Oskaria menjabat COO Danantara, sementara Menteri BUMN Erick Thohir menjadi Ketua Dewan Pengawas. Begitu juga Menteri Keuangan Sri Mulyani menjabat sebagai salah satu anggota Dewan Pengawas.

Rangkap jabatan tidak bisa disatukan karena dapat menghambat kinerja pejabat terkait dalam menjalankan tugasnya. Fokus kerja bisa terpecah antara tanggung jawab di kementerian dan di Danantara. Apalagi yang menjadi pengawas menteri dan pelaksana juga menteri, dan mereka anak buah presiden, bisa dipastikan akan terjadi konflik kepentingan antara pihak yang mengawasi dan pihak yang diawasi. 

Apalagi secara normatif ada larangannya. Salah satunya adalah UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Pasal 23 ayat (1) menyebutkan, ”Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a.pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBN/APBD)”.

Tak hanya itu, yang menjadi Dewan Penasihat Danantara yakni mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi) karena menurut Probowo, mereka itu sosok yang punya integrasi untuk menjaga kekayaan negara dan memang cinta Indonesia.

Padahal SBY diduga terlibat skandal Century, skandal Hambalang dan melakukan rintisan menswastakan puluhan BUMN dengan menawarkan saham perdana perusahaan kepada masyarakat umum yang dikenal dengan istilah initial public offering (IPO).

Sedangkan Jokowi, dugaan kebijakan korupnya selama 10 tahun memimpin sudah sangat luar biasa terstruktur, sistematis dan massif. Sehingga tidak aneh dirinya menjadi nominator pemimpin dunia terkorup 2024 versi jaringan jurnalis investigasi global Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP).  

Jika dilihat dari struktur kepengurusan Danantara, semua orang-orang yang terpilih memang ada di kubu yang sama yakni mendukung Prabowo menjadi Presiden RI. Sehingga dipilihnya mereka patut diduga karena balas jasanya Prabowo bagi-bagi kue kekuasaan.

Yang juga patut dikritisi, ada juga nama sejumlah tokoh internasional yang ditunjuk Prabowo menjadi dewan pengawas Danantara. Di antaranya adalah mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair dan investor kawakan Amerika Serikat Ray Dalio. 

Menurut Wakil Media Dewan Pengawas Danantara Muliaman Hadad, kedua tokoh internasional tersebut dipilih sebagai salah satu langkah pemerintah untuk memperbesar eksposur (membantu bisnis lebih berkembang) internasional ke Danantara. 

Padahal, diduga Ray Dalio termasuk tokoh AS yang kontroversial. Pasalnya, ia diduga membela Cina dalam melakukan persekusi dan kriminalisasi terhadap Muslim Uighur di tengah kampanye AS menyudutkan Cina dengan isu HAM terhadap penduduk Xinjiang (Turkistan Timur) tersebut. 

Yang jauh lebih parah lagi, Tony Blair bersama Presiden Amerika Serikat saat itu George W Bush jelas-jelas telah menginvasi Irak (2003). Membantai ratusan ribu jiwa Muslim, baik militer maupun sipil, dengan perkiraan 460.000 jiwa syahid (insyaallah) dan jutaan lainnya terluka, serta kerusakan infrastruktur yang luas.  

Blair juga terang-terangan memusuhi syariah dan khilafah dengan menyebutnya sebagai ideologi setan. Alih-alih bertindak tegas terhadap musuh kaum Muslim, Prabowo malah merangkul keduanya masuk Danantara. Mengapa? Apakah ingin menargetkan para investor yang islamofobia untuk berinvestasi ke Danantara?

Keempat, investasi untuk kepentingan oligarki. Banyak kalangan yang mengkhawatirkan Danantara dapat lebih menguntungkan oligarki daripada masyarakat umum. Pasalnya, dana besar yang dikelola Danantara rentan terhadap korupsi dan cenderung lebih menguntungkan pelaku bisnis besar ketimbang rakyat. 

Seperti proyek hilirisasi yang menjadi fokus investasi Danantara, nikel dan bauksit, mayoritas smelternya dikuasai oleh perusahaan asing, sehingga manfaatnya bagi masyarakat lokal dipertanyakan. Padahal, dalam Islam itu semua tidak boleh dikelola oleh swasta maupun asing. Itu semua wajib dikelola oleh negara yang hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Karena semua tambang yang hasilnya berlimpah tersebut menurut pandangan Islam termasuk milkiyah ammah (kepemilikan umum).

Danantara juga berinvestasi pada proyek infrastruktur seperti jalan tol, pelabuhan dan bandara. Padahal, bila sudah dikomersialkan seperti itu bukan proyek infrastruktur lagi, melainkan bisnis. Karena dalam sistem Islam, infrastruktur gratis, tidak boleh dikomersialkan.

Selain itu, struktur kepengurusan Danantara yang melibatkan individu dengan latar belakang bisnis besar dan afiliasi politik menimbulkan kekhawatiran tentang potensi konflik kepentingan. Misalnya, Rosan Roeslani, yang memiliki rekam jejak di berbagai perusahaan tambang, ditunjuk sebagai Kepala Danantara. 

Keterlibatan tokoh-tokoh dengan koneksi kuat di sektor sumber daya alam dan politik dapat memicu kekhawatiran bahwa Danantara akan lebih berpihak pada kepentingan oligarki daripada kepentingan rakyat luas. Kekhawatiran ini mencerminkan potensi Danantara dapat menjadi alat bagi elite bisnis dan politik untuk memperkuat dominasi mereka atas sumber daya nasional, sementara manfaat bagi masyarakat umum mungkin terbatas. 

Pandangan Islam

Menurut pandangan Islam, investasi merupakan salah satu cara mengembangkan harta yang diperbolehkan selama memenuhi ketentuan syariah. Ada beberapa prinsip utama investasi dalam Islam di antaranya:

Pertama, bebas dari riba (bunga). Islam melarang riba (bunga) dalam segala bentuk transaksi keuangan, termasuk investasi. Oleh karena itu, instrumen investasi yang bakal dilakukan Danantara maupun oleh BUMN-BUMN perbankan yang saat ini menjadi subholding Danantara seperti deposito berbunga atau obligasi konvensional tidak diperbolehkan.

Kedua, bebas dari gharar (ketidakjelasan) dan maysir (perjudian). Investasi yang mengandung spekulasi tinggi atau ketidakjelasan dalam akad dilarang. Contohnya, investasi dalam bentuk perjudian atau skema ponzi (salah satu bentuk penipuan finansial yang menjanjikan banyak keuntungan bagi korbannya). Maka, Danantara tidak boleh melakukan ini semua. 

Ketiga, investasi dalam sektor halal. Modal yang diinvestasikan harus digunakan dalam bisnis atau usaha yang halal. Investasi dalam industri yang haram: seperti khamar, perjudian, pornografi, dan tidak diperbolehkan. Harus dipastikan juga Danantara tidak melakukan semua keharaman ini. 

Keempat, hanya negara yang berhak dan berkewajiban mengelola harta kepemilikan umum (milkiyyah ammah). Maka investasi swasta nasional maupun asing yang ditanamkan di Danantara maupun di berbagai BUMN yang menjadi subholding Danantara haram diinvestasikan ke berbagai pertambangan yang hasilnya melimpah (emas, minyak, gas, batu bara, dan lain-lain). 

Kelima, berbasis prinsip keadilan. Islam menekankan prinsip keadilan dalam investasi. Tidak boleh ada pihak yang dirugikan secara tidak adil dalam transaksi. Investasi yang dilakukan harus memberikan manfaat bagi masyarakat dan tidak hanya menguntungkan individu atau kelompok tertentu serta bebas dari keharaman. Oleh karena itu, penting untuk Danantara selalu mengecek kehalalan investasi sebelum terlibat dalam suatu instrumen keuangan.

Namun jangan lupa, berharap Danantara menjadi islami dan berkah terjauh dari berbagai keharaman dan bahaya bagi negeri berpenduduk mayoritas Muslim ini tentu saja jauh panggang dari api bila tanpa mengganti ideologi kapitalisme (sekuler-demokrasi) yang saat ini bercokol menjadi ideologi Islam (tauhid-khilafah). 

Karena memang, terdapat perbedaan mendasar antara kapitalisme versus Islam terkait siapa yang membuat hukum, benar-salah, baik-buruk, maupun halal-haram terkait berbagai bidang termasuk dalam bidang investasi. Sedangkan Danantara yang merupakan superholding BUMN tidak berdiri di ruang hampa ideologi tetapi terikat erat oleh ideologi yang tegak di tempatnya berdiri. Wallahu’alam bish shawwab.[]

Depok, 11 Ramadhan 1446 H | 11 Maret 2025 Masehi

Oleh. Siti Aisyah (Koordinator Kepenulisan KMM Depok) dan Joko Prasetyo (Jurnalis) 

Opini

×
Berita Terbaru Update