Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

PHK Sritex Korban Negara yang Salah Arah

Selasa, 25 Maret 2025 | 21:49 WIB Last Updated 2025-03-25T14:49:48Z

Tintasiyasi.id.com -- Di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu, melonjaknya harga bahan pokok, terjadi PHK massal pada ribuan karyawan PT Sritex. PT Sri Rejeki Islam Tbk (Sritex) merupakan perusahaan tekstil terbesar se-Asia Tenggara yang dianggap paling kuat dari PHK. 

Setelah berjaya selama 58 tahun, raksasa tekstil ini akhirnya ditutup permanen pada tanggal 1 Maret 2025. Di lansir dalam CNBC Indonesia (2/3/2025), per tanggal 26 Februari, PT Sritex telah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) pada 8.400 karyawannya.

Faktor Ambruknya Raksasa Tekstil Dalam Negeri

Ambruknya industri tekstil hingga berujung PHK massal, Sritex bukanlah korban pertama dan satu-satunya. Sebelumnya sudah ada beberapa industri tekstil yang lebih dulu gulung tikar. Kondisi tersebut adalah dampak dari negara yang salah arah.

Pada 12 November 2017, pemerintah Indonesia telah menandatangani ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA). ACFTA adalah kesepakatan antara negara-negara anggota ASEAN dengan China. Selain itu pemerintah juga mengeluarkan Perppu Cipta Kerja 2022 dan Permendag 8/2024.

Kesepakatan ACFTA dan kedua kebijakan pemerintah tersebut telah mengubah cara kerja birokasi di Indonesia, sehingga memberikan jalan mulus terhadap perdagangan bebas. Akibatnya, Indonesia kebanjiran produk impor tekstil dan produk tekstil (TPT) dari Cina. Parahnya, produk TPT domestik tidak mampu bersaing terutama dari sisi harga.

Para konsumen banyak beralih ke produk TPT Cina yang harganya jauh lebih murah.
Begitulah liberalisasi perdagangan yang terjadi di sistem kapitalisme. Negara bukanlah pihak yang terlibat langsung dalam menciptakan lapangan kerja dan kesejahteraan pekerja. Bahkan Sritex yang dijanjikan akan selamat jika saat pemilu memilih paslon tertentu.

Namun, meski sudah resmi dilantiknya pemimpin yang baru, ternyata nasibnya Sritex harus tutup permanen dan ribuan karyawannya di PHK. Begitulah negara yang berwatak populis otoriter, negara tidak mampu melindungi industri tekstil dalam negeri, apalagi bersungguh-sungguh dalam menyejahtarakan rakyatnya.

Islam Menjamin Perindustrian Dan Lapangan Kerja

Tujuan dari politik industri dalam Islam adalah menjadikan negara sebagai negara industri mandiri. Sehingga negara tidak bergantung pada negara-negara kapitalis atau negara kufur. Apalagi prinsip industri yang dibangun dalam Islam adalah harus berpijak pada politik perang, apapun jenis industrinya. (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam buku Struktur Negara Khilafah hlm: 171).

Pada perdagangan luar negeri, hukum syara’ menetapkan hukum-hukum perdagangan luar negeri hanya menyangkut pelaku bisnisnya bukan pada komoditi atau barangnya. Seperti membolehkan adanya perdangan luar negeri dengan negara kafir mu’ahid (yang memerangi secara de jure).

Akan tetapi mengharamkan melakukan transaksi dengan kafir harbi (yang memerangi secara de facto) sebagaimana Israel dan AS. Khusus, pada komoditi atau barang industri persenjataan, Islam melarang (haram) membawa barang tersebut ke negara kafir harbi maupun mu’ahid (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam buku Sistem Ekonomi Islam hlm 403-404).

Terkait lapangan pekerjaan, Khilafah mengupayakan berbagai mekanisme agar setiap laki-laki dapat memiliki pekerjaan dan menafkahi keluarganya. Beberapa mekanisme tersebut telah dijelaskan oleh Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam buku Sistem Ekonomi Islam, di antaranya adalah;

1. Sistem ekonomi Islam menetapkan sumber daya alam yang melimpah sebagai harta milik umum yang harus dikelola oleh negara. Sumber daya alam tersebut dieksplorasi dan dikembangkan dalam rangka mewujudkan kemajuan taraf perekonomian umat. Pengelolahan harta milik umum secara mandiri oleh negara ini otomatis akan membuka lapangan kerja di banyak bidang. Mulai dari tenaga ahli sampai tenaga terampil.

2. Mekanisme lainnya adalah pemberian negara (I’tha ad-daulah) kepada rakyat yang diambil dari harta baitul mal. Pemberian negara kepada individu rakyat tersebut bisa berupa modal yang dapat dimanfaatkan untuk menggarap tanah pertanian mereka atau untuk usaha yang lainnya.

Adapun pemberian negara berupa tanah, maka tanah tersebut menjadi milik yang bersangkutan. Sehingga dari pemberian negara tersebut, seseorang dapat bekerja dengan cara mengelola tanah atau ditanami. Pada masa Khalifah Umar ra., beliau pernah berkata kepada Bilal al-Muzni, “Sesungguhnya Rasulullah saw. memberimu tanah agar kamu dapat bekerja."

Seperti itulah Khilafah mewujudkan industri yang mandiri serta menjamin lapangan kerja agar tidak ada warga negaranya yang menganggur baik dari muslim maupun non-muslim. Sebab, negara adalah pengurus (ra’in) rakyat serta bertanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup rakyatnya. Wallahu’alam bishowab.[]

Oleh: Ricky Rachmawati, S.Si.
(Aktivis Muslimah)


Opini

×
Berita Terbaru Update