Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

PHK Marak, Hidup Rakyat Makin Berat

Selasa, 11 Maret 2025 | 21:20 WIB Last Updated 2025-03-11T14:21:04Z
TintaSiyasi.id -- Miris, awal tahun negeri ini menghadiahkan rakyatnya dengan hal yang tak terduga, yaitu maraknya PHK di berbagai perusahaan. Hal ini dilakukan oleh pemerintah dengan alasan upaya untuk melakukan penghematan anggaran negara berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025.

Kejadian miris ini dapat dilihat dari salah satu PT yang ada di Indonesia, di mana terdapat 400 orang buruh PT Sanken Indonesia mengalami pemutusan hubungan kerja karena akan dilakukannya penutupan pabrik tersebut. Tutupnya pabrik dan PHK PT Sanken Indonesia menjadi alarm darurat ancaman PHK puluhan ribu karyawan di sektor industri elektronik. Sebelumnya, ratusan ribu buruh juga ter-PHK di sektor industri tekstil, garmen, dan sepatu sepanjang tahun 2024.

Selain PT Sanken, terdapat juga PT Yamaha Music Indonesia yang memproduksi piano dan berorientasi ekspor, telah memulangkan sekitar 1.100 orang karyawannya, di antaranya 400-an orang di pabrik Cibitung dan 700-an orang di pabrik Jakarta. Kejadian ini sungguh memilukan.

Presiden RI menyampaikan bahwa para pekerja yang terkena kebijakan pemutusan hubungan kerja (PHK) kini berhak mendapatkan 60 persen gaji selama kurun waktu enam bulan. Namun, apakah hal itu menjadi solusi atau hanya ilusi semata? Rakyat membutuhkan biaya kehidupan untuk keluarganya, tetapi para kepala keluarga atau anggota keluarganya malah di-PHK. Bagaimana mereka melanjutkan kehidupan berikutnya? Hal inilah yang membuat angka kejahatan, seperti pembunuhan dan pencurian, semakin tinggi di negeri ini.

Mengapa Semua Ini Terjadi?

Semua ini terjadi karena sistem kapitalisme sedang menduduki takhta tertinggi dalam pengambilan keputusan. Sistem ini memberikan sudut pandang bahwa buruh dipandang sebagai faktor produksi, layaknya bahan baku, mesin, dan alat produksi lainnya. Karena hanya menjadi faktor produksi, ketika perusahaan menghendaki penghentian produksi, baik karena bangkrut maupun relokasi ke negara lain, buruh menjadi korban atas keputusan tersebut.

Hal ini membuka mata kita tentang rentan dan lemahnya posisi buruh dalam sistem kapitalisme. Parahnya lagi, meskipun tidak terkena PHK, nasib buruh sering kali tetap berada "di bawah" dengan upah minimum dan tanpa jaminan kesejahteraan yang layak. Pada saat buruh mengalami PHK, tidak ada pihak yang mau bertanggung jawab atau membantu nasib mereka setelah kehilangan pekerjaan. Buruh harus berpikir keras sendirian untuk mencari nafkah demi menjaga kelangsungan hidup dirinya dan keluarganya.

Demikianlah zalim dan rusaknya sistem kapitalisme. Ini sungguh berbeda dengan sistem Islam.

Islam dan Pandangannya tentang Buruh

Perbedaan Islam dengan kapitalisme dalam memandang buruh terletak pada hubungan antara buruh, pengusaha (pemberi kerja), dan negara (pemerintah). Pada sistem kapitalisme, pekerja/buruh hanya dianggap sebagai petugas produksi sehingga hubungan pengusaha dengan buruh bersifat eksploitatif. Sebaliknya, dalam sistem Islam, buruh adalah bagian penting dalam berjalannya perusahaan atau disebut sebagai mitra pengusaha. Keduanya saling berkolaborasi dalam mewujudkan kebaikan sesuai dengan perintah Allah Swt.

Sebagaimana dijelaskan oleh salah satu mujtahid mutlak, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah dalam bukunya Sistem Ekonomi dalam Islam (Nizhamu Al-Iqtishadiyi fii al-Islam), “Ijarah (pengupahan) adalah upaya seorang majikan (musta’jir) untuk mendapatkan manfaat (jasa) dari seorang pekerja (ajir) dan upaya seorang pekerja untuk mengambil harta (upah) dari majikan. Ijarah dimaksudkan sebagai perjanjian transaksi dan adanya kompensasi.”

Berdasarkan hal ini, hubungan buruh dan pengusaha dalam Islam adalah hubungan yang saling menguntungkan dan saling memberi kebaikan. Keduanya saling tolong-menolong dalam aktivitas produksi tanpa adanya kedzaliman sedikit pun.

Peran Negara dalam Islam

Dalam Islam, hubungan negara dengan buruh adalah hubungan ri’ayah (pengurusan urusan rakyat). Demikian pula hubungan negara dengan pengusaha. Negara berfungsi sebagai raa’in (pengurus rakyat) sehingga memiliki kewajiban dalam memenuhi kebutuhan pokok rakyat, termasuk buruh, berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan.

Tanggung jawab pemenuhan kebutuhan pokok rakyat ada di tangan negara, bukan pengusaha. Rasulullah saw. bersabda:

"Imam adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas orang yang dia pimpin." (HR. Al-Bukhari)

Negara Islam (Khilafah) berperan penting untuk mewujudkan dunia industri agar bisa tumbuh dengan baik dan tidak mengalami kebangkrutan, seperti dengan menghilangkan pungutan-pungutan (pajak, retribusi, dan pungli) yang membebani pengusaha dan menghambat pertumbuhan industri. Jika ada perusahaan yang bangkrut, negara Islam wajib menyediakan lapangan kerja bagi rakyat yang menjadi korban PHK.

Khilafah juga mengelola sumber daya alam, bukan menyerahkannya kepada swasta seperti yang terjadi saat ini. Khilafah melakukan industrialisasi yang berpotensi menciptakan lapangan pekerjaan bagi rakyat. Misalnya, untuk petani, Khilafah akan menyediakan lahan dan alat produksi pertanian. Untuk rakyat yang ingin berbisnis, Khilafah akan membantu dalam permodalan dan memberikan bimbingan hingga mereka berhasil.

Sungguh indah pandangan Islam tentang kedudukan buruh dan jaminan kehidupan umat.

Oleh: Aisyah
Aktivis Muslimah


Opini

×
Berita Terbaru Update