TintaSiyasi.id -- Ulama Jawa Barat Ustaz Afa Silmi Hakim, memaparkan pandangan khilafah menurut beberapa ulama. "Kitab pertama, buku siswa fiqih kurikulum 2013, diterbitkan secara resmi Kementerian Agama Indonesia tahun 2016, di halaman 12 hukum membentuk khilafah, di sini disebutkan berdasarkan pendapat yang diikuti mayoritas umat Islam hukum mendirikan khilafah itu adalah fardhu kifayah," ungkapnya di kanal YouTube Mercusuar Ummat, dalam acara Bedah Khilafah - Khilafah dalam Pandangan Para Ulama, Kamis (5/3/2025).
Pertama, ijma’ sahabat, ketika Rasulullah SAW. wafat, saat itu terdengar di kalangan para sahabat membicarakan masalah pengganti beliau (pemimpin), bahkan pembicaraan itu sempat mengarah perselisihan di antara kaum Anshor dan Muhajirin, dalam suasana demikian maka disepakati dilaksanakan musyawarah antara perwakilan dari kedua kaum tersebut yaitu dari Ansor dan Muhajirin, sementara sebagian lainnya tetap mengurus jenazah Rasulullah Saw, adapun hasil musyawarah akhirnya menetapkan Abu Bakar As Siddiq ra. sebagai khalifah atau pengganti rasulullah yang pertama.
Kedua, demi menyempurnakan kewajiban. "Khilafah harus didirikan demi menjamin atau melaksanakan kesempurnaan dalam menunaikan kewajiban Islam sebagai warga negara, dan ini kita bisa mendapati banyak persoalan-persoalan dalam Islam yang itu terkadang membutuhkan peran negara, maka ini untuk menyempurnakan kewajiban," paparnya.
Ketiga, untuk memenuhi janji Allah. Allah berjanji akan menjadikan orang-orang beriman dan beramal shalih sebagai penguasa di muka bumi. Firman Allah QS. An-Nur ayat 55.
Kitab kedua, Fiqh Islam ditulis oleh Haji Sulaiman Rasyid, merupakan buku legenda, sejak 2016 dicetak lebih dari 76 kali. Pada halaman ke 17 menyatakan al-khilafah adalah soal politik dan ketatanegaraan, namun tidak membahas secara detail persoalan ini.
"Beliau menggambarkan bahwa hukum-hukum Islam akan berjalan lancar dan baik dalam masyarakat andaikata negara itu berdasar kepada hukum-hukum Islam, sehingga dalam kitab ini beliau menyatakan Al Khilafah adalah suatu susunan pemerintahan yang diatur menurut ajaran agama Islam, beliau mengatakan kaum muslim (ijma yang muktabar), telah bersepakat, bahwa hukum mendirikan khilafah itu adalah fardhu kifayah atas semua kaum muslim," terangnya.
"Setidaknya ada tiga alasan (mendirikan khilafah fardhu kifayah) yang pertama ijma’ sahabat. Kedua, tidak mungkin dapat menyempurnakan kewajiban misalnya membela agama, menjaga keamanan, dan sebagainya selain dengan adanya khilafah atau pemerintahan Islam. Ketiga, beberapa ayat Al-Qur'an dan hadis yang menyerukan tentang pemerintahan, umat Islam diminta untuk mentaaati," sambungnya.
Kitab ketiga, Durrul Farid syarah Jauhar Tauhid yang ditulis oleh Syekh Al Alim Abdul fadhl. Kitab ini menyebutkan Nizam di kitab jauhar tauhid tentang kewajiban menegakkan imam atau kewajiban mengangkat seorang imam yang adil.
"Beliau mengatakan imam adalah pemilik kekuasaan, imam di sini adalah pemimpin umum dalam persoalan agama dan persoalan dunia, dia (khalifah) adalah pengganti Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, sesungguhnya mengangkat iman yang adil itu hukumnya wajib bagi setiap muslim," ungkapnya.
Ia memaparkan dasar pengangkatan imam (khilafah). Pertama ijma’ para sahabat telah bersepakat setelah wafatnya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, sahabat mendahulukan untuk mencari pengganti beliau daripada menguburkan beliau, jadi para sahabat di zaman itu lebih mendahulukan untuk mencari penggantinya Rasulullah SAW sebelum menguburkan Rasulullah SAW, bahkan dikatakan dan para sahabat sibuk dengan urutan pergantian tersebut, dari menguburkan Rasulullah SAW.
Kitab keempat, Al mu'tamad fiqih syafi'i juz 5 hal 258 ditulis oleh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaili. Di dalam bab hudud, beliau memberikan tambahan Al Imamah. "Beliau menegaskan di awal al-imamah adalah sistem pemerintahan di dalam Islam, ini kalimat yang sangat jelas sekali bahwa Imamah itu adalah sistem pemerintahan dalam Islam, Imam ini adalah pemimpin umum untuk mengurusi urusan-urusan agama, dunia, imam ini adalah pemimpin tertinggi, untuk membedakan imam-imam lain, yang sifatnya pemimpin di bawah Al Imamah seperti imam salat dan lain-lain, pemimpin tertinggi kaum muslim," paparnya.
Kemudian, beliau menyinggung kata Al Imamah, khilafah, amirul mukminin ini semua adalah lafaz yang sinonim, memiliki makna yang sama, boleh seseorang itu mengatakan untuk imam itu diberikan nama Al khalifah, atau yang kedua Al Imam, atau yang ketiga Amirul mukminin boleh. "Ini menunjukkan betapa pentingnya ya Imamah ini khilafah ini dalam pandangan para ulama," tambahnya.
Kitab kelima, Al arba'una Arba'in ditulis oleh Syaikh Yusuf bin Ismail An-Nabhani beliau adalah qadhi al qudhat di Khilafah Utsmani, kitab yang menghimpun 40 tema di mana satu temanya menghimpun 40 hadis, dimana salah satunya memberikan satu judul bab yang berkaitan dengan kepemimpinan.
Ia mengutip hadis dari Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah SAW. barang siapa mentaatiku maka dia dia telah mentaati Allah SWT, dan barang siapa yang memaksimati diriku maka sungguh dia telah bermaksiat kepada Allah SWT, dan barang siapa yang kemudian mentaati amir maka dia telah mentaati diriku dan barang siapa yang bermaksiat terhadap amir maka dia telah bermaksiat terhadap diriku dan sesungguhnya imam itu adalah perisai dan kita berperang di belakangnya.
"Dalam kitab ini Syaikh Yusuf bin Ismail An-Nabhani memberikan penjelasan dengan mengatakan Al Junnah maknanya adalah perlindungan, di mana kita berperang di belakang amir, di belakang penguasa karena mereka memberikan perlindungan kepada kita," ungkapnya.
Kemudian, ketika berbicara tentang imam, amir, dan segala macamnya konteksnya sama yaitu Al Khalifah. "Nah ini yang perlu kita pahami, sekelas guru dari para ulama qadhi di zaman Utsmani saja itu menyatakan bahwa pemimpin itu dalam semua hadis-hadis Nabi Saw itu berbicara tentang Al Khalifah," tegasnya.
Kitab keenam, Al-Farq bayn al-Firaq, kitab yang menjelaskan tentang firqah-firqah (aliran) di dalam Islam. Dalam kitab ini beliau menjelaskan bahwa Islam terpecah menjadi beberapa firqah (aliran) yang banyak.
"Diawali beliau membahas firqah syiah, di akhir bab, beliau mulai menjelaskan tentang kedudukan Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) di halaman 596-597. Beliau menyebutkan dalam pasal yang ketiga tentang asas yang menjadi kesepakatan dari ahli sunnah, bahwa jumhur ahlussunnah telah bersepakat tentang asas dan rukun-rukun agama tentang pondasi dari rukun-rukun agama, yang mana setiap rukun ini bagi siapa saja orang yang berakal, baligh, wajib baginya untuk mengetahui persoalan ini, dan orang-orang yang tersesat," urainya.
Sehingga, ini menunjukkan mana ini firqah yang benar, apa yang selamat, dan firqah yang sesat. "Dan orang-orang yang tersesat adalah siapa saja yang menyalahi atas rukun-rukun di bawah ini, di rukun ke 12 beliau mengatakan tentang pengetahuan terhadap khilafah, dan syarat-syarat pemimpin, beliau menyebutkan di dalamnya ya sebagai bagian dari rukun Ahlussunnah Wal Jamaah yang ini patut kita perhatikan," ujarnya.
Kitab ketujuh, Tahrirul Ahkam ditulis oleh Imam Badruddin ibn jama’ah Asy Syafi’i, dalam halaman 256 menyatakan wajibnya mengangkat imam dikarenakan memiliki tugas, pertama menjaga agama. "Di bulan puasa ini kita bisa melihat banyak sekali orang hari ini dengan leluasa menghina agama kita, merendahkan, menjadi lelucon, dan semisalnya naudzubillahimindzalik, semua ini terjadi karena ketiadaan imam yang menjaga agama," contohnya.
Kedua, imam, khalifah ini akan mencegah orang-orang, perilaku orang-orang yang melampaui batas. "Ini kita bisa menjadikan bagaimana dahsyatnya para imam ketika kemudian mereka diangkat oleh kaum muslimin, membuat orang-orang yang suka berlampau-lampau, pelanggaran syariat, itu akan tercegah mereka untuk melakukan pelanggaran syariah," terangnya.
Ketiga dan memberikan keadilan kepada orang-orang yang terzalimi. "Di negeri kita hari ini, banyak sekali keadilan yang tidak bisa didapatkan oleh orang-orang yang terzalimi," tegasnya.
Keempat, mengambil harta ataupun kepentingan-kepentingan, hak-hak yang kemudian memang seharusnya diambil, dan kemudian yang tadi diambil itu akan dikembalikan, akan diserahkan kepada tempat ataupun peruntukan yang semestinya.
"Bahwa banyak sekali kebijakan-kebijakan hari ini yang jauh dari kata tepat sasaran, maka seorang Imam itu memiliki kewajiban sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Badruddin ibn jama’ah untuk mengambil yang memang seharusnya bisa diambil, dan menyerahkan kepada pos-pos yang seharusnya, sehingga ketika itu terjadi beliau menyatakan juga maka negeri ini akan menjadi baik dan terjagalah keamanan para hamba-hamba ini, akan memutus sumber kerusakan-kerusakan yang ada, karena manusia itu tidak akan pernah menjadi baik kondisinya (masyarakat) kecuali para imam mengurusi urusan politik mereka dan bermaksud untuk menjaga mereka, dan hari ini mungkin kita merindukan pemimpin, penguasa yang menerapkan aturan Islam, termasuk menjaga urusan kaum muslimin dan masyarakatnya dari pelanggaran dan ketidakadilan," ungkapnya.
Kitab kedelapan, kitab Muqaddimah ditulis oleh Al Imam Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, di halaman 200 menjelaskan makna khilafah, kemudian kalimat selanjutnya mencoba membandingkan konsep kepemimpinan yang ada di dunia yang nanti akan dibandingkan dengan khilafah.
"Beliau mengatakan sesungguhnya Raja memiliki kekuasaan itu tabiatnya biasanya membawa kepemimpinan atau orang-orang yang dikuasai kepada hawa nafsunya, kepada tujuan dan hawa nafsunya atau kepentingan pribadinya, ini adalah kekuasaan secara umum kata Ibnu Khaldun," ungkapnya.
Kemudian, ia menyebutkan orang-orang yang jika hanya memimpin berdasarkan politik. "Bahwa tipe kepemimpinan orang-orang yang memimpin secara politis, orang orang yang memimpin suatu negara dengan politik semua semata, kalau orang yang hanya berfokus politik pasti mendasarkan kepada teori-teori berpikirnya atau akalnya saja yang digunakan untuk menentukan mana sesuatu yang bisa diambil maslahat dunianya dan mana dalam dunia ini yang untuk bisa menolak mudaratnya" ujarnya.
Kemudian, ia mengatakan bahwa khilafah memiliki kecenderungan untuk senantiasa memberikan keputusan-keputusannya berdasarkan pandangan dari syariah, untuk memenuhi kemaslahatan akhiratnya dan duniawiyahnya. Berbeda dengan pandangan politik, para raja, sehingga bisa didapatkan bahwa inilah perbedaan antara khilafah ataupun kepemimpinan yang berdasarkan politik semata, ataupun berdasarkan kekuasaan raja.
Terakhir, ia menyebutkan sebuah syair Handzalah bin Ar-Rabi’ ra, dalam Tarikh Rasul wa Muluk, 4/386.
Aku heran denan perbincangan manusia
Mereka berharap agar khilafah sirna
Padahal jika khilafah tiada,
Hilanglah kebaikan yang ada dan segera kehinaan menimpa
Mereka layaknya Yahudi dan Nasrani
Tidak berbeda dengan golongan yang tersesat [] Alfia Purwanti