Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Marak Kecurangan Produk Pangan: Negara Abai, Korporat Untung

Rabu, 19 Maret 2025 | 07:22 WIB Last Updated 2025-03-19T00:22:45Z
TintaSiyasi.id -- Publik kembali dikejutkan dengan temuan pengurangan takaran pada produk Minyakita, setelah sebelumnya dihebohkan dengan kasus Minyakita oplosan. Kecurangan takaran Minyakita ini diperkuat dengan pernyataan Menteri Pertanian (Mentan), Andi Amran Sulaiman, yang melakukan inspeksi mendadak di Pasar Lenteng Agung, Jakarta Selatan.

Dalam inspeksi tersebut, ditemukan bahwa takaran tidak sesuai dengan kemasan, dan harga jualnya juga melampaui harga eceran tertinggi (HET). Pada kemasan tertera harga Rp15.700 per liter, tetapi di pasar dijual seharga Rp18.000 per liter.

Minyakita ini diproduksi oleh PT Artha Eka Global Asia di Depok, Jawa Barat; Koperasi Produsen UMKM Kelompok Terpadu Nusantara di Kudus, Jawa Tengah; dan PT Tunas Agro Indolestari di Tangerang, Banten. Mentan meminta agar perusahaan-perusahaan tersebut segera diproses secara hukum, ditutup, dan dicabut izinnya. "Tidak ada ruang bagi pelaku usaha yang mencari keuntungan dengan cara yang merugikan rakyat," tegasnya. (Sumber: tirto.id, 9/3/2025).

Penyebab Negara Abai

Minyakita tengah menjadi sorotan publik. Bagaimana tidak? Setelah kasus Minyakita oplosan, kini muncul masalah pengurangan takaran. Hal ini tentu sangat merugikan masyarakat. Mirisnya, produk pangan kerap menjadi sarana kecurangan demi meraup keuntungan, padahal pangan adalah kebutuhan pokok sehari-hari.

Semua ini terjadi akibat karut-marutnya tata kelola pangan dari hulu hingga hilir. Mulai dari proses produksi hingga lonjakan harga pangan, perusahaan-perusahaan memanfaatkan berbagai celah untuk melakukan kecurangan. Ironisnya, praktik ini sering terjadi di bulan puasa dan menjelang Lebaran, saat masyarakat sangat membutuhkan bahan pokok.

Jika diteliti lebih dalam, praktik oplosan dan pengurangan volume minyak bersubsidi terjadi karena lemahnya sistem pengawasan. Ketidaktegasan pemerintah dalam mengawasi jalannya distribusi minyak membuat kecurangan terus berulang. Jika pemerintah tidak segera mengambil langkah tegas dan memperbaiki sistem pengawasannya, bukan tidak mungkin kepercayaan publik terhadap program bantuan pangan akan terus menurun, membuka peluang kecurangan baru.

Situasi ini mencerminkan kegagalan negara dalam mengatasi kecurangan di sektor pangan. Aturan yang dibuat hanya sebatas dokumen tanpa implementasi tegas. Bagi korporasi, yang terpenting adalah keuntungan, bukan kesejahteraan rakyat. Fakta ini menunjukkan bahwa distribusi pangan masih berada di tangan korporasi, sementara negara tampak hadir bukan untuk rakyat, melainkan sebagai penjamin bisnis para kapitalis.

Di sisi lain, negara tidak mampu menjatuhkan sanksi yang memberikan efek jera. Sering kali, hukuman hanya sebatas wacana atau pelaksanaannya bertele-tele. Jika perusahaan yang melanggar hanya ditutup dan izinnya dicabut tanpa hukuman berat, maka perusahaan lain akan muncul dan mengulangi praktik yang sama.

Pada dasarnya, semua ini terjadi karena sektor pangan dikelola dengan sistem ekonomi kapitalisme yang berasaskan liberalisme. Dalam sistem ini, korporasi mendapatkan kemudahan dalam menguasai rantai distribusi pangan dari hulu hingga hilir, sementara negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator, bukan sebagai pelayan rakyat.

Dampak dari sistem ini adalah negara menjadi abai terhadap tanggung jawabnya sebagai pemimpin rakyat. Sebaliknya, korporasi justru mengambil alih peran negara, tidak hanya dalam sektor pangan, tetapi juga dalam kebutuhan sandang dan papan. Akibatnya, kedaulatan pangan menjadi rentan dikuasai oleh segelintir pengusaha, bahkan negara sendiri terancam krisis pangan.

Semua ini menunjukkan bahwa tata kelola pangan dalam sistem kapitalisme hanya berorientasi pada keuntungan bisnis, meskipun harus ditempuh dengan cara yang tidak halal. Oleh karena itu, sistem kapitalisme sejatinya telah merampas hajat hidup rakyat. Tidak ada harapan dalam sistem ini selain beralih kepada sistem Islam yang mampu menyejahterakan.

Pangan dalam Islam

Sangat berbeda dengan sistem kapitalisme, Islam menetapkan bahwa pengelolaan kebutuhan rakyat harus berada di bawah kendali negara. Sebab, pemimpin dalam Islam adalah ra'in (pengurus umat). Paradigma dalam mengurus rakyat adalah pelayanan, bukan bisnis atau keuntungan. Pemenuhan pangan menjadi tanggung jawab negara melalui mekanisme yang sesuai dengan syariat. Oleh karena itu, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan pangan kepada korporasi dari hulu hingga hilir.

Negara bertanggung jawab menjaga pasokan produk pangan seperti Minyakita agar kebutuhan rakyat tetap terpenuhi. Negara juga wajib mengawasi rantai distribusi pangan agar tidak ada celah bagi oknum untuk melakukan kecurangan, karena hal tersebut dilarang dalam Islam.

Allah berfirman dalam QS. Al-Muthaffifin: 1–4:

"Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang)! Yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dicukupkan. Dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka mengurangi."

Selain itu, Islam juga mencegah segala bentuk distorsi pasar, seperti penimbunan barang dan permainan harga. Upaya ini hanya dapat berjalan efektif jika negara dan rakyat saling mengawasi serta menerapkan amar makruf nahi munkar, karena kejahatan akan selalu ada. Namun, dengan kerja sama yang baik, kejahatan bisa diminimalkan, sehingga negara lebih mudah menjalankan tanggung jawabnya.

Indonesia merupakan negeri Muslim yang subur dan kaya sumber daya alam (SDA), salah satunya minyak. Minyak di Indonesia berasal dari kelapa sawit yang tumbuh subur di berbagai wilayah, seperti Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sumatra Utara, Kalimantan Timur, Sumatra Selatan, Jambi, dan Aceh. Kalimantan Selatan juga merupakan salah satu daerah penghasil sawit terbesar.

Jika SDA dikelola oleh negara secara mandiri dan bijak tanpa ketergantungan pada korporasi, maka hasilnya akan sangat berbeda. Apalagi jika pengelolaan dilakukan dengan teknologi canggih dan diawasi oleh para ahli, maka produk yang dihasilkan bisa lebih unggul dan berkualitas tinggi, semata-mata untuk kesejahteraan rakyat. Sebab, SDA merupakan milik umum yang tidak boleh dimiliki oleh individu atau perusahaan tertentu.

Lebih dari itu, pengelolaan pangan harus dilakukan secara amanah dan jujur, dengan memperhatikan aspek kehalalan dan thayyib (baik). Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 168:

"Wahai manusia! Makanlah sebagian (makanan) yang ada di bumi yang halal lagi baik, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia adalah musuh yang nyata bagimu."

Konsep halalan thayyiban dalam Al-Qur’an menegaskan bahwa makanan yang dikonsumsi harus halal dari segi hukum, zat, dan hakikatnya. Islam tidak hanya memperhatikan kandungan makanan, tetapi juga hukum dalam proses produksinya. Semua aturan ini telah diatur secara rinci dan harus terikat dengan hukum syariat.

Terkait dengan sanksi, negara dalam Islam menugaskan qadhi hisbah (hakim pengawas pasar) untuk melakukan inspeksi terhadap pedagang yang curang. Jika ditemukan kecurangan seperti kasus Minyakita oplosan, maka qadhi tidak akan segan menjatuhkan sanksi tegas saat itu juga. Pelaku bisa dilarang berusaha atau berdagang. Islam tidak akan memberi celah bagi manusia untuk berbuat maksiat.

Pada akhirnya, ketika aturan Islam diterapkan secara kaffah, maka berbagai bentuk kecurangan dan kejahatan dapat diminimalkan.

Wallahu a‘lam bish-shawab.

Oleh: Punky Purboyowati, S.S.
Komunitas Pegiat Pena

Opini

×
Berita Terbaru Update