TintaSiyasi.id-- Sering kali, manusia menganggap kesulitan sebagai sesuatu yang menyusahkan dan merugikan. Namun, dalam Islam, kesulitan bukan hanya ujian, tetapi juga bisa menjadi pintu menuju nikmat yang lebih besar.
Bagaimana Kesulitan Membawa Nikmat?
1. Kesulitan Menguatkan Mental dan Karakter
– Ujian hidup membuat seseorang lebih sabar, kuat, dan bijaksana dalam menghadapi masalah.
– Seperti pepatah, "Besi yang ditempa api akan menjadi pedang yang tajam."
2. Kesulitan Mengajarkan Rasa Syukur
– Setelah melewati kesulitan, seseorang akan lebih menghargai nikmat kecil yang sebelumnya dianggap biasa.
– Orang yang pernah mengalami lapar akan lebih menghargai sepotong roti.
3. Kesulitan Mendekatkan Diri kepada Allah
– Saat menghadapi kesulitan, manusia lebih sering berdoa dan berserah diri kepada Allah.
– Dalam QS. Al-Baqarah: 286, Allah berfirman:
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya."
4. Kesulitan Menjadi Jalan Menuju Kesuksesan
– Banyak orang sukses yang pernah mengalami kegagalan dan penderitaan.
– Contoh nyata adalah para ulama, ilmuwan, dan tokoh besar yang lahir dari perjuangan berat.
5. Kesulitan Menghapus Dosa
– Dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah ﷺ bersabda:
"Tidaklah seorang mukmin tertimpa kelelahan, penyakit, kesedihan, maupun kegelisahan, kecuali Allah akan menghapus dosa-dosanya."
Kesimpulan
Setiap kesulitan membawa hikmah tersendiri. Meskipun terasa berat, jika dihadapi dengan kesabaran dan keyakinan, maka pada akhirnya akan mendatangkan kebaikan dan nikmat yang lebih besar.
"Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan." (QS. Al-Insyirah: 6)
Bagaimana menurutmu? Pernahkah kamu merasakan nikmat di balik kesulitan yang kamu alami?
Ibnu Athaillah berkata, " Bisa jadi engkau memperoleh tambahan karunia dalam kesukaran, apa yang dalam puasa dan sholat tidak engkau dapatkan."
Perkataan Ibnu Athaillah ini mengandung makna yang dalam tentang hikmah di balik kesulitan. Ia menegaskan bahwa dalam kesukaran, seseorang bisa memperoleh karunia yang bahkan tidak didapatkan dari ibadah seperti puasa dan sholat.
Apa Maksudnya?
1. Kesulitan adalah Sarana Penghapusan Dosa
– Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tidaklah seorang Muslim tertimpa keletihan, penyakit, kecemasan, kesedihan, gangguan, atau kesusahan—bahkan sekadar tertusuk duri—kecuali Allah menghapus sebagian dosa-dosanya.” (HR. Bukhari & Muslim)
– Dalam ibadah, kita memang mendekatkan diri kepada Allah, tetapi melalui ujian, Allah sendiri yang "mendekati" kita dengan cara menghapus dosa-dosa kita.
2. Kesulitan Meninggikan Derajat
– Allah menguji hamba-Nya yang dicintai untuk meningkatkan derajat mereka.
– Seorang hamba yang sabar dalam kesulitan bisa memperoleh maqam yang tinggi di sisi Allah, lebih tinggi daripada sekadar ibadah sunnah.
3. Kesulitan Melatih Keikhlasan dan Tawakkal
– Dalam ibadah seperti sholat dan puasa, kadang kita masih mengharapkan pahala atau balasan dunia.
– Tetapi saat mengalami kesulitan, kita belajar bergantung sepenuhnya kepada Allah, tanpa syarat.
4. Kesulitan Menjadi Jalan Menuju Kedekatan dengan Allah
– Saat seseorang dalam keadaan nyaman, ia mungkin lalai dari Allah. Namun, dalam kesulitan, ia lebih banyak berdoa, menangis, dan berserah diri kepada-Nya.
– Dalam kondisi seperti ini, hubungan seseorang dengan Allah bisa jauh lebih tulus dibandingkan dengan ibadah yang dilakukan dalam keadaan tenang.
Jangan hanya melihat kesulitan sebagai cobaan, tetapi lihatlah sebagai pintu menuju karunia besar dari Allah. Bisa jadi, dalam penderitaan yang kita alami, ada rahmat yang lebih besar daripada yang kita dapatkan dari ibadah sunnah.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 216:
كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡقِتَالُ وَهُوَ كُرۡهٞ لَّكُمۡۖ وَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡٔٗا وَهُوَ خَيۡرٞ لَّكُمۡۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّواْ شَيۡٔٗا وَهُوَ شَرّٞ لَّكُمۡۚ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. ( QS. Al-Baqarah (2) : 216 )
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui."
Pernahkah kamu mengalami kesulitan yang akhirnya membawamu kepada sesuatu yang lebih baik?
Siapa yang mengenal dirinya , Ia mengenal Tuhannya.
Ungkapan "Siapa yang mengenal dirinya, ia mengenal Tuhannya" adalah kalimat yang sering dikaitkan dengan tasawuf dan makrifat, meskipun tidak secara langsung berasal dari hadis sahih.
Maknanya
Kalimat ini mengajarkan bahwa dengan mengenali diri sendiri, seseorang akan lebih memahami Allah. Ada beberapa cara untuk memahami konsep ini:
1. Mengenali Kelemahan Diri → Menyadari Keagungan Allah
– Manusia memiliki keterbatasan: lemah, bergantung pada makanan, mudah sakit, dan tidak bisa hidup sendiri.
– Dengan menyadari keterbatasan ini, seseorang akan mengakui bahwa hanya Allah yang Maha Sempurna dan tempat bergantung (As-Samad).
2. Mengenali Hati dan Niat → Menjadi Lebih Ikhlas
– Jika seseorang memahami nafsu, keinginan, dan godaan dalam dirinya, ia akan lebih mudah membersihkan hati dan mendekatkan diri kepada Allah.
– Muhasabah (introspeksi diri) membantu seseorang memperbaiki hubungan dengan Allah.
3. Merenungi Asal Usul Diri → Menyadari Keberadaan Allah
– Manusia berasal dari tanah, diciptakan dalam keadaan lemah, dan akan kembali kepada-Nya.
– Dengan memahami ini, seseorang akan lebih sadar bahwa hidup ini sementara dan tujuan akhirnya adalah kembali kepada Allah.
Dalil yang Mendukung Makna Ini
Meskipun bukan hadis, makna kalimat ini sejalan dengan beberapa ayat Al-Qur'an, seperti:
📖 QS. Adz-Dzariyat: 21
"Dan juga pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikannya?"
📖 QS. Al-Hasyr: 19
"Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri."
Kesimpulan
Mengenal diri bukan sekadar mengetahui nama atau sifat lahiriah, tetapi lebih dalam dari itu—menyadari hakikat keberadaan kita sebagai hamba Allah. Dengan mengenal diri, kita akan lebih memahami kebergantungan kita kepada Allah, sehingga semakin meningkatkan iman, tawakkal, dan rasa syukur kepada-Nya.
Ibnul Qayyim berkata, " Carilah jalan tembus menuju Allah dan Negeri akherat. Bahkan, pada seluruh ilmu, pekerjaan, dan kekuasaan, hingga mencapai puncak yang diteladani dalam hal tersebut."
Perkataan Ibnul Qayyim ini menegaskan bahwa dalam setiap aspek kehidupan—baik ilmu, pekerjaan, maupun kekuasaan—kita harus mencari jalan yang membawa kita lebih dekat kepada Allah dan akhirat.
Makna dan Hikmah Perkataan Ini
1. Menjadikan Allah sebagai Tujuan dalam Segala Hal
o Setiap ilmu yang dipelajari, pekerjaan yang dilakukan, dan kekuasaan yang dipegang harus diniatkan untuk Allah.
o Misalnya, ilmu bukan hanya untuk kebanggaan, tetapi untuk memberi manfaat kepada orang lain dan mendekatkan diri kepada Allah.
2. Mencari Jalan Tembus di Setiap Kesempatan
o Dalam setiap bidang, selalu ada peluang untuk mendapatkan pahala dan mendekat kepada Allah.
o Seorang pekerja bisa berniat bekerja untuk menafkahi keluarga (yang berpahala).
o Seorang pemimpin bisa memimpin dengan adil dan amanah sebagai bentuk ibadah.
3. Mencapai Puncak dalam Setiap Bidang dengan Meneladani yang Terbaik
o Dalam ilmu, kita meneladani para ulama.
o Dalam pekerjaan, kita mencontoh para pekerja keras yang jujur.
o Dalam kekuasaan, kita meneladani kepemimpinan Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya.
Dalil yang Mendukung Makna Ini
📖 QS. Al-Qashash: 77
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia."
📖 QS. Az-Zumar: 10
"Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas."
Kesimpulan
Hidup bukan sekadar menjalani rutinitas, tetapi harus selalu mencari jalan menuju Allah dalam setiap hal yang kita lakukan. Dengan menjadikan akhirat sebagai tujuan, kita akan lebih ikhlas, bersemangat, dan bertanggung jawab dalam semua bidang kehidupan.
Oleh. Dr. Nasrul Syarif M.Si. (Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo)