Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Integritas Lingkungan, Oligarki, dan Solusi Sistemis dalam Menghadapi Impunitas Korporasi Perusak Hutan

Sabtu, 08 Maret 2025 | 05:57 WIB Last Updated 2025-03-07T22:58:00Z

TintaSiyasi.id -- Kasus korupsi dalam tata kelola sawit di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang terungkap pada Oktober 2024, serta mandeknya penyidikan di Kejaksaan Agung pada Maret 2025, bukan sekadar persoalan hukum, melainkan cerminan dari sistem politik yang dikuasai oligarki dan korporasi. Undang-Undang Cipta Kerja, yang awalnya diklaim sebagai solusi untuk menyederhanakan perizinan, justru menjadi celah bagi korupsi dan impunitas bagi perusahaan perusak hutan. Pasal 110A dan 110B UU tersebut, yang mengutamakan sanksi administratif ketimbang pidana, telah memutihkan pelanggaran dan melegitimasi perusakan hutan. 

Fakta menunjukkan bahwa dari 2.130 perusahaan yang teridentifikasi merambah hutan, hanya 365 yang mengajukan pengampunan, dan hanya 155 yang membayar denda. Padahal, kerusakan lingkungan yang ditimbulkan mencapai 3,37 juta hektare, atau hampir 20% dari total luas perkebunan sawit di Indonesia. Kurangnya transparansi dalam proses pemutihan ini, termasuk tidak diumumkannya data luas konsesi, beneficial owner, dan formula denda, menciptakan ruang bagi kolusi antara pengusaha dan pejabat. Hal ini diperparah dengan mandeknya penyidikan di Kejaksaan Agung, yang menunjukkan betapa korupsi telah mengakar dalam sistem tata kelola sumber daya alam.

Dalam perspektif Islam, kerusakan lingkungan dan korupsi adalah dosa besar yang harus diatasi dengan sistemik. Islam menekankan prinsip keadilan, transparansi, dan tanggung jawab dalam pengelolaan sumber daya alam. Al-Qur’an dalam Surah Al-A’raf ayat 56 mengingatkan, “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik.” Oleh karena itu, solusi Islam menawarkan pendekatan holistik yang melibatkan pencegahan, penegakan hukum, dan rehabilitasi lingkungan. Pertama, pemerintah harus memperkuat sistem pengawasan dengan melibatkan masyarakat sipil dan lembaga independen untuk memastikan transparansi dalam proses perizinan dan penegakan hukum. Kedua, hukuman pidana harus diberlakukan secara tegas terhadap korporasi dan individu yang terlibat dalam perusakan hutan, tanpa pandang bulu. Ketiga, denda yang dikenakan harus proporsional dengan kerusakan lingkungan dan digunakan untuk rehabilitasi hutan. Keempat, Islam mengajarkan prinsip hisbah (amar makruf nahi munkar) yang menuntut setiap individu dan lembaga untuk aktif mencegah kerusakan dan mempromosikan kebaikan.

Namun, solusi ini mustahil terwujud tanpa mengatasi akar masalah politik di balik impunitas korporasi. Kasus ini menunjukkan fenomena state capture, di mana korporasi dan oligarki menggunakan kekuatan ekonomi mereka untuk mempengaruhi kebijakan negara demi kepentingan bisnis. UU Cipta Kerja, yang disahkan pada 2020, adalah contoh nyata bagaimana korporasi sawit dan pertambangan berhasil "menangkap" negara melalui lobi-lobi politik. Pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja, yang mengatur sanksi administratif bagi pelanggar aturan kehutanan, adalah hasil dari negosiasi politik yang menguntungkan korporasi. Alih-alih menegakkan hukum pidana, pemerintah memilih skema denda administratif yang justru memutihkan pelanggaran. Fenomena ini tidak terlepas dari kekuatan oligarki yang menguasai sektor sumber daya alam. Konglomerasi sawit dan pertambangan memiliki akses langsung ke pusat kekuasaan, baik melalui jaringan bisnis maupun hubungan personal dengan elite politik. Misalnya, lobi pengusaha sawit terhadap KLHK berhasil menurunkan nilai denda dan luas hutan yang diserobot, seperti terlihat dalam Keputusan Menteri Siti Nurbaya pada Juni 2023. Hal ini menunjukkan bagaimana korporasi mampu memanipulasi regulasi untuk menghindari tanggung jawab.

Mandeknya penyidikan kasus korupsi denda sawit di Kejaksaan Agung pada Maret 2025 adalah bukti nyata lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Meski Kejaksaan Agung telah menggeledah KLHK dan mengidentifikasi pejabat yang terlibat, tidak ada satu pun tersangka yang diumumkan. Hal ini mengindikasikan adanya konflik kepentingan di dalam lembaga penegak hukum, di mana tekanan politik dan ekonomi dari korporasi dan oligarki menghambat proses hukum. Selain itu, lemahnya penegakan hukum juga disebabkan oleh fragmentasi kekuasaan di tingkat birokrasi. Pejabat eselon I dan II di KLHK diduga terlibat dalam penyelewengan denda sawit, menunjukkan bagaimana korupsi telah mengakar dalam sistem birokrasi. Kurangnya transparansi dalam proses pemutihan sawit ilegal, termasuk tidak diumumkannya data perusahaan dan nilai denda, menciptakan ruang bagi kolusi antara pejabat dan pengusaha.

Kebijakan pemerintah, seperti UU Cipta Kerja dan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025, cenderung pro-kepentingan bisnis dan mengabaikan kepentingan masyarakat dan lingkungan. UU Cipta Kerja, yang disahkan dengan proses yang tergesa-gesa dan minim partisipasi publik, mengutamakan kemudahan berusaha bagi korporasi ketimbang perlindungan lingkungan. Skema denda administratif dalam UU ini tidak hanya memutihkan pelanggaran, tetapi juga melegitimasi perusakan hutan. Perpres Nomor 5 Tahun 2025, yang meluaskan aturan denda bagi usaha pertambangan di kawasan hutan, juga menunjukkan bagaimana negara mengorbankan lingkungan demi kepentingan ekonomi. Kebijakan ini tidak hanya mengampuni perusak lingkungan, tetapi juga memfasilitasi pengambilalihan lahan oleh negara untuk kepentingan pertahanan dan keamanan. Hal ini berpotensi memicu konflik agraria baru, di mana masyarakat lokal yang bergantung pada hutan akan semakin termarginalisasi. Keterlibatan militer dalam pengelolaan hutan bekas sawit dan pertambangan, seperti terlihat dalam aturan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, mengindikasikan adanya upaya militerisasi sumber daya alam. Kebijakan ini tidak hanya mengancam keberlanjutan lingkungan, tetapi juga demokrasi. Militerisasi hutan berpotensi meminggirkan peran masyarakat sipil dalam pengawasan dan pengelolaan sumber daya alam, serta menciptakan ketergantungan pada kekuatan militer dalam tata kelola lingkungan.

Untuk mengatasi akar masalah politik di balik impunitas korporasi perusak hutan, diperlukan langkah-langkah sistematis. Pertama, pemerintah harus memperkuat lembaga penegak hukum, seperti Kejaksaan Agung dan KPK, agar independen dari tekanan politik dan ekonomi. Proses hukum harus transparan dan melibatkan partisipasi publik. Kedua, pemerintah perlu membatasi pengaruh korporasi dalam pembuatan kebijakan. Regulasi harus dibuat dengan melibatkan partisipasi publik dan mengutamakan kepentingan lingkungan. Ketiga, data perizinan, nilai denda, dan proses pemutihan sawit ilegal harus diumumkan kepada publik. Masyarakat sipil harus dilibatkan dalam pengawasan tata kelola sumber daya alam. Keempat, pengelolaan hutan harus dikembalikan kepada masyarakat lokal dan lembaga sipil yang berkomitmen pada keberlanjutan lingkungan.

Dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip Islam dalam tata kelola lingkungan dan melakukan reformasi politik yang mendalam, Indonesia dapat mengakhiri impunitas korporasi perusak hutan dan memulihkan keadilan ekologis. Tanpa langkah tegas, kerusakan lingkungan dan ketidakadilan sosial akan terus berlanjut, mengancam masa depan generasi mendatang. []


Oleh: Ong Hwei Fang
Aktivis Muslimah

Opini

×
Berita Terbaru Update