Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Hampir Seluruh Laporan Keuangan hasil Pemeriksaan BPK Penuh Indikasi Korupsi

Kamis, 06 Maret 2025 | 17:22 WIB Last Updated 2025-03-06T10:23:25Z
TintaSiyasi.id -- Ekonom Forum Analisis Kajian dan Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak mengatakan temuan korupsi di Pertamina tidak lepas dari hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan hampir semua laporan keuangan dari pemeriksaan BPK penuh dengan indikasi korupsi.

"Kasus-kasus seperti ini kalau kita buka laporan BPK setiap tahun diadakan dua kali, baik pemerintah pusat, kementerian dan lembaga BUMN serta pemerintah daerah. Hampir semua laporan-laporan keuangan itu hasil pemeriksaan BPK penuh dengan indikasi-indikasi korupsi," ucapnya di kanal YouTube One Ummah TV, Ramadhan dan Pemberantasan Korupsi, Ahad (2/3/2025).

Ia melanjutkan, dari laporan-laporan BPK itu, sebagian besar akan ditindaklanjuti oleh pihak kejaksaan atau KPK. Permasalahan korupsi ini tergantung dari isu atau kasus apa yang sekiranya ingin diangkat. 

"Kebetulan kemarin yang diangkat ini pemeriksaan Pertamina yang sekitar 194 triliun, untuk menyederhanakan dikali 5 oleh kejaksaan. Sebenarnya bisa lebih besar itu yang terungkap, yang tidak terungkap jauh lebih besar lagi," ungkapnya.

Memang secara persepsi korupsi di Indonesia di mata internasional kata Ishak, juga semakin buruk. Bermula ketika Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) memasukkan nama mantan Presiden Indonesia Joko Widodo sebagai salah satu tokoh terkorup karena banyak menerima kiriman surat elektronik (surel). 

"Saya kira ini hasil kerja dari teman-teman di LSM yang melaporkan praktik korupsi yang terjadi di Indonesia. Saya kira praktek-praktek korupsi ini akan memberikan dampak sangat negatif terhadap kondisi masyarakat Indonesia baik dari sisi ekonomi atau sisi sosial," terangnya.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan pengadaan baha bakar minyak (BBM) dan minyak mentah semestinya bisa di supplay oleh kontraktor kerja sama dalam negeri namun ditolak dan Pertamina memilih mengimpor dari luar. 

"Kenapa harus diimpor dari luar? Karena setiap impor di mark up sebesar 13 sampai 15 persen dari harga internasional. Dulu ada yang mengatakan 1 sampai 2 dolar per barel yang masuk ke para mafia migas," ungkapnya.

Alhasil, ia menuturkan, dengan mahalnya harga pengadaan minyak mentah atau BBM, maka solusinya harus disubsidi oleh pemerintah. Misalkan harga pertamax dikenakan 10 ribu, namun karena ada biaya pengadaan atau bisa disebut nilai keekonomian maka harga menjadi 13 ribu. 

"Berarti ada 3 ribu untuk disubsidi. Kalau korupsinya atau markupnya makin besar misal 3.500 maka 3.500 ini yang harus dibayarkan oleh APBN kepada pertamina, yang kemudian mengalir ke para mafia-mafia itu," pungkasnya.[] Taufan

Opini

×
Berita Terbaru Update