TintaSiyasi.id -- Terkait terungkapnya kasus korupsi di perusahaan Pertamina menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 193,7 triliun, Ekonom Forum Analisis Kajian dan Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak menilai berlangsung lamanya korupsi tersebut dari 2018 hingga 2023 tidak lepas dari kekuasaan elite politik.
"Kenapa korupsi di pertamina berlangsung lama dari 2018 sampai 2023! Padahal ada komisaris yang galak disana. Ada berbagai macam regulasi-regulasi yang mengontrol. Dan korupsi di Pertamina itu tidak lepas dari kekuasaan elite politik yang bermain dan mengendalikan BUMN," ucapnya di kanal YouTube One Ummah TV, Ramadhan dan Pemberantasan Korupsi, Ahad (2/3/2025).
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwasanya pemilihan komisaris dan direktur Pertamina ditentukan oleh Kementerian badan usaha milik negara (BUMN). Terlebih, untuk keputusan kementerian BUMN sendiri sangat dipengaruhi oleh presiden serta menteri-menteri yang terkait.
"Jadi kalau setiap kali ada pemilihan komisaris atau direksi itu kan selalu kooperatif untuk di fit and proper test. Begitu pula yang sekarang semua komisaris dan direksi itu harus tunduk kepada elite-elite politik," jelasnya.
Sehingga, lanjut dia, ketika ada kepentingan elit-elit politik yang memiliki bisnis terkait dengan BUMN ini maka mau tidak mau mereka harus melakukan penyesuaian karena kalau tidak mereka akan dipecat.
Tidak hanya permasalahan di Pertamina, ia melihat persoalan ini juga melibatkan kementerian-kementerian yang lain termasuk salah satunya di kementerian sosial dan kementerian kominfo.
"Karena saya kira ini tidak lepas daripada intervensi elite-elite politik dan ini saling berkesinambungan," imbuhnya.
Dengan demikian, ia memandang elite politik sangatlah berpengaruh dalam mega korupsi di Pertamina, dan hingga saat ini mereka yang telah bermain dan mengendalikan BUMN. Tampak kini KPK dan Kejaksaan begitu lemah dihadapan elite politik.
"Intervensi ini tidak bisa diawasi sangat kuat oleh komisi pemberantasan korupsi (KPK) atau kejaksaan. Karena Kejaksaan, KPK, kepolisian juga terkooptasi oleh kepentingan elite politik, dalam hal ini termasuk DPR," keluhnya.
Ia membeberkan terkait regulasi-regulasi tentang pemberantasan korupsi, KPK benar-benar dilemahkan dengan membuat regulasi soal kewenangan KPK. Regulasi terkait dengan kewenangan KPK ini dibuat sedemikian rupa sehingga korupsi ini tidak bisa dituntaskan. Hal ini, menurutnya menjadi problem di negara ini terkait pemberantasan korupsi.
"Kalau tidak ada perubahan saya pribadi skeptis dengan pemberantasan korupsi di Indonesia," tutupnya.[] Taufan