Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Berharap yang Gratis di Sistem Kapitalis Hanya Utopis

Minggu, 02 Maret 2025 | 10:57 WIB Last Updated 2025-03-02T03:58:30Z
TintaSiyasi.id -- "No Free Lunch" — ungkapan ini sangat tepat untuk menggambarkan kondisi negeri kita saat ini: memang tidak ada makan siang gratis. Bahkan untuk program makan siang gratis itu sendiri. Program makan siang gratis yang digadang-gadang mampu meningkatkan kecerdasan generasi justru malah mengorbankan banyak elemen dalam kehidupan masyarakat.

Bahkan, pendidikan di negeri ini terancam mengalami banyak masalah akibat berbagai macam efisiensi yang dilakukan pemerintah demi terlaksananya program Makan Bergizi Gratis (MBG). Tak hanya pendidikan, efisiensi anggaran juga banyak menyasar alokasi dana untuk rakyat, baik melalui program kegiatan maupun subsidi atau bantuan langsung.

Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, menyatakan bahwa pemangkasan anggaran yang dilakukan secara sembrono dan serampangan berisiko besar terhadap kinerja kementerian dan lembaga negara. Diketahui, Presiden Prabowo Subianto menginstruksikan efisiensi anggaran dalam tiga tahap dengan total penghematan mencapai Rp750 triliun. Tahap pertama telah menghemat Rp300 triliun, dan tahap kedua direncanakan sebesar Rp308 triliun. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan ini justru menimbulkan kekacauan, terutama dalam penyelenggaraan layanan publik (Metrotvnews.com, 16 Februari 2025).

Efisiensi anggaran ini dilakukan untuk menutupi kebutuhan beberapa program, khususnya MBG. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa program ini kerap kali menimbulkan berbagai permasalahan, sehingga efisiensi tersebut berpotensi tidak menyelesaikan masalah.

Sejak awal diberlakukan, program MBG sebenarnya memiliki tujuan yang baik, yakni meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) di Indonesia serta mengurangi angka malnutrisi dan stunting.

Namun, jika ditelusuri lebih lanjut, program ini sama sekali tidak menyentuh akar persoalan. Pasalnya, tumbuh kembang anak ditentukan sejak 1.000 hari pertama kehidupan (HPK), yang merupakan periode emas atau window of opportunity bagi anak agar dapat berkembang secara optimal. Periode ini dimulai sejak 270 hari masa kehamilan hingga anak berusia dua tahun. Pada masa ini, anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat cepat dan signifikan. Lantas, apakah makan bergizi gratis yang hanya diberikan satu kali sehari dengan anggaran minim dapat menyelesaikan persoalan stunting dan gizi buruk?

Bahkan, banyak ditemukan bahwa menu MBG jauh dari standar "bergizi". Ditambah lagi, efisiensi anggaran di berbagai lini membuat banyak rumah tangga kehilangan tulang punggung keluarga akibat PHK. Akibatnya, seorang anak bisa makan gratis di sekolah, tetapi ketika pulang ke rumah, satu keluarga justru kelaparan. Di siang hari ia bisa makan di sekolah, namun di malam dan pagi hari keluarganya tak punya apa-apa untuk dihidangkan.

Efisiensi — bahkan program MBG yang menjadi akar dari efisiensi ini — tampaknya dilaksanakan tanpa pemikiran dan perencanaan yang matang. Anggaran yang dipotong untuk efisiensi justru diambil dari bagian-bagian vital pemerintahan, seperti biaya Kartu Indonesia Pintar (KIP), beasiswa pendidikan, riset dan perguruan tinggi, insentif guru/ustaz di Kementerian Agama, hingga pembatalan proyek infrastruktur Kementerian PUPR (pembangunan jalan tol dan perbaikan rutin jalan nasional).

Pemangkasan anggaran juga berdampak pada beberapa lembaga penyiaran, termasuk TVRI dan RRI, yang melakukan pemutusan kontrak terhadap sejumlah kontributor dan jurnalis daerah. Bahkan, di negara yang rawan gempa, anggaran untuk layanan kebencanaan BMKG turut dipangkas hingga 50 persen. Biaya kuliah juga diperkirakan akan mengalami kenaikan akibat kebijakan efisiensi ini.

Di sisi lain, ada anggaran yang seharusnya dapat dipangkas tetapi justru tidak tersentuh, misalnya anggaran Kementerian Pertahanan untuk alutsista, anggaran untuk agenda retret, pembatasan jumlah staf khusus (stafsus) di tengah kebijakan efisiensi anggaran, dan lain-lain.

Ada juga dugaan yang mencuat di tengah publik bahwa efisiensi anggaran bukan untuk MBG, melainkan untuk Danantara. Hal ini diungkapkan oleh Yenti Nurhidayat, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Hukum dan Anggaran (Puskaha) Indonesia. Danantara sendiri merupakan badan yang bertugas mengelola investasi di Indonesia dalam cakupan yang lebih luas dari anggaran pemerintah.

Menurut Yenti, selama ini pemerintah memunculkan kesan bahwa efisiensi anggaran dilakukan untuk merealisasikan program prioritas, salah satunya MBG. Namun, hal tersebut diduga merupakan agenda yang sengaja dimunculkan untuk menutupi tujuan yang sebenarnya.

Tampak nyata bahwa yang menjadi prioritas pemerintah bukanlah kepentingan rakyat, melainkan pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu. Kebijakan-kebijakan yang diberlakukan belakangan ini semakin menguatkan korporatokrasi di negeri ini.

Dalam Islam, penguasa adalah ra'in yang tugas utamanya adalah mengurus rakyat, yakni dengan mewujudkan kesejahteraan dan memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya.

Pada masa Kekhalifahan Utsmaniyah, layanan makan bergizi gratis sudah diterapkan melalui pendirian imaret (dapur umum) berbasis wakaf. Setiap dapur umum menyiapkan makanan yang didistribusikan secara gratis kepada seluruh masyarakat yang membutuhkan — mulai dari fakir miskin, pelajar, hingga musafir yang melakukan perjalanan jauh.

Di samping itu, pendidikan dan layanan kesehatan tetap menjadi prioritas utama khilafah. Dari sinilah lahir para ilmuwan terkemuka yang kontribusinya diakui dunia internasional sebagai dasar dari berbagai cabang ilmu pengetahuan.

Rumah sakit dalam daulah Islam juga berdiri megah dengan fasilitas kesehatan yang lengkap, bangunannya layaknya hotel berbintang. Tak hanya itu, ada pula rumah sakit keliling di mana dokter dan petugas medis secara rutin mengunjungi rumah-rumah warga untuk melakukan pemeriksaan secara gratis.

Prinsip kedaulatan di tangan syara' menjadikan penguasa harus tunduk pada hukum syarak dan tidak berpihak pada kelompok tertentu yang mengincar keuntungan. Sumber anggaran negara pun beragam dan tidak bergantung pada utang dan pajak, mulai dari pengelolaan sumber daya alam secara mandiri, fa'i, kharaj, hingga zakat. Dengan demikian, alokasi anggaran dapat dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan perencanaan yang matang. Para pemimpin dalam Islam paham bahwa jabatan adalah amanah, sehingga setiap kebijakan yang ditetapkan dalam sebuah negara akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.

Wallahu a'lam bishshawab.


Oleh: Marissa Oktavioni
Aktivis Muslimah

Opini

×
Berita Terbaru Update