TintaSiyasi.id -- Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu'ti, mengatakan bahwa banjir yang melanda wilayah Bekasi, Jawa Barat, menyebabkan 114 gedung sekolah mengalami kerusakan. (Sumber: beritasatu.com, 6/3/2025).
Peneliti ahli madya dari Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air BRIN, Yus Budiono, menyebut ada empat faktor penyebab banjir di wilayah Jabodetabek, yakni penurunan muka tanah, perubahan tata guna lahan, kenaikan muka air laut, dan fenomena cuaca ekstrem. (Sumber: jabar.tribunnews.com, 9/3/2025).
Bencana banjir terus berulang. Mengapa bisa demikian? Suatu permasalahan tentu akan terselesaikan jika dituntaskan dari akar masalahnya. Allah Swt. telah memperingatkan dalam Al-Qur’an:
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (QS Ar-Rum: 41).
Ayat tersebut merupakan bukti bahwa kerusakan yang terjadi bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja, melainkan akibat ulah tangan manusia. Bencana ini bukan sekadar problem teknis, tetapi juga sistemis.
Kebijakan berparadigma kapitalistik menghantarkan pada konsep pembangunan yang lalai terhadap kelestarian lingkungan dan keselamatan manusia. Dengan mitigasi yang lemah, banjir tidak dapat dicegah, sehingga kehidupan rakyat pun semakin sulit. Pembangunan harus memiliki paradigma yang tepat agar dapat menghasilkan kemudahan hidup bagi manusia sekaligus menjaga kelestarian alam.
Dalam Islam, negara akan melakukan pembangunan dengan tepat karena posisi pemimpin adalah raa’in (pengurus), sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
"Imam adalah raa’in (penggembala) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya." (HR Bukhari).
Oleh karena itu, pemimpin harus mengurus rakyat dengan baik agar mereka hidup sejahtera, aman, dan nyaman, serta terhindar dari bencana banjir. Pemimpin juga harus menerapkan Islam sebagai asas dalam konsep pembangunan dan melakukan mitigasi yang kuat untuk mencegah terjadinya banjir.
Pencegahan tersebut dilakukan oleh negara dengan melarang penggunaan daerah resapan air untuk permukiman, tempat wisata, maupun fungsi lain yang tidak sesuai. Negara juga harus mengawasi keoptimalan fungsi bendungan, sungai, saluran air, serta sarana lain yang menjadi jalur aliran air. Di sisi lain, negara juga perlu menempatkan petugas pemantau untuk mengetahui perkembangan situasi di lapangan.
Selain itu, negara harus segera mengambil langkah-langkah untuk mengalirkan air ke lokasi yang memungkinkan dan menyiapkan tempat pengungsian jika kondisi semakin memburuk. Jika terjadi pengendapan serta penumpukan tanah di sungai, negara harus melakukan pengerukan. Apabila banyak tanaman seperti eceng gondok atau sampah yang menyumbat saluran air, maka harus segera dibersihkan. Daerah yang gundul juga tidak boleh dibiarkan begitu saja, melainkan harus ditanami kembali dengan pepohonan yang akarnya efektif menahan air.
Tidak hanya itu, negara juga harus memberikan edukasi kepada rakyat agar mereka amanah dalam menjaga lingkungan, misalnya dengan membuang sampah pada tempatnya, bukan ke sungai atau aliran air. Hal ini harus dilakukan oleh seluruh rakyat tanpa terkecuali, termasuk perusahaan-perusahaan. Jika ada yang melanggar, negara harus memberikan sanksi tegas terhadap pelakunya.
Hal ini telah terbukti pada masa Abbasiyah di Baghdad dan Utsmaniyah di Turki yang mampu mengatasi berbagai bencana, khususnya banjir, sepanjang kekuasaannya. Selain menata kota dengan baik, negara juga harus aktif melakukan penelitian dan pengembangan alat serta teknologi untuk mengatasi bencana banjir. Wallahu a‘lam bish-shawab.
Oleh: Ana Rohmatin
Aktivis Muslimah