TintaSiyasi.id -- BNPB menyebut ketinggian air akibat banjir di Kabupaten Bekasi maupun kota Bekasi Jawa Barat ada yang mencapai tiga meter. BNPB menyebut penyebab banjir tersebut akibat hujan yang deras disertai kiriman air dari Bogor.
BNPB melaporkan terdapat tujuh kecamatan di Kota Bekasi yang terdampak banjir. Tujuh kecamatan tersebut rinciannya Kecamatan Bekasi Timur, Bekasi Utara, Bekasi Selatan, Medan Satria, Jatiasih, Pondok Gede dan Rawalumbu.
Dia mengungkap sedikitnya ada 140 unit rumah warga yang terendam dengan ketinggian air mencapai tiga meter di Kota Bekasi.(detik.com, 4/3/2025)
Banjir sudah menjadi bencana alam langganan di setiap kali musim hujan. Sebelumnya banjir juga melanda Bekasi di bulan Januari 2024 dengan ketinggian 20-100 cm. Namun kali ini, di tahun 2025 bukan saja semakin tinggi airnya, yaitu mencapai 3 meter, tapi cakupan wilayah banjir pun meluas. Setidaknya satu mal di Bekasi dan ribuan rumah di kota itu, Jakarta dan Tangsel terendam banjir, sehingga membuat warga mengungsi ke masjid juga sekolah. Sementara Pemerintah Kota Bekasi, menyatakan kota tersebut lumpuh, karena rumah, jalan, dan gedung pemerintahan digenangi air.
Parahnya, meskipun bencana ini berulang, namun solusi yang diberikan penguasa tidak kunjung menyelamatkan warga. Solusi yang diberikan nampak ala kadarnya. Padahal, bencana banjir ini termasuk bencana yang bisa dimitigasi. Sikap pemimpin yang demikian niscaya lahir dalam kepemimpinan kapitalisme.
Karena dalam sistem ini membuat seorang pemimpin tidak bersikap seperti seorang pemimpin sekalipun dia salih secara personal. Pasalnya, konsep sistem kepemimpinan kapitalisme memang menekan peran negara dalam mengurus urusan umat. Tujuannya, agar para kapital bisa bebas bermain dan mengambil keuntungan dari kebutuhan umat yang mereka komersialkan.
Sebagai contoh alih fungsi lahan untuk pembangunan yang begitu eksplosif terus dilakukan. Di saat yang sama pembangunan tersebut mengabaikan sistem drainase. Akhirnya, ketika memasuki musim hujan, maka banjir pun tidak bisa dihindari bahkan semakin parah setiap tahunnya dan tentu saja masyarakat yang akhirnya sengsara dan menderita.
Sehingga bencana banjir juga bisa dikatakan merupakan imbas dari keserakahan para oligarki yang dipayungi hukum, menjadikan menjamurnya perumahan elite, mal-mal dan pusat pertokoan, serta puluhan apartemen yang menjulang tinggi di berbagai kota besar. Rakyat hanya menyaksikan dan merasakan banjir akibat lahan resapan akhir yang berkurang.
Banjir dan kerusakan lingkungan lainnya merupakan ulah tangan manusia.
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (TQS. Ar-Ruum: 41)
Mitigasi Banjir dalam Negara Khilafah
Sangat berbeda dengan penanggulangan banjir saat sistem khilafah memimpin umat. Khilafah menjadi raa'in atau pelindung bagi warga negaranya sebagaimana perintah dari Rasulullah Saw. dalam sabdanya:
"Imam (khalifah) adalah raain (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR. Al-Bukhari)
Dalam paradigma pembangunan Islam, aspek keuntungan materi tidak menjadi satu-satunya tujuan. Acuan Islam dalam kebijakan pembangunan, yaitu kesesuaian dengan syariat Islam serta demi mewujudnya kemaslahatan umat.
Sehingga pembangunan dalam Islam akan memperhatikan penjagaan terhadap lingkungan agar alam tetap seimbang.
Meskipun sebuah rencana pembangunan seolah menguntungkan rakyat, seperti pembangunan kawasan industri, permukiman, atau kawasan wisata, apabila ternyata bisa merusak alam dan merugikan masyarakat, akan dibatalkan atau bahkan dilarang.
Selain itu, Islam menetapkan khalifah sebagai junnah, (penjaga) sebagaimana sabda Rasulullah Saw.:
"Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-Nya." (HR. Muttafaqun Alayh dan lain-lain)
Inilah kriteria syar'i fungsi keberadaan negara agar warga negara bisa merasakan keselamatan dan pelayanan prima dari negara. Agar kriteria syar'i ini terwujud, maka syariat menetapkan siapapun yang menjadi pemimpin atau khalifah, dia harus memiliki kesalihan sebagai pemimpin dan berkepribadian Islam.
Pemimpin-pemimpin seperti itu akan mampu memberikan solusi-solusi konsep dan teknik dalam menyelesaikan masalah umat serta menjauhkan mereka dari marabahaya seperti banjir. Sebagai bukti, pada masa Khilafah Abbasiyah ada penemuan alat mutakhir penanggulangan banjir yang disebut nilometer. Alat ini muncul pada tahun 861 masehi karena kegelisahan dari Khalifah Al-Muttawakil yang memikirkan kondisi sungai Nil pada masa itu.
Karena sungai Nil juga dapat berubah menjadi petaka ketika meluap dan mengakibatkan banjir parah setiap tahunnya ataupun ketika dalam kondisi kering yang mengakibatkan musim paceklik. Kemudian beliau menginstruksikan para ilmuwan Muslim untuk mengatasi masalah sungai Nil ini. Salah satu ilmuwan Muslim yang menyambut instruksi tersebut ialah al-Farghani.
Setelah melakukan pengamatan dan eksperimen, al-Fharghani berhasil mendesain sebuah bangunan yang menjadi petunjuk perilaku sungai Nil dengan mengukur ketinggian airnya. Bangunan ini akhirnya menjadi alat pengukur banjir sungai Nil yang kemudian dinamakan nilometer.
Tak hanya di daerah Mesir, untuk mencegah banjir di berbagai wilayah khilafah lainnya dibangun pula bendungan, kanal dan sebagainya. Jika pada masa itu saja khilafah mampu menanggulangi banjir, maka keberadaan khilafah di masa sekarang jelas akan sangat mampu menyelesaikan banjir. Khilafah akan mempelajari penyebab banjir di berbagai wilayah di Indonesia. Jika penyebabnya adalah keterbatasan daya tampung tanah terhadap curahan air, maka khilafah akan membangun bendungan-bendungan dengan berbagai tipe sesuai kebutuhan wilayah. Jika penyebab banjir adalah rusaknya tata kota dan pembangunan yang eksplosif, maka khilafah akan mengembalikan fungsi lahan, menata ulang kota dan melakukan pembangunan disesuaikan wilayah dan kebutuhan warga. Dengan demikian umat akan selamat dari bencana banjir.
Sungguh, kebutuhan terhadap penerapan syariat kafah ini sudah merupakan hal yang sangat mendesak. Oleh karena itu, masih maukah kita bertahan dengan sistem kapitalisme yang jelas rusak dan merusak ini?
“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS. Al-Maidah: 50). []
Nabila Zidane, Jurnalis