Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Antara Efisiensi Anggaran dan Retret Pejabat

Minggu, 02 Maret 2025 | 11:16 WIB Last Updated 2025-03-02T04:16:25Z
TintaSiyasi.id -- Retret lagi, retret lagi! Baru beberapa pekan melewati 100 hari masa kerja, belum nampak keberhasilan kinerjanya secara nyata, namun sudah banyak pemborosan keuangan yang terlihat. Hal ini tentu menjadi sorotan berbagai elemen masyarakat di tengah-tengah kondisi ekonomi yang makin sulit. Apalagi setelah sebelumnya gembar-gembor masalah efisiensi anggaran, tentu hal ini sangat bertentangan antara ucapan dan fakta di lapangan. Pada akhirnya, rakyat kecil juga yang akan menjadi korban.

Sebagaimana diketahui, sehari setelah melantik 961 kepala dan wakil kepala daerah terpilih hasil Pilkada 2024 di Istana Kepresidenan Jakarta pada Kamis, 20 Februari 2025, Presiden Prabowo memboyong mereka ke Magelang untuk mendapatkan pembekalan intensif selama tujuh hari guna memperkuat pemahaman mereka tentang tugas pemerintahan dan pembangunan daerah.

Retret, Pembekalan, atau Pemborosan

Seperti yang diungkapkan oleh Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya Sugiarto, dana yang dikeluarkan untuk membiayai program ini sekitar Rp13 miliar yang diambil sepenuhnya dari APBN. Sementara itu, biaya lain-lain seperti tiket transportasi dan akomodasi selama kegiatan ditanggung oleh dana dari APBD masing-masing daerah. Meskipun Bima mengatakan retret kali ini lebih kecil biayanya daripada retret-retret yang sebelumnya dilakukan, tetap saja itu merupakan pemborosan.

Pasalnya, kegiatan ini dilakukan di tengah-tengah komitmen pemerintah untuk melakukan pemangkasan anggaran. Bukankah ini menunjukkan inkonsistensi pemerintah yang baru-baru ini memangkas anggaran beberapa lembaga kementerian dengan alasan efisiensi? Belum lagi penambahan sejumlah kementerian, wakil menteri, dan staf khusus, bukankah ini juga akan menambah beban pengeluaran APBN?

Tidak hanya masyarakat Indonesia yang meributkan masalah ini, bahkan media asing pun turut menyoroti hal tersebut. AFP, misalnya, media massa asal Prancis itu sampai memuat artikel dengan judul "Glamping Retreat for Indonesia Leader Sparks Criticism as Cuts Bite" pada Rabu, 19 Februari 2025. Seperti yang dikutip dari CNBC Indonesia pada hari yang sama, AFP dalam artikelnya menuliskan bahwa lebih dari 500 wali kota, gubernur, dan bupati akan dibawa ke kawasan Akmil di Magelang, Jawa Tengah.

Minim Manfaat

Menurut Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, retret tersebut dilakukan sebagai upaya untuk membangun ikatan emosional serta kerja sama antarkepala daerah. Ia juga berharap ada keselarasan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat.

Namun, banyak pihak yang mempertanyakan urgensi program tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Ansari. Ia mengatakan program itu tidak tepat sasaran dan membuang-buang anggaran. Menurutnya, pembinaan kepala daerah cukup dilakukan melalui pendidikan terpadu antarpemerintah provinsi yang dibantu oleh Kementerian Dalam Negeri.

Sementara itu, Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar, mengatakan bahwa retret semacam ini cenderung bersifat seremonial dan lebih menampilkan kesan simbolis daripada memberikan dampak nyata terhadap efektivitas pemerintahan. Menurutnya, yang seharusnya dilakukan Presiden Prabowo adalah lebih fokus pada evaluasi internal secara berkala daripada melakukan evaluasi dengan cara seperti ini.

Hal senada dikemukakan oleh Peneliti dari Next Policy, Shofie Azzahrah. Ia mengatakan bahwa momentum retret kepala daerah kurang pas karena digelar menjelang Ramadan. Seharusnya, para kepala daerah lebih fokus pada bagaimana kesiapan mereka menghadapi Ramadan dan Hari Raya, seperti ketersediaan stok bahan pangan, pengendalian inflasi daerah, serta antisipasi lonjakan arus mudik.

“Jika retret berlangsung hingga hampir seminggu, ada risiko bahwa berbagai permasalahan mendesak tidak mendapatkan perhatian yang semestinya, terutama di daerah yang menghadapi tantangan serius menjelang Ramadan,” paparnya (tirto.id, 19 Februari 2025).

Kontradiktif dan Tambal Sulam

Beginilah pengaturan dalam sistem demokrasi kapitalis: kontradiktif dan tambal sulam. Sesungguhnya, retret dengan dalih pembekalan ini menunjukkan bagaimana kualitas para penguasa dan kepala daerah negeri ini. Kegiatan ini juga bertentangan dengan kebijakan sebelumnya tentang efisiensi APBN dan APBD. Wajar jika masyarakat semakin marah dan merasa selalu menjadi korban. Efisiensi ini telah mengakibatkan banyak program kementerian dan lembaga yang batal hingga akhirnya menurunkan kinerja pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Semua ini terjadi karena dalam sistem demokrasi kapitalis, para penguasa tidak benar-benar berperan sebagai pengurus dan pelayan rakyat. Mereka berada dalam posisi seperti sekarang berkat sokongan dari para oligarki. Maka wajar jika mereka, alih-alih membela kepentingan rakyat, justru mengamankan kepentingan para korporat yang telah membiayainya. Negara hanya berperan sebagai operator dan fasilitator, sementara pengendali kebijakan sepenuhnya di tangan para oligarki.

Di saat banyak rakyat yang merintih karena tekanan dan himpitan ekonomi, badai PHK yang terus menyapa, ditambah lagi adanya efisiensi anggaran demi menyukseskan program Makan Bergizi Gratis (MBG), seharusnya pemerintah tidak melakukan retret kepala daerah yang mewah. Mereka seharusnya memiliki empati pada rakyat yang hidup susah agar muncul kesadaran akan tanggung jawabnya sebagai pengurus rakyat sehingga tidak membuat kebijakan yang merugikan kepentingan rakyat.

Islam Menawarkan Solusi

Berbeda dengan Islam, Islam menetapkan bahwa penguasa adalah ra’in (pengurus). Ia akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt. atas kepemimpinannya. Islam juga menetapkan bahwa jabatan atau kekuasaan adalah amanah. Maka, para pemimpin akan berhati-hati dalam menjalankan tugasnya sehingga tidak membuat kebijakan yang merugikan rakyat, apalagi menyelisihi Al-Qur’an.

Para pemimpin yang dipilih harus memenuhi tiga kriteria, yakni al-quwwah (kekuatan), at-taqwa (ketakwaan), dan al-rifq bi ar-ra’iyyah (lembut terhadap rakyat). Dengan kriteria tersebut, diharapkan akan muncul pemimpin yang benar-benar mengayomi dan memprioritaskan kepentingan rakyat. Semua itu hanya mungkin ada dalam sistem yang menerapkan hukum Islam yang berasal dari Allah Swt.

Kriteria pemimpin seperti ini telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan para Khulafaur Rasyidin setelahnya.

Jadi, masihkah kita berharap pada sistem yang telah menimbulkan kerusakan? Tentu jawabannya adalah “tidak” bagi orang-orang yang mengharapkan kebahagiaan dan kesejahteraan hakiki. Wallahu a'lam bishshawab.[]

Oleh: Ni'matul Afiah 
Pemerhati Kebijakan Publik

Opini

×
Berita Terbaru Update