TintaSiyasi.id -- Mantan penasihat komisi pemberantasan korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua mengatakan bahwa korupsi di Indonesia tidak bisa diberantas kalau pejabat ditentukan oleh dewan perwakilan rakyat (DPR).
“Korupsi tidak bisa diberantas kalau misalnya pejabat, baik di KPK, Kejaksaan Agung dan Kapolri ditentukan oleh DPR. Sebab, tidak ada satu lembaga negara hari ini yang tidak ditentukan oleh DPR. Ketua MK, MA, Hakim Agung, KPK, KPU, Kejaksaan Agung, Bawaslu, Kapolri ditentukan oleh DPR dan Pemerintah,” ujarnya di kanal YouTube One Ummah TV, Ahad (2/3 2025), Ramadan dan Pemberantasan Korupsi .
Maka ketika hendak mengangkat semua pimpinan lembaga negara, menurutnya, yang harus melakukan fit and proper test bukanlah DPR melainkan pansel (Panitia Seleksi). Pansel ditetapkan oleh masyarakat, akademisi, perguruan tinggi, LSM yang terintegritas atau organisai-organisasi yang terintegritas.
"Semua berawal dari adanya perubahan UU KPK dengan UU Nomor 19 Tahun 2019 yang dilakukan oleh rezim Jokowi di periode kedua pemerintahannya. Dalam UU KPK lama, pegawai KPK dilarang melaksanakan perintah atasan yang bertentangan dengan UU. Namun, dengan adanya UU KPK baru, KPK yang awalnya adalah lembaga negara yang independen berubah menjadi lembaga ASN," ungkapnya.
Penyebab Korupsi
Sebagaimana diketahui, kasus korupsi di Indonesia sudah akut. Terbaru adalah kasus korupsi di Pertamina yang merugikan negara hampir 1000 Triliun dalam kurun waktu 2018 – 2023. Menurut Abdullah, setidaknya ada 3 hal yang menyebabkan terjadinya kasus korupsi di Pertamina.
Pertama, minyak yang seharusnya dipakai untuk konsumsi dalam negeri, diekspor. Ia pernah menanyakan kepada salah seorang Dirjen ESDM bahwa mengapa Indonesia tidak mengolah sendiri minyaknya. Jawabannya karena minyak Indonesia katanya terlalu mahal kalau diproses sendiri, maka diekspor lalu beli minyak yang lebih murah.
"Ternyata ini adalah peluang untuk korupsi yang merugikan negara sekitar 300 triliun," ujarnya.
Kedua, mengimpor minyak dari Singapura kemudian di mark up. Seperti pertalite menjadi pertamax. Hal ini menyebabkan kerugian negara sekitar 11 triliunan lebih.
Ketiga, pada akhirnya pemerintah harus menanggung subsidi sekitar 140 Triliun.
Abdullah juga menjelaskan bahwa korupsi yang terjadi di pertamina merupakan salah satu jenis korupsi berdasarkan target. Yakni korupsi pilitik atau politic coruption. Jokowi berhasil mengumpulkan kekayaan untuk dirinya, keluarganya dan kroni-kroninya dengan memanfaatkan posisinya sebagai kepala negara .
"Maka selama UU KPK ini masih berlaku, pemberantasan korupsi tidak mungkin bisa dituntaskan," pungkasnya.[] Ni’matul Afiah