TintaSiyasi.id -- Viral! Tagar #KaburAjaDulu jadi trending topic di media sosial, terutama di platform X. Tren ini muncul sebagai ungkapan kekecewaan kaum muda terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan ketidakadilan yang ada di Indonesia. Saat mengetik kata kunci tersebut di kolom pencarian, pengguna akan menemukan berbagai unggahan yang mencerminkan keluhan dan keresahan masyarakat terhadap berbagai kebijakan di Indonesia.
Tren kabur aja dulu muncul dari frustrasi kaum muda terhadap berbagai masalah yang terus berlanjut di Indonesia. Mereka menghadapi kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan yang layak, tingginya biaya pendidikan, ketimpangan pembangunan, dan minimnya kesempatan untuk menyuarakan aspirasi.
Tagar #KaburAjaDulu dipakai sebagai ungkapan keinginan untuk "pergi" atau "melarikan diri" ke tempat yang menawarkan lebih banyak peluang dan kehidupan lebih baik. Ironisnya, ini bukan tentang benar-benar meninggalkan negara atau pindah ke kota besar, tetapi lebih ke bentuk protes karena mereka merasa tanah air tidak memenuhi kebutuhan mereka. Sadarkah mereka bahwa ketidakidealan hidup saat ini, bukan semata ketidakmampuan penguasa mengelola negara, tapi juga akibat penerapan kapitalisme sekuler yang memang tak berpihak pada rakyat?
Kapitalisme Sekuler Bikin Anak Muda Frustasi
Fenomena #KaburAjaDulu menguat seiring polemik tentang kondisi ekonomi, kebijakan pemerintah, serta tantangan sosial yang dihadapi generasi muda. Banyak warganet yang mengaitkan tren ini dengan keinginan mereka untuk meninggalkan Indonesia dan mencari kehidupan yang lebih baik di luar negeri.
Tagar ini tidak muncul tanpa sebab. Ada beberapa isu yang menjadi pemicu utama, di antaranya:
Pertama, maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor. Salah satu pemicu utama adalah PHK massal, termasuk di TVRI dan RRI, yang membuat banyak orang mulai khawatir dengan kondisi pasar tenaga kerja di Indonesia. Meskipun telah diralat, namun isu ini terlanjur menjadi perbincangan publik yang hingga kini masih disorot media.
Kedua, prediksi Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Banyak mahasiswa mengeluhkan adanya prediksi kenaikan UKT yang diumumkan oleh Kementerian Pendidikan. Jika kebijakan ini benar-benar diterapkan, maka akses pendidikan tinggi bagi banyak orang akan kian sulit.
Ketiga, efisiensi anggaran dan pemblokiran dana Ibu Kota Negara (IKN). Pemerintah tengah melakukan efisiensi anggaran di berbagai sektor, termasuk pemblokiran anggaran untuk proyek IKN. Hal ini memicu spekulasi di kalangan masyarakat bahwa proyek IKN tidak berjalan sebagaimana rencana awal.
Kombinasi dari faktor-faktor ini semakin memperkuat sentimen negatif di media sosial, yang membuat banyak orang merasa pesimis terhadap masa depan di dalam negeri. Hingga warganet menggunakan tagar ini untuk membagikan impian mereka dalam mencari kehidupan lebih baik di luar negeri.
Bila kita telisik, buruknya kondisi sosial ekonomi di negeri ini tak semata-mata karena ketidakcakapan penguasa mengelola urusan warganya. Lebih mendasar dari itu, sistem politik dan ekonomi yang diterapkan memang tak mendukung terhadap idealitas kepemimpinan. Berlandaskan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan/kekuasaan), kebijakan politik ekonomi kapitalistik cenderung SSK (suka-suka kami) dan berpihak pada pemilik modal.
Inilah mengapa kesenjangan ekonomi terus terjadi. Di negeri ini, yang kaya punya kesempatan hingga bisnisnya menggurita, sementara kaum jelata yang terbatas modalnya kian tersingkir. Dalam konstelasi ekonomi internasional, liberalisasi ekonomi yang menguat juga kian memperlebar kesenjangan antara negara maju dan berkembang, serta menciptakan ketidakadilan dalam akses terhadap sumber daya dan kesempatan.
Diakui atau tidak, realitas ini menunjukkan kegagalan kebijakan politik ekonomi dalam menyejahterakan masyarakat. Bahkan tak hanya terjadi di negeri ini, kesenjangan ekonomi juga melanda di tingkat dunia, antara negara berkembang (miskin) dengan negara maju. Dengan demikian, penerapan kapitalisme sekuler menyebabkan munculnya banyak manusia khususnya anak muda frustasi dengan buruknya kondisi yang ada.
Dampak Viralnya #KaburAjaDulu bagi Masyarakat, Khususnya Anak Muda
Viralnya tagar #KaburAjaDulu di media sosial memberi dampak yang cukup beragam bagi masyarakat anak muda. Berikut adalah beberapa dampak yang mungkin muncul:
Pertama, peningkatan tekanan sosial. Tagar ini bisa memperburuk tekanan sosial, terutama bagi anak muda yang merasa kesulitan dalam menjalani hidup, seperti masalah pekerjaan, studi, atau hubungan pribadi. Slogan ini terkadang dianggap sebagai pelarian dari masalah tanpa mencari solusi yang lebih konstruktif.
Kedua, normalisasi melarikan diri dari masalah. #KaburAjaDulu bisa dianggap sebagai normalisasi sikap melarikan diri dari masalah, tanpa menyelesaikan konflik atau tantangan yang dihadapi. Ini dapat memengaruhi cara berpikir anak muda dalam menghadapi kesulitan.
Ketiga, potensi Menurunnya Kesadaran mental health. Meskipun bisa jadi dimaksudkan untuk bercanda, tagar ini bisa menciptakan persepsi bahwa melarikan diri adalah solusi yang sah. Ini bisa berdampak pada pemahaman masyarakat terhadap pentingnya kesehatan mental dan cara-cara yang lebih sehat dalam menghadapinya.
Keempat, perubahan perspektif terhadap kebebasan. Di sisi lain, tagar ini juga bisa dilihat sebagai bentuk pemberontakan terhadap rutinitas atau ekspektasi yang membelenggu anak muda, yang ingin merasakan kebebasan atau pelarian dari kehidupan sehari-hari yang monoton.
Kelima, peran media sosial dalam membentuk budaya anak muda. Tagar ini menunjukkan bagaimana media sosial dapat berperan dalam membentuk tren dan budaya anak muda, sering kali lebih berfokus pada ekspresi kebebasan daripada pencarian solusi jangka panjang yang konstruktif.
Secara keseluruhan, meskipun tagar ini mungkin hanya dimaksudkan sebagai guyonan atau cara untuk berbagi keluh kesah, dampaknya bisa mempengaruhi cara pandang anak muda terhadap masalah kehidupan dan cara mereka menghadapinya.
Kebijakan Politik Ekonomi yang Mampu Menyejahterakan Masyarakat
Sistem kapitalisme terbukti memberatkan rakyat, menciptakan kesenjangan sosial, dan hanya menguntungkan kelompok elite tertentu. Inilah yang sudah sejak lama dirasakan oleh rakyat Indonesia. Bahkan, kehidupan rakyat makin berat dari waktu ke waktu.
Berbeda dengan kapitalisme, sistem ekonomi Islam ketika dahulu diterapkan dalam naungan khilafah islamiyah, terbukti menyejahterakan. Mengapa? Karena berlandaskan pada aturan Allah SWT, Sang Maha Pencipta dan paling mengerti akan kebutuhan manusia.
Sistem ekonomi Islam terbukti menjamin keberkahan dan keadilan. Keadaan yang tidak pernah bisa terwujud dalam ideologi selain Islam. Ada beberapa kebijakan politik Islam yang mampu mewujudkan kehidupan yang berkah dan menyejahterakan.
Pertama, setiap Muslim, termasuk penguasanya, menjalankan aturan Islam didorong oleh ketakwaan kepada Allah SWT, bukan semata karena motif ekonomi, yakni mendapatkan keuntungan.
Para penguasa juga diperintahkan oleh Allah SWT untuk menunaikan dan mengelola harta umat sebagai amanah dengan sebaik-baiknya. Demi menjaga kehati-hatian, Khalifah Umar bin Al-Khaththab ra., misalnya, sampai memperlakukan harta rakyat seperti harta anak yatim, yang tentu besar dosanya jika harta tersebut diambil secara zalim.
Kedua, syariat Islam mencegah konsentrasi kekayaan hanya pada segelintir orang. Hingga kesenjangan sosial teratasi di tengah masyarakat. Islam mewajibkan negara untuk menghapuskan setiap peluang akumulasi kekayaan hanya pada elite tertentu.
Sebagai kepala negara, Rasulullah SAW misalnya, pernah membagikan harta rampasan Perang Badar hanya kepada kaum Muhajirin, bukan kepada kaum Ansar, kecuali dua orang saja di antara mereka yang memang dhuafa. Hal ini demi melaksanakan perintah Allah SWT, “…supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian” (QS. Al-Hasyr: 7).
Ketiga, Islam mengharamkan memakan harta orang lain secara zalim. Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian secara batil (zalim), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar keridhaan di antara kalian” (QS An-Nisa’: 29).
As-Sa’di menafsirkan ayat di atas, termasuk memakan harta secara zalim adalah mencakup ghashab (perampasan) (Tafsîr As-Sa’di, hlm. 300). Ghashab, menurut Dr. Khalid al-Musyaiqih, adalah menguasai hak orang lain, baik hartanya atau hak gunanya, secara paksa, tanpa alasan yang benar.
Larangan ghashab ini berlaku umum, termasuk penguasa. Dalam syariat Islam, negara diharamkan memungut harta—seperti berbagai pajak saat ini—tanpa keridhaan rakyat dan bertentangan dengan syariah Islam. Harta rakyat terlindungi oleh hukum-hukum Allah SWT. Negara hanya berhak memungut zakat dari kaum muslim, jizyah dari warga nonmuslim, serta kharaj bagi warga Muslim ataupun ahludz-dzimmah yang tinggal di tanah kharajiyah saja.
Dalam Islam, pungutan pajak (dharîbah) hanya dipungut hanya ketika kas negara dalam keadaan krisis. Artinya, pajak bersifat temporer (sewaktu-waktu/tidak terus-menerus). Itu pun hanya diambil dari warga muslim yang kaya saja (nonmuslim tidak dikenai pajak). Beda dengan pajak dalam sistem kapitalisme yang dipungut secara zalim dari semua warga negara, miskin dan kaya, bahkan dipungut dari beragam barang dan jasa, dan bersifat terus-menerus.
Keempat, Islam menetapkan bahwa sumber daya alam yang melimpah ruah sebagai kepemilikan umum (milik rakyat). Nabi SAW bersabda, "Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput [gembalaan], dan api” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah).
Maka negara tidak boleh menyerahkan pengelolaan tambang pada individu (korporasi), apalagi memilikinya. Sebagaimana ketidakbolehan korporasi membuat pagar laut agar bisa direklamasi demi kepentingan bisnis propertinya. Inilah yang banyak terjadi di Indonesia. Padahal negaralah yang seharusnya mengelola sumber daya alam dan mengembalikan hasilnya untuk kemaslahatan rakyat. Bukan demi konglomerat.
Demikianlah beberapa kebijakan politik ekonomi Islam yang mampu menyejahterakan. Selama kapitalisme yang diterapkan, derita umat tak akan kunjung reda. Frustasi dengan keadaan pun akan terus ada.
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media