Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tiga Urgensi Fikih Kontemporer

Kamis, 20 Februari 2025 | 15:13 WIB Last Updated 2025-02-20T08:13:06Z

Tintasiyasi.ID -- Ahli Fikih Islam K.H. Muhammad Shiddiq Al-Jawi membeberkan tiga urgensi fikih kontemporer kepada TintaSiyasi.ID pada hari Kamis, (20/02/2025). “Ada tiga urgensi fikih kontemporer,” sebut Kiai Shiddiq.

 

“Pokok bahasan ini meliputi definisi fikih kontemporer dan tiga urgensinya,” tuturnya.

 

Takrif

 

Kiai Shiddiq mengawali dengan takrif atau definisi fikih. “Secara bahasa artinya pemahaman, sedangkan secara istilah, fikih adalah ilmu mengenai hukum-hukum Islam yang bersifat amaliah (terkait dengan perbuatan) yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terperinci (Al-Qur'an dan Al-Hadis),” ujarnya menyitat pendapat M. Husain Abdullah yang terdapat di dalam kitab Al-Wadhih fi Ushul Al Fiqh halaman 17.

 

“Sedangkan fikih kontemporer adalah fikih yang membahas masalah-masalah kekinian atau baru (kontemporer atau al-mu’ashirah) yang tidak ada nasnya dalam Al-Qur'an dan As-Sunah, atau tidak ada ijtihad ulama dalam masalah baru tersebut,” tuturnya. 

 

Ia menyebut bahwa di dalam literatur Arab, fikih kontemporer disebut dengan istilah qadhaya al-fiqhiyah mu’ashirah, fiqh nawazil, dll. 

 

“Contoh kitab yang membahas fikih kontemporer adalah Mausu’ah Al-Qadhaya Al-Fiqhiyah Al-Mu’ashirah oleh M. Ali As Salus, Fiqh Nawazil oleh Bakar Abu Zaid, dll,” sebutnya.

 

Untuk contoh tema fikih kontemporer di berbagai bidang, Kiai Shiddiq menyebutkan ada bidang muamalah, ijtimaiyah atau pergaulan, ibadah, kedokteran, dan kesenian.

 

“Contoh-contoh fikih kontemporer di bidang muamalah ada hukum asuransi (at-ta`min), hukum koperasi (syirkah ta’awuniyah), hukum PT (syirkah musahamah), hukum franchise (waralaba), hukum mlm (multi level marketing), dan ada hukum give away, hukum endorse, dan hukum arisan,” sebutnya. 

 

Ia pun mencontohkan fikih kontemporer di bidang ijtimaiyah atau pergaulan yaitu hukum pacarana, hukum khitbah (melamar) via WA/SMS, hukum khalwat (seclusion atau mojok dengan lain jenis), hukum foto bersama dengan lain jenis, dan hukum nonton bioskop. 

 

“Bidang ibadah yang termasuk contoh fikih kontemporer adalah hukum salat jumat virtual (online), hukum naik haji dengan uang korupsi, hukum salat jamaah secara social distancing, apakah tes rapid antigen dan swab membatalkan puasa, dan apakah suntikan vaksinasi Covid-19 membatalkan puasa,” lanjutnya menjelaskan. 

 

Lanjut dijelaskan untuk contoh-contoh fikih kontemporer di bidang kedokteran, di antaranya adalah hukum KB, hukum bayi tabung, hukum inseminasi buatan, hukum operasi ganti kelamin, dan hukum operasi plastic. 

 

“Fikih kontemporer di bidang kesenian contohnya adalah hukum mengedit foto, hukum menggambar makhluk bernyawa tidak utuh, hukum robot seperti manusia, hukum membuat boneka spirit doll, dan hukum membuat dan menjualbelikan action figure,” bebernya lebih lanjut. 

 

Tiga Urgensi Fikih Kontemporer 

 

Pertama, memudahkan umat Islam terikat dengan syariat Islam. “Umat Islam wajib terikat dengan syariat Islam sebagai konsekuensi dari keimanan mereka terhadap Islam,” jelasnya. 

 

Kiai Shiddiq menyitat terjemahan Al-Qur’an surah An-Nisaa ayat 65:

 

Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.

 

Kedua, menampakkan kemampuan syariat Islam mengatasi segala masalah. “Syariat Islam adalah hukum yang sempurna yang mampu menyelesaikan semua persoalan manusia,” tuturnya yakin. 

 

"Kesempurnaan syariat Islam bisa dilihat di Al-Qur’an surah al-Maidah ayat 3, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu.’ Serta di dalam surah an-Nahl ayat 89, ‘Dan telah Kami turunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu,”  

 

Ketiga, mengedukasi umat Islam bagaimana cara istinbat hukum dari dalilnya. “Fikih kontemporer mengedukasi umat Islam mengenai proses ijtihad yang melahirkan hukum syarak secara mendalam, yaitu tahu hukumnya, tahu dalilnya, tahu wajhul istidlal-nya (cara penarikan kesimpulan hukumnya dari Al-Qur'an dan As-Sunah),” terangnya.

 

Kiai Shiddiq menutup penjelasan dengan menyebutkan sabda Rasulullah saw. yang diriwiyatkan oleh Abu Dawud, no. 3172 kepada Mu’adz bin Jabal RA, "Bagaimana kamu memutuskan jika datang kepadamu suatu perkara peradilan?" Muadz menjawab, ‘Dengan Kitabullah.’ Nabi saw. bertanya, ‘Bagaimana jika kamu tidak mendapatkan di dalam Kitabullah?’ Muadz menjawab, ‘Dengan sunah Rasulullah.’ Nabi saw. bertanya, ‘Bagaimana jika kamu tidak mendapatkan di dalam sunah Rasulullah?’ Muadz menjawab, ‘Aku akan berijtihad dengan pendapatku."[] Rere

 

Opini

×
Berita Terbaru Update