Tintasiyasi.id.com -- Majelis Ulama Nusantara (MUN) hadir dalam kasus pagar laut di tanggerang. Pagar laut yang mencapai 30,16 km itu telah menjadi perkara nasional. Keberadaan pagar laut inilah yang kemudian dikaitkan dengan Islam dalam perkara Ihya’ul Mawat atau tanah mati.
Menurut KH. Rakhmad Zailani Kiki pendiri Majelis Ulama Nusantara (MUN), pagar laut yang dipermasalahkan itu telah memiliki dasar hukum yang kuat sesuai Perda tentang reklamasi laut, Artinya sudah ada legal standing (Republika, 12-2-2025).
Menurut Ulama Nusantara yang lain dalam unggahan video, "Kalau PSN, masyarakat Ulama-ulama Banten tadi semua sudah mendukung. Karena itu merupakan Ihya al Mawat menghidupkan tanah yang terlantar hukumnya wajib," kata Aqiel, lewat potongan video yang diunggah pengguna X @NayDonuts, Kamis, 30 Januari 2025.
Benarkah pemagaran laut termasuk Ihya’ul Mawat atau menghidupkan tanah mati? apakah sudah sesuai dalam fiqih Islam? ataukah ini hanya retorika untuk mendukung oligarki dan penguasa?
Menurut Syekh Taqiyuddin An nabhani dalam kitab Nizham Al-Iqtishadi Fiil Islam, definisi Al-ardhun al mawat atau tanah mati adalah tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak ada seorang pun yang memanfaatkannya. Maka dari itu ketika terjadi pemagaran laut yang dilakukan oleh para oligarki yang kemudian dilegalisasi oleh para Ulama Nusantara sebagai tanah mati adalah berbeda fakta.
Fakta pertama bahwa yang dipagari adalah laut, bukan tanah. Fakta kedua laut termasuk kepemilikan umum yang tidak boleh dimiliki oleh individu. Hal ini sesuai dengan hadist Riwayat Abu Dawud “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, padang gembala, air, dan api”. Artinya laut adalah milik Bersama kaum muslimin dan haram untuk dijadikan milik pribadi.
Fakta yang ketiga bahwa tanah mati menurut syara’ adalah tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak ada yang memanfaatkannya. Faktanya laut/bahr dimanfaatkan oleh kaum nelayan untuk mengais rizki untuk menghidupi keluarga mereka. Ketika laut di pagar maka kaum nelayan tidak bisa lagi mencari nafkah, dan ini memutus rantai pencaharian mereka.
Dalam ungkapan Ulama Nusantara “ membiarkan tanah terbengkelai adalah dosa “ memang benar adanya. Akan tetapi bukan berarti negara kemudian memberikan tanah tersebut kepada oligarki kafir yang rakus di negeri ini. Justru pemberian tanah kepada oligarki adalah dosa, karena akan mengakibatkan harta itu berputar pada orang kaya saja diantara mereka.
Hal ini jelas bertentangan dengan firman Allah swt surat Al Hasr: 7;
“Agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu."
Fakta yang ada adalah bahwa pemagaran itu dilakukan oleh orang-orang non muslim /kafir dan hal itu bisa menimbulkan kondisi yang tidak dibenarkan dalam islam karena akan terjadi hegomoni orang-orang kafir terhadap orang muslim. Dan ini bertentangan dengan firman Allah swt surat An-nisa : 141
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk mengalahkan/menguasai orang-orang mukmin."
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menyampaikan kepada pemerintah untuk memberikan sanksi atas pagar laut. Alasan yang disampaikan adalah laut merupakan wilayah perairan yang dikuasai negara, maka tidak boleh diberikan kepada individu/oligarki, dasar hukum pengelolaan laut adalah pasal 33 ayat 3 UUD 1945, pasal 4 UUPA mengatur bahwa ha katas tanah termasuk HGB belaku diatas tanah bukan wilayah perairan.
Selain itu MUI juga menilai bahwa pagar laut itu melanggar hukum dan dapat merugikan Masyarakat pesisir terutama para nelayan. MUI juga mendorong pemerintah agar pelaku yang melanggar hukum dapat dikenakan sanksi pidana.
Disinilah ketegasan seorang penguasa dibutuhkan. Padahal jelas siapa yang memagari, siapa aktor utama dari pemagaran itu, tetapi sampai hari ini tak satu pun dari para oligarki yang dipanggil dipengadilan.
Padahal merekan jelas melanggar hukum dan Undang-Undang yang berlaku di negeri ini. Mereka yang dipanggil hanya orang-orang yang sebenarnya dikorbankan untuk mengalihkan opini seakan hal ini telah diputuskan penguasa. Apakah mereka juga bagian dari cukong oligarki?
Jadi jelaslah bahwa memagari laut adalah bertentangan dengan syariat Islam, maka kalau ada pendapat untuk menyamakan dengan menghidupkan tanah mati adalah batil. Jika itu keluar dari mulut seorang ulama, boleh jadi mereka adalah bagian cukung oligarki untuk meraih dukungan umat Islam. Begitulah cara para orientalis kafir barat dulu untuk menghancurkan khilafah islam. Mereka menggunakan para ulama untuk menyerang islam dari dalam.
Inilah fakta yang terjadi di negara demokrasi, yang berarti kedaulatan di tangan oligarki. Masihkah hal ini belum menyadarkan kita akan keagungan sisitem Islam? Lalu sampai kapankah kita akan terus dijajah di negeri sendiri? mari bersama ngaji Islam secara kafah untuk kita perjuangkan bersama dalam penerapannya. Hanya Islam sistem terbaik yang datang dari Dzat yang Maha Baik yaitu Allah SWT yang akan membawa kita pada keselamatan, kebahagiaan dunia dan akhirat.[]
Oleh: A.B.Latif
(Analis Indo Politic Watch)