Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tagar #KaburAjaDulu: Antara Brain Drain dan Brain Gain

Rabu, 19 Februari 2025 | 22:24 WIB Last Updated 2025-02-19T15:25:15Z
TintaSiyasi.id -- Akhir-akhir ini tagar #KaburAjaDulu menggema di media sosial. Tagar ini dimaksudkan sebagai ajakan untuk "kabur" dari Indonesia akibat kekesalan publik terhadap kondisi tanah air. Menurut Drone Emprit, tagar ini pertama kali muncul di X (Twitter) pada September 2023, tetapi baru benar-benar viral pada 14 Januari 2025.

Mayoritas penggunanya adalah anak muda berusia 19–29 tahun, yang mencapai 50,81% dari total percakapan. Fenomena ini lahir dari rasa kekecewaan terhadap kondisi ekonomi dan kualitas hidup di Indonesia. Sulitnya mencari pekerjaan, rendahnya upah, dan ketimpangan sosial menjadi pemicu utama (Suara.com, 12-02-2025)

Tak sedikit cuitan yang ditulis oleh warga X (Twitter) menggambarkan pengalaman hidup dan bekerja di luar negeri, seperti di Malaysia, Singapura, Jepang, Dubai, dan negara lainnya. Hal ini bukan sekadar tren, tetapi juga mencerminkan keinginan untuk hidup lebih baik dengan bekerja di luar negeri.

Tagar #KaburAjaDulu ramai diperbincangkan bukan tanpa sebab. Ini mencerminkan potret nyata pergeseran warga negara Indonesia ke luar negeri. Kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari fenomena Brain Drain, yang menjadi isu krusial dalam konteks globalisasi dan liberalisasi ekonomi yang semakin menguat serta memperlebar kesenjangan antara negara maju dan berkembang.

Oleh sebab itu, masalah #KaburAjaDulu memerlukan solusi, karena berkaitan dengan tanggung jawab negara dalam mengurusi rakyatnya dan menentukan masa depan umat.

Sistem Kapitalisme Penyebab Brain Drain

Brain Drain adalah fenomena ketika orang-orang berpendidikan tinggi dan terampil meninggalkan negaranya untuk bekerja atau tinggal di luar negeri. Fenomena ini juga disebut sebagai human capital flight atau pelarian modal manusia. 

Adapun faktor penyebab Brain Drain terjadi karena minimnya lapangan pekerjaan di negara asal, gaji yang lebih tinggi, banyaknya peluang beasiswa, pelayanan kesehatan yang lebih baik, teknologi yang lebih maju, serta lingkungan yang lebih nyaman. Semua ini menarik perhatian individu untuk memilih kehidupan yang lebih layak, sesuatu yang menjadi keniscayaan dalam kondisi saat ini.

Dalam sejarahnya, istilah Brain Drain pertama kali digunakan oleh Royal Society (lembaga ilmiah tertua di dunia asal Inggris) untuk menggambarkan emigrasi ilmuwan dan teknolog dari Eropa ke Amerika Utara dan Inggris setelah Perang Dunia II secara besar-besaran.

Dampak negatif Brain Drain sangat besar bagi negara yang ditinggalkan, di antaranya:

Kehilangan/kekurangan sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Jika terjadi secara masif, hal ini dapat menghambat pembangunan suatu negara. Menurunnya citra negara, karena dianggap tidak mampu memfasilitasi dan memberikan kehidupan yang layak bagi warganya. Terputusnya generasi berkualitas, seperti ilmuwan senior yang seharusnya bisa menjadi mentor bagi generasi berikutnya (khazanah.republika.co.id, 12-02-2025).

Fenomena ini diperparah oleh digitalisasi, terutama media sosial, yang menampilkan kehidupan di negara lain yang tampak lebih menjanjikan serta pengalaman orang-orang yang telah bermigrasi terlebih dahulu.

Hal ini terjadi akibat sistem kapitalisme, yang diterapkan di Indonesia dan sebagian besar dunia, telah gagal dalam menciptakan kebijakan politik dan ekonomi yang mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Kesenjangan ekonomi antara negara berkembang dan negara maju semakin terlihat jelas, baik dalam skala nasional maupun global.

Banyak orang sudah bekerja keras, tetapi tetap tidak kunjung sejahtera. Hasil kerja yang diperoleh sering kali tidak sebanding dengan usaha yang dikeluarkan. Buruknya kualitas hidup, polusi, infrastruktur yang kurang memadai, korupsi yang meningkat, ketidakadilan hukum, kebijakan pemerintah yang tidak efektif, kenaikan pajak yang tidak seimbang dengan kesejahteraan rakyat, serta ketidakstabilan politik dan ekonomi adalah bukti nyata betapa gagalnya sistem kapitalisme.

Selain itu, pengelolaan sumber daya alam (SDA) lebih banyak menguntungkan pihak asing, sementara utang negara semakin meningkat. Akibatnya, SDA justru lebih banyak dinikmati oleh oligarki dan korporasi asing daripada rakyat sendiri. Generasi muda pun semakin kehilangan kesempatan untuk berkontribusi karena digantikan oleh tenaga kerja asing yang lebih profesional.

Oleh karena itu, Indonesia harus melakukan perubahan sistem dari Brain Drain menjadi Brain Gain, yaitu dengan membuang sistem kapitalisme dan mengembalikan generasi yang "kabur" dengan sistem sempurna, yaitu Islam Kaffah.

Sistem Islam Kaffah Wujudkan Brain Gain

Brain Gain adalah kebalikan dari Brain Drain, yaitu menciptakan kesejahteraan dalam negeri sehingga mampu menarik orang-orang berkualitas tinggi untuk menetap dan berkontribusi bagi negara. Brain Gain dapat terjadi ketika suatu negara mendapatkan manfaat dari imigrasi tenaga ahli, baik dalam bentuk pengalaman profesional, gagasan, maupun inovasi dari para profesional Indonesia di luar negeri.

Melihat fenomena ini, hanya dengan sistem Islam Kaffah kesejahteraan bisa terwujud, sebagaimana telah terbukti dalam sejarah peradaban Islam yang berlangsung selama 13 abad. Islam mampu mewujudkan Brain Gain pada masa itu, dan seharusnya dapat pula diterapkan di zaman sekarang.

Dalam Islam, Khalifah bertanggung jawab sebagai ra'in (pengurus) rakyat. Negara tidak boleh membiarkan rakyatnya dalam kemiskinan. Oleh karena itu, Islam mewajibkan negara untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap individu, baik dalam hal sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Beberapa langkah yang harus dilakukan negara untuk mewujudkan Brain Gain:

1. Strategi sistem pendidikan
Islam menyiapkan SDM yang saleh, cerdas, terampil, dan memiliki kepribadian Islam. Pendidikan Islam telah berhasil melahirkan ilmuwan besar seperti Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, Jabir Ibnu Hayyan, Al-Battani, dan Al-Farazi.

2. Penyediaan lapangan kerja seluas-luasnya
Negara membuka pekerjaan di berbagai sektor, seperti perdagangan, pertanian, pendidikan, kesehatan, perindustrian, dan peternakan. Para tenaga kerja yang terampil dan profesional diberi gaji tinggi dan kehidupan yang layak.

3. Pengelolaan SDA oleh negara
SDA milik umum (tambang, laut, sungai, hutan, gunung, dll.) harus dikelola negara, bukan diserahkan ke asing. Hasil SDA seperti BBM, gas, dan listrik diberikan kepada rakyat sebagai layanan publik secara cuma-cuma atau dengan harga yang sangat terjangkau.

4. Penerapan hukum yang adil dan tegas
Negara mencegah pungli dan korupsi, menciptakan iklim usaha yang sehat dan kondusif. Qadhi Madzalim bertugas mengawasi berbagai sektor agar tidak terjadi kedzaliman terhadap rakyat.

Islam bukan sekadar teori, tetapi telah terbukti mampu menciptakan kesejahteraan. Jika diterapkan, tidak ada lagi generasi yang kecewa dan "kabur", justru orang-orang dari luar negeri akan ingin hidup di dalam sistem Islam Kaffah.

Wallahu a'lam bishshawab.

Oleh: Punky Purboyowati, S.S
(Pegiat Komunitas Pena)

Opini

×
Berita Terbaru Update