Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Relevansi Keyakinan dalam Hidup dan Perjuangan

Senin, 10 Februari 2025 | 20:48 WIB Last Updated 2025-02-10T13:48:35Z

TintaSiyasi.id— Menjawab relevansi keyakinan bahwa Allah Mahakuasa penting dalam menghadapi hidup dan perjuangan, Cendekiawan Muslim Ustad Ismail Yusanto menegaskan kita yakin adanya Allah Mahakuasa, maka yang tidak mungkin, menjadi mungkin.

“Tidak ada masalah besar, jika di situ ada solusi. Sebagaimana juga tidak ada penyakit parah,  jika di situ ada obatnya. Jadi rupanya tidak ada masalah besar sepanjang di situ ada solusi dan tidak ada masalah kecil, kalau tidak ada solusi. Jadi kita yakin Allah Maha kuasa, maha besar, maha segalagalanya. Maka yang tidak mungkin, menjadi mungkin,” terangnya dalam kanal Youtube UIY Official: Rasionalitas Isra’ Mikraj, Kamis (30-01-2025)

Beliau mencontohkan ketika Nabi Ibrahim Alaihi Salam dibakar, Allah katakan cabut khasiat dari api membakar Nabi Ibrahim, tapi tidak membakar kayu. Kayunya habis, nabi Ibrahim utuh.

"Nabi Musa kepepet kepojok di tepian Laut Merah, No Way Out. Firaun dan bala tentaranya  makin dekat. Apa yang bisa dilakukan? Allah perintahkan, pukulkan tongkatmu ke tepian lautan dan laut membelah. Bagaimana bisa laut membelah dan itu memberi jalan keselamatan kepada Musa dan sekaligus menjadi Jalan kebinasaan bagi Firaun,” bebernya.

“Begitulah Allah subhanahu wa taala dengan kekuasaannya, justru  kisah-kisah itu ditulis atau diungkap oleh Allah dalam al-qur'an itu untuk menarik Ibrah kepada kita. Ibrah itu yang paling penting bahwa Allah maha kuasa yang dia bisa membelahkan laut bagi Musa, bisa memadamkan api atau mendingin api bagi nabi Ibrahim dan juga memperjalankan dari Masjidil Haram  naik ke Sidratul Muntaha, balik lagi ke Mesjidil Haram kurang dalam satu Malam," katanya.

Perjuangan

Melanjutkan pertanyaan tentang pentingnya iman kepada kekuasaan Allah dalam konteks perjuangan,  banyak pihak yang mengatakan menyatukan umat di bawa naungan Khilafah itu suatu hal yang nyaris mustahil apalagi berhadapan dengan Amerika yang menguasai dunia sekarang dalam segala tatanan global. 

“Kita mesti memisahkan antara kekuatan kita dengan kekuatan Allah. Kadang memang kita itu berbicara tentang kekuatan kita. Ketika kita bilang mustahil, tidak mungkin dan sebagainya Itu, kan kita bicara kekuatan kita. Tapi jangan lupa bahwa kita ini  bukanlah makhluk yang punya kemampuan segala-galanya,” tegasnya.

Ia mengingatkan, bahwa di belakang kita ada Allah SWT, maka sebagai seorang muslim tidak boleh berhenti pada kekuatan dirinya. Karena itu tidak boleh juga seorang muslim itu  pesimis, apalagi menyangkut itu kewajiban persatuan umat itu,” tambahnya.

Kemudian ia mengajak supaya kita harus banyak belajar dari  dari Siti Hajar. “Siti Hajar tahu persis bahwa tempat itu tidak ada air, wong dia sendiri mengatakan, “kau tinggalkan kami di tempat yang tidak ada seorang pun, tidak ada sesuatu apa pun. Tapi, begitu menyaksikan bahwa anaknya yang kecil itu menangis karena kehausan, dia berusaha untuk tetap mencari di tempat yang dia tahu ada air,” imbuhnya.

“Kenapa bisa begitu dia naik ke bukit Sofa kemudian lari ke bukit marwa, begitu sampai tujuh kali. Karena dia yakin Allah SWT itu zat yang maha kuasa, jangan lagi mendatangkan satu dua tes air, menciptakan alam semesta itu bisa dan terbukti benar,” jawabnya.

Ia menambahkan, dititik yang sangat menentukan, kemudian Allah melalui hentakan kecil kaki Ismail, keluarlah air. Sumber air yang sampai sekarang itu tak ada tanda-tanda bakal habis itu. Itu menunjukkan bahwa Allah itu Alaulliin Qadir dan itu solusi bukan di tempat dia melakukan ikhtiar.  Ikhtiarnya  Siti Hajar kan di Mas’a, kita sebutkan tempat Sai tapi itu sumber air keluar di mana bukan di tempat mas’a tapi di itu Mathof. 

“Tetapi juga Siti Hajar mengajarkan kepada kita untuk tidak boleh tidak berikhtiar. Siti Hajar tidak kemudian Kalau bahasa Jawanya ngonggrok gitu, nangis berdoa, pasrah,  diam,  cicing baik. Kalau orang Sunda bilang, tidak dia lari ke bukit Sofa Marwah  sampai tujuh kali. Kenapa tujuh kali allahuam, tapi kalau kita sekarang menirukan sa’i tujuh kali itu adalah jumlah yang optimum. Karena ada banyak jemaah itu kalau sudah tujuh di bukit marwaah, suruh jalan lagi sudah gak mampu itu,” jelasnya.

Artinya itu adalah ikhtiar yang optimum, bukan maksimum. Optimum untuk meraih cita-cita memperjuangkan agama ini, lupakan ketidakmungkinan-ketidakmungkinan dalam perspektif kita. Karena tidak mungkin kata kita,  sesungguhnya itu sangat mudah bagi Allah SWT.  

“Termasuk ini hari menghancurkan Israel, menghancurkan Amerika. Allah sudah kasih contoh, bagaimana Los Angeles itu tempat para selebritis para miluner, triliuner tinggal karena menganggap itu tempat yang paling aman di atas bukit. Jauh dari laut, tapi indah dan segala macam. Kurang dari 2 hari habis dilalap  oleh api, dibantu oleh angin dengan kecepatan lebih dari 100 km/jam, habis gak bersisa.” pungkasnya[] Sri Nova Sagita

Opini

×
Berita Terbaru Update