TintaSiyasi.id -- Menanggapi kasus warga negara Indonesia (WNI) yang tewas ditembak Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM) karena diduga ilegal, Pengamat politik Ustazah Fatma Sunardi menilainya membuka fakta perihal perlindungan pekerja migran masih jadi masalah besar.
"Penembakan WNI di Malaysia yang terkofirmasi sebagai pekerja migran non prosedural telah membuka fakta bahwa perlindungan pekerja migran masih menjadi masalah besar," tuturnya kepada Tintasiyasi.id, Ahad (2/2/2025).
Sebelumnya, diketahui lima orang WNI pekerja migran Indonesia (PMI) diduga ilegal, ditembak APMM di perairan Tanjung Rhu, Selangor, Malaysia, pada Jumat (24/1) sekitar pukul 03.00 dini hari waktu setempat. Dalam penembakan itu, satu orang korban bernama Basri (54), tewas. Sementara itu, satu orang lainnya kritis dan belakangan diketahui juga meninggal setelah mendapatkan perawatan medis sehingga korban jiwa bertambah menjadi 2 orang.
Ustazah Fatma juga menjelaskan, kejadian serupa sebenarnya pernah terjadi, data Migran Care dari tahun 2005-2025 telah terjadi penembakan oleh aparat Malaysia pada pekerja migran non prosedural sebanyak 75 kasus. BP2MI pernah mengungkap bahwa sebayak 1.300 pekerja migran meniggal dalam 3 tahun ini dengan berbagai sebab.
"Padahal, data BP2MI Novemver 2024 mencatat, jumlah PMI non prosedular sebanyak 5 juta orang. Dari sini maka masalah perlindungan pekerja migran akan tetap menjadi masalah yang besar," imbuhnya.
Jika bicara perlidungan pekerja migran, kata Fatma, pada faktanya merupakan masalah yang tidak mudah karena melibatkan masalah tata kelola, pengangguran, sindikat perdagangan orang, penegakan hukum, dan liberalisasi ketenagakerjaan. Masalah perlindungan pekerja migran tidak hanya melibatkan lembaga negara, tapi juga kebijakan negara lain dan sindikat kejahatan internasional. Seperti perdagangan orang yang sering memperdaya para pekerja migran non-prosedural.
Negara Lemah
Ia menilai, masalah perlindungan pekerja migran akan lebih mudah seandainya pemerintah memperketat warga negara menjadi pekerja migran. Tetapi ini jadi sulit karena tigkat pengangguran tinggi, tidak bisa diselesaikan pemeritah. Sebaliknya, pemerintah terus mendorong untuk menjadi pekerja migran. Tata kelola yang rumit secara admintrasi membuka peluang calo dalam rekrutmen bahkan penempatan.
Selama masalah-masalah tersebut belum dibenahi, lanjutnya, masyarakat masih akan menjadikan PMI sebagai pilihan. Hal ini, menurutnya, menjadi bukti negara lemah.
"Apalagi kalau bicara penegakan hukum jika ada pelanggaran, semakin sulit. Walhasil, banyak warga negara yang terpaksa menjadi pekerja migran non prosedural dengan resiko keamanan. Di sisni kita bisa melihat perlindungan negara sangat lemah," katanya.
Ia menerangkan, banyaknya pekerja migran non-prosedural sebenarnya lebih karena daya dorong, yakni karena di dalam negeri sulit mencari kerja, sedangkan mereka harus bertahan hidup bahkan menanggung kehidupan keluarga dan menganggap satu-satunya harapan yang bisa dijangkau adalah menjadi pekerja migran.
"Sedihnya, anemo yang besar untuk mencari kerja di luar negeri semakin menjadikan negara berambisi megirim tenaga kerja ke luar negeri. Bahkan, ada kementrian baru yang mengurus masalah perlindungan pekerja migran," ujarnya.
Ia menyayangkan PR yang harusnya dibenahi belum juga dibenahi oleh pemerintah. Menurutnya, pemerintah justru memandang adanya pekerja migran akan mendatangkan remitansi yang masuk menjadi devisa negara. Ini yang dikejar oleh pemerintah. Makanya, pemerintah terus mendorong kerja di luar negeri melalui prosedur yang kenyataannya masih sulit dijangkau oleh rakyat. Akhirnya, masyarakat memakai jasa calo dan menjadi pekerja migran yang ilegal (non-prosedural).
Butuh Perubahan Paradigma
Mengatasi persoalan ini, Ustazah Fatma menilai, yang paling memungkinkan dilakukan pemerintah dalam kondisi sekarang ini adalah dengan membatasi, bahkan memperketat menjadi pekerja migran. Harusnya pemeritah hanya mengirim pekerja dengan ketrampilan khusus sehingga bisa masuk dalam regulasi perlindungan pekerja negara tujuan.
Namun, tidak hanya itu, yang terpenting menurutnya, di saat yang sama harus ada langkah untuk membuka banyak lapangan kerja dengan gaji layak. Sehingga masyarakat mudah mendapat lapangan kerja dan tingkat pengagguran bisa turun. Akan tetapi, ini sangat sulit bahkan mustahil untuk ukuran negara miskin seperti Indonesia. Karena kebijakan ekonomi Indonesia untuk meraih pertumbuhan. Karena itu ia menilai harus ada paradigma baru dalam pengelolaan ekonomi.
"Pertumbuhan ekonomi yang dikejar oleh pemeritah menjadikan investasi dibuka lebar. Akibatnya, kekayaan alam yang menjadi sumber ekonomi masyarakat dikuasai oleh korporasi dan rakyat kesulitan membuka lapangan kerja sendiri. Di sisi lain, persaingan dibidang perdagangan telah menjadikan industri dalam negeri gulung tikar dan mengakibatkan PHK besar-besaran. Harus ada paradigma baru dalam mengelola ekonomi negeri ini," imbuhnya.
Lebih lanjut ia menerangkan, Islam menawarkan konsep politik ekonomi Islam yang menjamin pemenuhan kebutuhan dasar warga negara dengan ketentuan Islam. Dalam sistem Islam, lanjutnya, kepemilikan umum seperti hutan, laut, dan bahan tambang tidak dikuasai satu perusahaan, tapi harus dimanfaatkan bersama dengan wakil negara. Dari sini, kata Ustazah Fatma, akan memudahkan rakyat bisa mengakses kekayaan milik umum dan menjadi modal mereka membuka lapangan kerja.
"Contoh, jutaan hektare hutan saat ini dikuasaai oleh korporasi sawit. Padahal, jika dimanfaatkan bersama oleh masyarakat maka akan bisa dibuat ladang dan tempat mencari bahan pangan untuk dikosumsi sendiri ataupun di jual. Jadi, butuh perubahan paradigma berekonomi dari ekonomi kapitalis ke ekonomi Islam," pungkasnya. [] Saptaningtyas