Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Peran Pakta Militer dalam Dominasi Negara Adidaya

Rabu, 19 Februari 2025 | 15:20 WIB Last Updated 2025-02-19T08:20:56Z

Tintasiyasi.ID -- Dalam diskusi serial Kajian Telaah Kitab Mafahim Siyasiyah (Konsepsi Politik Islam) Ed. 26, Pengamat Politik Internasional Budi Mulyana menyoroti peran pakta militer dalam mempertahankan dominasi negara-negara adidaya di dunia hanyalah alat untuk menjaga status quo dan mengurangi persaingan dari negara-negara yang berpotensi menjadi pesaing militer.

 

“Gagasan perdamaian yang sering digaungkan oleh kekuatan besar, termasuk pelucutan senjata, sebenarnya hanya alat untuk menjaga status quo dan mengurangi persaingan dari negara-negara yang berpotensi menjadi pesaing militer,” ulas Budi.

 

"Prinsip negara adidaya itu tetap dilihat dari kekuatan militernya. Jadi tidak mungkin mereka mengurangi kapabilitas negaranya," ujarnya dalam kuliah bertajuk Faktor Pendorong Persaingan Antarnegara, Pakta, dan Aliansi Internasional di kanal YouTube Syiar Malam, Kamis (10/08/2023).

 

Ia menekankan bahwa pakta militer memiliki dua tujuan utama. "Pertama, untuk memperkuat posisi suatu negara dengan membentuk aliansi bersama negara lain." ujarnya, sembari memberikan contoh, menjelang Perang Dunia I, Inggris membangun pakta militer dengan Prancis dan Rusia untuk menghadapi Jerman.

 

"Ketika Inggris menghadapi Jerman, maka Inggris membangun pakta militer dengan Prancis dan Rusia, karena mereka mungkin merasa lemah jika harus berhadapan langsung," jelasnya.

 

Kedua, pakta militer digunakan untuk mencegah dominasi suatu negara atas negara lain demi menjaga keseimbangan kekuatan global.

 

"Ketika Amerika Serikat membentuk NATO, maka Uni Soviet merespons dengan membentuk Pakta Warsawa, agar terjadi keseimbangan kekuatan atau balance of power (BOP)," tambahnya.

 

Ia turut menjelaskan bahawa dalam konteks Perang Dingin, dunia terbagi menjadi dua blok besar yang masing-masing bersekutu dalam perjanjian militer. Namun, setelah runtuhnya Uni Soviet, NATO justru semakin diperluas ke negara-negara Eropa Timur.

 

"Pertanyaannya, ketika pakta adidaya itu tidak ada pesaing, kenapa Amerika mempertahankan bahkan memperluas NATO, dan paktanya terus dilakukan dengan menggabungkan negara-negara Eropa Timur ke dalamnya, termasuk juga negara-negara lain. Misalkan Kaukasus, kemudian diajak untuk bergabung," ungkap mengajak audiens berpikir.

 

Sambung Budi lagi, tujuan NATO setelah itu bukan lagi menghadapi Blok Timur yang telah runtuh, tetapi berubah menjadi alat untuk mencengkram negara-negara pesaingnya di Eropa agar tetap dalam pengaruh Amerika Serikat.

 

"Tujuan NATO itu tidak lagi diorientasikan untuk menghadapi Blok Timur, tetapi justru untuk mencengkram negara-negara super power, negara-negara dengan kekuatan militer yang besar seperti Inggris misalkan, kemudian Prancis dan Jerman. Makanya kemudian orientasi NATO itu sudah berubah menjadi alat untuk mencengkram pesaing-pesaing Amerika." Tegasnya.

 

Aktivis Muslim itu juga menyoroti bagaimana negara-negara kecil memanfaatkan pakta militer sebagai strategi perlindungan.

 

"Kenapa Indonesia takut dengan Singapura yang kecil? Karena Singapura punya kerjasama militer dengan negara-negara besar. Kalau Indonesia berhadapan dengan Singapura, kita tidak hanya melawan Singapura, tetapi juga sekutunya. Jadi ada keuntungan buat negara-negara kecil gabung ke pakta militer itu untuk mengamankan posisinya dari ancaman negara lain." paparnya.

 

Selain itu ia turut membahas tentang pakta militer bukan hanya alat perang, tetapi juga digunakan untuk memperluas dan memperkuat hegemoni negara adidaya di berbagai kawasan. “Pakta semacam ini lebih bersifat sebagai alat politik untuk menjaga keseimbangan kekuatan di tingkat global,” lugasnya.

 

"Kita harus baca tentang konstelasi internasional itu adalah pakta-pakta militer yang memang dalam konteks memperkuat hegemoni yang sudah ada. Jadi pakta yang diadakan adalah untuk menentang kekuatan lain sekiranya ada potensi lawan. Kemudian pakta ini juga menjadi sarana untuk menjaga keseimbangan kekuatan dan memastikan negara-negara tetap berada dalam pengaruh negara adidaya," jelasnya.

 

Ia memberikan contoh, perjanjian militer yang dibuat oleh Amerika dengan berbagai negara di Timur Tengah, Afrika, dan Asia sering kali lebih menguntungkan negara adidaya dibandingkan negara yang bergabung.

 

"Ada perjanjian-perjanjian militer antara negara adidaya dengan negara kecil yang tidak dianggap sebagai alat konflik internasional secara langsung, tetapi justru sebagai alat untuk memperkuat dominasi negara adidaya," tambahnya.

 

Jenis Negara

 

Sebagai tambahan, dalam konteks politik internasional pula, Budi menyebutkan bahwa negara dapat dikategorikan menjadi empat jenis, yakni negara adidaya, negara independen, negara satelit, dan negara pengikut.

 

"Negara satelit itu seperti Jepang terhadap Amerika. Jepang itu Amerika dalam bentuk lain, mengikuti kebijakan ekonomi dan luar negeri Amerika," ungkapnya.

 

Sementara itu, ujarnya, negara pengikut seperti Indonesia lebih fleksibel dalam berhubungan dengan berbagai kekuatan besar.

 

"Indonesia itu negara pengikut, bukan satelit. Indonesia bisa ke Amerika, bisa ke Inggris, bisa ke Cina, tergantung siapa yang lebih dominan memengaruhinya," katanya.

 

Kesimpulannya, agar tatanan politik internasional lebih adil, dibutuhkan kekuatan global yang mendasarkan kebijakannya pada nilai-nilai Islam, guna mengatasi atau menanggulangi dominasi kepentingan hegemonik negara adidaya yang ada saat ini.

 

"Pakta politik internasional dikendalikan oleh negara adidaya. Oleh karena itu, penting menghadirkan adidaya yang lebih adil dan memiliki nilai-nilai Islam, agar dunia tidak terus-menerus dikuasai oleh kepentingan hegemonik semata," tutupnya.[] Aliya Ab Aziz

 

Opini

×
Berita Terbaru Update