“Gagasan perdamaian yang sering
digaungkan oleh kekuatan besar, termasuk pelucutan senjata, sebenarnya hanya
alat untuk menjaga status quo dan mengurangi persaingan dari
negara-negara yang berpotensi menjadi pesaing militer,” ulas Budi.
"Prinsip negara adidaya itu
tetap dilihat dari kekuatan militernya. Jadi tidak mungkin mereka mengurangi
kapabilitas negaranya," ujarnya dalam kuliah bertajuk Faktor Pendorong
Persaingan Antarnegara, Pakta, dan Aliansi Internasional di kanal YouTube
Syiar Malam, Kamis (10/08/2023).
Ia menekankan bahwa pakta militer
memiliki dua tujuan utama. "Pertama, untuk memperkuat posisi suatu
negara dengan membentuk aliansi bersama negara lain." ujarnya, sembari
memberikan contoh, menjelang Perang Dunia I, Inggris membangun pakta militer
dengan Prancis dan Rusia untuk menghadapi Jerman.
"Ketika Inggris menghadapi
Jerman, maka Inggris membangun pakta militer dengan Prancis dan Rusia, karena
mereka mungkin merasa lemah jika harus berhadapan langsung," jelasnya.
Kedua, pakta militer
digunakan untuk mencegah dominasi suatu negara atas negara lain demi menjaga
keseimbangan kekuatan global.
"Ketika Amerika Serikat
membentuk NATO, maka Uni Soviet merespons dengan membentuk Pakta Warsawa, agar
terjadi keseimbangan kekuatan atau balance of power (BOP),"
tambahnya.
Ia turut menjelaskan bahawa dalam
konteks Perang Dingin, dunia terbagi menjadi dua blok besar yang masing-masing
bersekutu dalam perjanjian militer. Namun, setelah runtuhnya Uni Soviet, NATO
justru semakin diperluas ke negara-negara Eropa Timur.
"Pertanyaannya, ketika pakta
adidaya itu tidak ada pesaing, kenapa Amerika mempertahankan bahkan memperluas
NATO, dan paktanya terus dilakukan dengan menggabungkan negara-negara Eropa
Timur ke dalamnya, termasuk juga negara-negara lain. Misalkan Kaukasus,
kemudian diajak untuk bergabung," ungkap mengajak audiens berpikir.
Sambung Budi lagi, tujuan NATO
setelah itu bukan lagi menghadapi Blok Timur yang telah runtuh, tetapi berubah
menjadi alat untuk mencengkram negara-negara pesaingnya di Eropa agar tetap
dalam pengaruh Amerika Serikat.
"Tujuan NATO itu tidak lagi
diorientasikan untuk menghadapi Blok Timur, tetapi justru untuk mencengkram
negara-negara super power, negara-negara dengan kekuatan militer yang
besar seperti Inggris misalkan, kemudian Prancis dan Jerman. Makanya kemudian
orientasi NATO itu sudah berubah menjadi alat untuk mencengkram pesaing-pesaing
Amerika." Tegasnya.
Aktivis Muslim itu juga menyoroti
bagaimana negara-negara kecil memanfaatkan pakta militer sebagai strategi
perlindungan.
"Kenapa Indonesia takut
dengan Singapura yang kecil? Karena Singapura punya kerjasama militer dengan
negara-negara besar. Kalau Indonesia berhadapan dengan Singapura, kita tidak
hanya melawan Singapura, tetapi juga sekutunya. Jadi ada keuntungan buat
negara-negara kecil gabung ke pakta militer itu untuk mengamankan posisinya
dari ancaman negara lain." paparnya.
Selain itu ia turut membahas
tentang pakta militer bukan hanya alat perang, tetapi juga digunakan untuk
memperluas dan memperkuat hegemoni negara adidaya di berbagai kawasan. “Pakta
semacam ini lebih bersifat sebagai alat politik untuk menjaga keseimbangan
kekuatan di tingkat global,” lugasnya.
"Kita harus baca tentang
konstelasi internasional itu adalah pakta-pakta militer yang memang dalam
konteks memperkuat hegemoni yang sudah ada. Jadi pakta yang diadakan adalah
untuk menentang kekuatan lain sekiranya ada potensi lawan. Kemudian pakta ini
juga menjadi sarana untuk menjaga keseimbangan kekuatan dan memastikan
negara-negara tetap berada dalam pengaruh negara adidaya," jelasnya.
Ia memberikan contoh, perjanjian
militer yang dibuat oleh Amerika dengan berbagai negara di Timur Tengah,
Afrika, dan Asia sering kali lebih menguntungkan negara adidaya dibandingkan
negara yang bergabung.
"Ada perjanjian-perjanjian
militer antara negara adidaya dengan negara kecil yang tidak dianggap sebagai
alat konflik internasional secara langsung, tetapi justru sebagai alat untuk
memperkuat dominasi negara adidaya," tambahnya.
Jenis Negara
Sebagai tambahan, dalam konteks
politik internasional pula, Budi menyebutkan bahwa negara dapat dikategorikan
menjadi empat jenis, yakni negara adidaya, negara independen, negara satelit,
dan negara pengikut.
"Negara satelit itu seperti
Jepang terhadap Amerika. Jepang itu Amerika dalam bentuk lain, mengikuti
kebijakan ekonomi dan luar negeri Amerika," ungkapnya.
Sementara itu, ujarnya, negara
pengikut seperti Indonesia lebih fleksibel dalam berhubungan dengan berbagai
kekuatan besar.
"Indonesia itu negara
pengikut, bukan satelit. Indonesia bisa ke Amerika, bisa ke Inggris, bisa ke
Cina, tergantung siapa yang lebih dominan memengaruhinya," katanya.
Kesimpulannya, agar tatanan
politik internasional lebih adil, dibutuhkan kekuatan global yang mendasarkan
kebijakannya pada nilai-nilai Islam, guna mengatasi atau menanggulangi dominasi
kepentingan hegemonik negara adidaya yang ada saat ini.
"Pakta politik internasional
dikendalikan oleh negara adidaya. Oleh karena itu, penting menghadirkan adidaya
yang lebih adil dan memiliki nilai-nilai Islam, agar dunia tidak terus-menerus
dikuasai oleh kepentingan hegemonik semata," tutupnya.[] Aliya Ab Aziz