TintaSiyasi.id -- Publik Indonesia digegerkan dengan penemuan pagar laut yang membentang sekitar 30,16 kilometer di kawasan Tanjung Pasir, Kabupaten Tangerang, Banten. Dan kini persoalan pagr laut ini telah memasuki babak baru usai terungkapnya surat hak guna bangunan (SHGB) dan surat hak milik (SHM) yang berada di wilayah perairan utara Jakarta tersebut.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mengungkapkan pemilik bidang tanah di area pagar laut tersebut adalah perusahaan PT Intan Agung Makmur dan PT Cahaya Inti Sentosa. PT Intan Agung Makmur memiliki 234 bidang tanah PT Cahaya Inti Sentosa sebanyak 20 bidang tanah. Selanjutnya sembilan bidang tanah atas nama perorangan. Sebanyak 17 bidang tanah lagi diterbitkan SHM. Ada juga SHM, surat hak milik, atas 17 bidang,” kata Nusron di Kementerian ATR, Senin lalu. “Lokasinya juga benar adanya sesuai aplikasi Bhumi, yaitu di Desa Kohod dan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang.”“Ada juga SHM, surat hak milik atas 17 bidang,” kata Nusron dalam konferensi pers di Kementerian ATR/BPN pada Senin, 20 Januari 2025. “Lokasinya juga benar adanya sesuai aplikasi Bhumi, yaitu di Desa Kohod, Pakuhaji, Kabupaten Tangerang.”
Dalam pemberitaannya Menteri ATR/BPN Mencabut 50 SHGB dan SHM Pagar Laut Tangerang Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nusron Wahid secara resmi mencabut sebagin status penerbitan sertifikat hak guna bangunan (SHGB) dan sertifikat Hak Milik (SHM) yang berada di kawasan perairan Tangerang. Salah satu yang telah dicabut ialah SHGB yang dibangun pagar laut milik PT Intan Agung Makmur (IAM) di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaj Kabupaten Tangerang, Banten, karena dinyatakan telah melanggar ketentuan yuridis. Maka dari itu secara otomatis di status penerbitan sertifikat tersebut dapat dicabut dan dibatalkan. Namun sebagian yang SHGB masih ada yang belum dicabut sebab disebut sedang dalam proses pengecekan.
Menariknya dua Perusahaan Pemilik SHGB di Laut Tangerang Melibatkan Bekas Menteri KKP dan Wakil DPD RI. Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2004-2009 Freddy Numberi, dan Mantan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) 2019-2024 Nono Sampono diduga menjadi salah satu petinggi perusahaan yang menguasai Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) di pagar laut Tangerang. Nono Sampono diduga menjadi Direktur Utama PT Cahaya Inti Sentosa yang menguasai 20 bidang kepemilikan tanah. Sementara Freddy Numberi menjadi komisaris di PT Intan Agung Makmur dan PT Cahaya Inti Sentosa. Jabatan Freddy ini tercatat dalam Akta Hukum Umum (AHU) kedua perusahaan tersebut.
Sementara itu Agung Sedayu Group Akui Anak Usaha Punya HGB di Wilayah Pagar Laut Tangerang Agung Sedayu Group (ASG) bahwa Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) pagar laut di perairan Kabupaten Tangerang, Banten adalah milik anak usaha mereka, PT Cahaya Intan Sentosa (CIS) dan PT Intan Agung Makmur (IAM). Namun, perusahaan milik taipan Sugianto Kusuma alias Aguan itu mengklaim mendapatkannya sesuai prosedur. Kuasa hukum Agung Sedayu Group, Muannas Alaidid, menjelaskan bahwa kepemilikan SHGB atas nama anak perusahaannya itu tidak mencakup keseluruhan luasan pagar laut sepanjang 30,16 kilometer (km)."SHGB di atas sesuai proses dan prosedur. Kita beli dari rakyat SHM (sertifikat hak milik)," katanya seperti dikutip Antara, Jumat, 24 Januari 2025.
Mari kita bedah dan bongkar bersama apa motif jahat dan akar masalah di balik kemunculan pagar laut ini? Adakah skenario besar untuk menyelamatkan kepentingan Aguan, di balik lambannya penyelesaian kasus. Dan solusi apa yang mampu melepaskan negeri ini d888ari kendali dan privatisasi/keserakahan oligarki?
Kendali Oligarki Makin Menggila
Makin babak belur! Korupsi merajalela, kemiskinan kian meningkat, penerapan hukum suka-suka bengis kepada rakyat kecil namun lembek pada yang berduit, limpahan sumber daya alam (SDA) ramai-ramai diserahkan ke tangan swasta pengembang rakus yang tidak ada kata puas dalam kamus mereka. Itulah potret dan wajah Indonesia negeri tercinta kita saat ini. Pergantian pemimpin yang baru seumur jagung nampaknya justru membawa huru-hara baru juga, alih-alih melakukan perubahan seperti janji manis yang mereka taburkan semasa kampanye. Demikian juga kelakuan para pejabatnya yang digaji oleh rakyat mengabdi bukan kepada negara, tapi kepada para pemilik kepentingan atas negeri ini, ya kepada mereka oligarki! Siapa oligarki? Sekelompok elit penguasa dan pengusaha yang kendalikan negara untuk kepentingan bisnis dan kekuasaan. Undang-undang dibuat untuk memuluskan ambisi dan kepentingan mereka adapun kepentingan rakyat dibelakangkan. Semua ini terjadi tentu karena ada legalitas oleh kekuasaan. Kekuasaan mempunyai relasi khusus dengan perusahaan-perusahaan besar pengendali yang dikenal dengan korporasi. Hubungan erat korporasi dengan kekuasaan ini disebut korporatokrasi (John Perkins, 2004, Confessions of Economic Hitman), yaitu kekuasaan yang dikontrol oleh beberapa korporasi besar. Mereka dapat membeli kebijakan pemerintahan untuk mewujudkan ambisi bisnisnya, nah mereka inilah biasa juga disebut oligarki. Modus operasinya yakni penguasa dan pengusaha "kong kalikong" dengan berbagi peran untuk merampok aset negara, mencuri APBN ataupun menguasai sejumlah SDA.
Dalam konteks kasus pagar laut ini, PIK-2 adalah potret "kong kalikong" penguasa dan pengusaha. PIK-2 merupakan bentuk kongkret kolaborasi penguasa dan pengusaha. Buktinya PIK-2 dijadikan PSN (Proyek Strategis Nasional), dengan menjadi PSN maka ada konsesi-konsesi yang bisa diambil dari negara. Selanjutnya, diterbitkannya area laut di dalam pagar yang panjangnya 30,16 KM dengan SHM dan SHGB-nya. Logikanya hal tersebut tidak mungkin terealisasi tanpa kolaborasi penguasa dan pengusaha. Setelah publik secara masif mempermasalahkannya, mulai satu persatu "kong kalikong" oligarki ini terbongkar ke permukaan. Nyatanya pemagaran laut tidak ada ijin SHM dan SHGB namun diterbitkan secara ilegal. Penting untuk diperjelas, masalah pagar laut dan serifikat laut ini tidak hanya terjadi di Desa Kohod saja akan tetapi Pagar laut yang membentang hingga 30,16 KM di sepanjang laut Tangerang ini juga meliputi sejumlah desa dan kecamatan lainnya seperti: Kecamatan Kosambi, Kecamatan Teluk Naga, Desa Paku Haji, dan Kecamatan Mauk. Tidak berhenti sampai di situ, terbongkarnya pagar laut di perairan utara Jakarta ini ikut membongkar sejumlah pagar laut di wilayah lainnya, seperti pagar laut di Surabaya dan Bekasi yang ternyata juga sudah mulai dibuka. Yang terbaru, reklamasi di dekat Pulau Pari Kepulauan Seribu juga mulai dibongkar netizen melalui videonya yang viral di media sosial. Namun penting untuk dipahami lebih mendalam kisruh kemunculan pagar laut ini hanyalah satu dari sekian banyak wujud kejahatan korporasi oligarki yang sudah lama bercokol di negeri ini, sebab kejahatan mereka bukan hanya terjadi di laut saja, melainkan juga terjadi di daratan, hutan dan pertambangan. Kejahatan proyek PIK ini adalah manifestasi kejahatan mereka di daratan. Dalam realisasinya PIK-2 telah merampas tanah rakyat, sungai, jembatan, jalan dan hak publik lainnya yang telah mereka halalkan untuk memperbesar bisnis/perusahaan mereka.
Aroma Penyelamatan Oligarki oleh Penguasa
Kini publik masih terus menunggu gerak cepat pemerintah untuk mengusut, membongkar secara tuntas dan transfaran hingga mempidanakan semua pelaku kasus pagar laut ini. Namun nyatanya sampai hari ini perkaranya justru menjadi semakin rumit karena begitu tercium aroma-aroma skenario penyelamatan penguasa atas para pelaku yang terlibat dalam skandal pagar laut. Maka tidaklah berlebihan jika penulis dapat menyimpulkan adanya upaya sistematis untuk melindungi atau menyelamatkan pelaku intelektual di balik kasus ini. Hal tersebut berdasarkan dari beberapa indikator yang dapat dilihat melalui berita dan banyak media yang terakses, yakni:
Pertama, drama pencabutan pagar laut dilakukan setengah-setengah dan hanya bersifat formalitas guna mendapatkan simpati dan euforia masyarakat untuk mengesankan pemerintah telah bekerja atas kasus ini, alih-alih tercabutnya semua pagar secara keseluruhan.
Kedua, tarik ulur dan saling lempar tanggung jawab hukum atas pagar laut dan sertifikat yang dinyatakan illegal alih-alih menginvestigasi tegas dan mengumumkan ke publik siapa aktor intelektual dan pihak-pihak yang terlibat dan mendapat manfaat dari proyek ini. Ketiga, Negara melalui Menteri ATR BPN - Nusron Wahid secara tiba-tiba mengubah jumlah SHGB & SHM Pagar Laut menjadi 50 SHGB dan SHM padahal sebelumnya telah dirilis di Desa Kohod ada 263 SHGB dan 17 SHM diatas laut. Lalu sisa ratusan serifikat lainnya tanpa kejelasan ada di mana! Di sisi lain sejumlah pejabat sibuk buang badan dan saling menyangkal dengan alasan bukan menjadi kewenangannya. Bahkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sampai hari ini masih terlihat ikut membungkam.
Hal lain yang membuat publik jadi tergelitik adanya pembelaan dari kalangan pemuka agama organisasi tertentu, yang sering tampak memiliki relasi khusus dengan kekuasaan, alih-alih mencegah kedzaliman dia malah nyatakan dukungan dengan dalih penghidupan tanah mati atau terlantar, padahal jelas-jelas ada banyak korban (masyarakat) penduduk yang secara yakin dan mengaku tanahnya telah direbut paksa dan dibayar murah untuk proyek PIK-2.
Inilah alasan kuat atas dugaan adanya skenario penyelamatan para pelaku oleh penguasa, alih-alih Negara hadir menindak dan berfikir untuk menyelesaikan masalah hingga ke akarnya sebagaimana yang sering didengungkan selama ini bahwa negara tidak boleh kalah, namun pertanyaannya sekarang negara tidak boleh kalah sama siapa? Bukankah seharusnya ini adalah moment terbaik pembuktian kepada publik bahwa negara tidak boleh kalah dengan oligarki, namun pada faktanya yang terjadi adalah negara sangat lemah dan tiada bertaji jika berhadapan dengan keserakahan oligarki, bahkan justru terkesan negara malah melindungi.
Kapitalisme Sistem Biang Kerok dan Surganya bagi Oligarki
Dalam pandangan Islam, laut dan air merupakan harta milik umum/publik maka idealnya haruslah dikelola oleh negara dan manfaatnya dikembalikan lagi ke publik atau untuk kepentingan seluruh rakyat, bukan untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu. Harta publik yang mencakup berbagai barang dan jasa yang menguasai hajat hidup rakyat, seperti air, listrik, jalan umum hingga barang tambang yang depositnya besar seperti minyak mentah, gas dan batu bara haram hukumnya dipindah tangankan kepada swasta atau diprivatisasikan kepada para pemilik modal untuk keuntungan pribadi dan kelompoknya.
Namun, seiring dengan menguatnya pemikiran dan hegemoni sistem ekonomi neoliberalisme, yang dinaungi oleh sistem sekuler demokrasi kapitalisme, privatisasi harta milik publik ini menjadi lazim di banyak negara, termasuk Indonesia yang menjadi surganya para kapitalis oligarki. Bahkan kini privatisasi kepemilikan umum ini sudah merambah ke tangan ormas-ormas keagamaan. Praktis, nasib individu dan negara akhirnya dialihkan kepada perusahaan dan eksekutif swasta yang sejatinya tidak pernah dipilih oleh rakyat. Inilah wajah sesungguhnya dari peradaban kapitalisme neoliberal, yang melandaskan ekonominya pada permodalan swasta dan privatisasi sektor vital, termasuk menjadi biang kerok atas kasus kemunculan pagar laut yang senyatanya adalah wujud keserakahan oligarki yang dilegalisi oleh kekuasaan di negeri ini. Maka kedaulatan di tangan rakyat yang acap kali didengungkan selama ini sesungguhnya hanyalah bualan politik semata, sebab pada realitanya kedaulatan negeri ini sesungguhnya berada di tangan para pemilik modal/oligarki.
Senyatanya privatisasi swasta/oligarki dalam sektor-sektor vital milik umum yang sudah lama dijalankan di negeri ini, telah banyak membawa dampak buruk dalam berbagai aspek kehidupan. Di antaranya, pertama dampak politik: Penguasaan oligarki atas harta milik publik ini sering kali menjadi jalan bagi mereka untuk mengontrol berbagai keputusan politik di negeri ini, mereka yang disebut sebagai oligarki tersebut mampu mempengaruhi kebijakan/keputusan-keputusan politik, termasuk mengatur kepemilikan dan pemanfaatan kekayaan milik publik, contoh kongkretnya pada sektor laut di Tangerang yang menjadi bancakan taipan dengan PIK-2-nya yang secara aktual dijadikan Proyek Strategis Nasional (PSN). Maka terang saja manfaat yang dihasilkan dari proyek ini akan lebih menguntungkan Aguan dan Anthoni Salim selaku pemilik proyek bukan untuk kepentingan rakyat luas.
Kedua, dampak ekonomi: penguasaan harta milik umum oleh swasta/oligarki ini juga menjadi salah satu penyebab konsentrasi kekayaan dan memperdalam jurang kesenjangan antara yang kaya dan miskin. Sebab privatisasi harta publik ini jelas akan lebih menguntungkan mereka sebagai pemilik modal sehingga dapat mengakumulasi lebih banyak kekayaan, di sinilah ketimpangan pendapatan menjadi semakin tinggi. Di Indonesia sendiri, privatisasi harta milik publik/umum banyak dilakukan pada sektor pertambangan dan kehutanan, yang telah memberi keleluasaan para taipan-taipan sekaligus menjadi aktor- aktor di balik berbagai kebijakan politik. Sementara rakyat tidak dapat apa-apa dan kian ditekan oleh berbagai kebijakan dan kewajiban membayar pajak sebab negara hanya mendapatkan sekelumit saja dari hasil kekayaan alam yang telah diprivatisasi oleh swasta. Negara kebagian dalam bentuk pajak penghasilan dan royalti yang persentasenya relatif kecil dari swasta, sisanya masuk ke kantong para pemilik modal/saham. Belum lagi, ada banyak drama manipulatif yang dilakukan perusahaan-perusahaan besar itu dalam menghindari pajak, baik dengan melakukan manipulasi laporan pajak, memindahkan keuntungan ke Negara dengan pajak rendah (tax haven), atau menyuap petugas pajak, sehingga pajak yang mereka setorkan lebih rendah dibandingkan dengan yang seharusnya.
Ketiga, dampak sosial: ketimpangan sosial juga tidak bisa terhindarkan ketika harta milik umum ini diprivatisasikan, wujudnya adalah para oligarki menjadi kelompok terkaya dan berkuasa yang mendapatkan keuntungan berlimpah. Namun sebaliknya penduduk yang berada di sekitar perusahaan hanya berharap dari tetesan anggaran Pemerintah, atau paling tinggi hanya dijadikan buruh dan kuli kasar dalam pengelolaan dan oprasionalnya. Selain dari itu penguasaan harta milik umum oleh swasta juga sering berdampak pada kenaikan harga barang dan jasa, yang otomatis akan menambah beban masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah yang berpenghasilan rendah. Tidak berhenti sampai di situ di beberapa lokasi perusahaan seperti tambang batu bara, pembakaran hutan dan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, ataupun limbah dari perusahaan-perusahan tambang seringkali menimbulkan masalah polusi yang berdampak kepada kesehatan masyarakat, hingga masalah kerusakan lingkungan. Itulah sederet fakta betapa posisi oligarki di negeri ini begitu di atas dan berkuasa dalam segala sektor; politik, ekonomi, sosial, hukum dan keadilan.
Sistem Islam sebagai Solusi dan Menyelamatkan
Walhasil dari penjabaran di atas dapat kita pahami betapa bathilnya konsep pengelolaan harta milik umum dalam sistem kapitalisme demokrasi, yang secara nyata telah memberikan segudang kemudharatan bagi masyarakat dan negara. Maka dari kesadaran ini seyogyanya sudah saatnya kita mengambil atau menggantinya dengan sistem yang shahih, yaitu sistem Islam. Sebab hanya sistem Islam yang memposisikan Negara sebagai pihak yang berwenang dan wajib mengelola harta kepemilikan umum sepenuhnya untuk kemaslahatan/kepentingan rakyat.
Dalam Islam, barang-barang yang tampak (zhahir) seperti tanah, garam, air, batu bara, minyak bumi, sulfur dan sejenisnya merupakan barang milkiyyah ‘ammah/milik umum. Seluruh kaum Muslim berserikat (sama-sama memiliki andil dan hak) di dalamnya. Oleh sebab itu, kesemuanya tidak boleh dimiliki secara pribadi atau diserahkan kepada pihak mana pun dan dengan alasan apapun, terlebih-lebih dapat mengakibatkan malapetaka bahaya dan kesulitan bagi banyak orang. Negara wajib mengatur produksi dan distribusi aset-aset tersebut untuk pemenuhan kebutuhan hidup rakyat, khususnya dalam hal kebutuhan kesehatan, pendidikan dan keamanan.
Rasulullah Saw. bersabda: “Kaum Muslim itu berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api." (HR Abu Dawud)
Dalam riwayat lain Rasul Saw. juga menegaskan bahwasanya beliau melarang seseorang menguasai atau memiliki jalan umum dan mengijinkan semua orang untuk sama-sama memiliki hak (andil) di dalamnya. Mina, ’Arafah, Muzdalifah serta jalan-jalan yang menjadi lalu lintas jamaah haji adalah milik umum. Sebab, tabiatnya mencegah individu untuk menguasainya.
Cara pengelolaan kepemilikan umum dalam Islam khususnya laut yang dilakukan oleh negara dapat dilakukan dengan dua cara:
Pertama, pemanfaatan secara langsung oleh masyarakat umum. Air dan hasil-hasil laut dapat diambil secara langsung oleh setiap individu. Baik untuk dikonsumsi atau dijual, namun dalam konteks ini negara tetap mengawasi pemanfaatan milik umum ini agar tidak menimbulkan kemadaratan bagi masyarakat luas. Kedua, pemanfaatan di bawah pengelolaan Negara. Kekayaan alam dalam laut yang tidak dapat dijangkau oleh masyarakat karena membutuhkan keahlian, teknologi tinggi, serta biaya yang besar seperti minyak bumi, gas alam dan atau barang tambang yang mengedap di bawah laut dan lainnya harusnya dikelola oleh negara. Negaralah yang berhak untuk mengelola dan mengeksplorasi bahan tersebut. Hasilnya dimasukkan ke kas Baitul Mal. Khalifah berwenang mendistribusikan hasil tambang dan pendapatannya sesuai dengan ijtihadnya demi kemaslahatan umat. Negara tidak boleh mengambil keuntungan dengan menjualnya kepada rakyat, jikapun harus menjualnya maka hanya sebatas biaya produksi dengan harga semurah-murahnya jika itu untuk konsumsi rumah tangga. Namun negara diperbolehkan menjualnya ke luar negeri dan mencari keuntungan semaksimal mungkin yang hasilnya dikembalikan lagi untuk kepentingan rakyat dalam bentuk uang, barang, atau untuk membangun sekolah-sekolah gratis, rumah-rumah sakit gratis, dan pelayanan umum lainnya.
Adapun munculnya alasan untuk menghidupkan tanah mati yang tidak terurus atau terlantar, maka dalam Islam Tanah-tanah semacam ini akan dikelola sepenuhnya oleh Khalifah berdasarkan pendapat dan ijtihadnya bukan dengan~ diserahkan kepada kelompok atau pihak tertentu, dan tentu saja dengan tetap memperhatikan kemashlahatan kaum Muslim. Khalifah diperbolehkan memberikan tanah-tanah seperti ini kepada individu. Bisa juga Khalifah memberikan hak guna atau hak pemanfaatannya kepada seseorang atau sekelompok orang. Khalifah juga berhak memberikan ijin kepada seseorang untuk menghidupkan tanah-tanah tersebut.
Hal itu didasarkan pada hadist Rasulullah Saw. berikut:
”Rasulullah Saw. pernah memberi Bilal bin Harits al-Mazani tanah ini dan itu dari tempat ini hingga tempat itu. Di dalamnya ada gunung dan tambang." (HR Abu ’Ubaid).
Sementara terkait tanah-tanah milik individu agar tidak menjadi korban keserakahan oligarki seperti yang terjadi pada masyarakat di sekitar proyek PIK-2 di Banten, maka negara di dalam Islam akan memberikan proteksi kepada setiap individu yang memiliki tanah. Negara menerbitkan sertifikat kepemilikan tanah kepada pemilik tanah, untuk memudahkan pemanfaatan tanah oleh pemiliknya, sekaligus melindungi dari para penjarah. Pengklasifikasian kepemilikan tanah menjadi milik umum, negara dan individu tidak saja memberikan kepastian kepemilikan. Hal demikian juga akan mencegah penguasaan dan pemanfaatan tanah-tanah oleh segelintir orang, khususnya pada tanah-tanah milik umum dan negara.
Dengan demikian sudah saatnya umat untuk segera menentukan keputusan untuk menyeru negara dan pemerintah agar mengambil dan menerapkan jalan Islam, hingga negeri ini benar-benar bisa terlepas dari kendali dan keserakahan oligarki. Selain juga akan membawa negeri ini menuju keselamatan dan kesejahteraan dunia sampai akhirat. []
Oleh: Liza Burhan
Aktivis Muslimah