TintaSiyasi.id -- Sudah sepantasnya negara memiliki kewajiban dalam menjamin kesehatan dan gizi masyarakat. Kekurangan gizi kronis yang menyebabkan stunting merupakan gangguan kesehatan akibat asupan gizi yang tidak mencukupi. Masalah ini telah lama ada di tengah masyarakat, sehingga negara harus serius dalam mencegah dan mengatasi masalah krusial ini. Sebagai bentuk respons atas permasalahan tersebut, negara menghadirkan program MBG (Makan Bergizi Gratis) untuk mencegah stunting.
Program ini seolah menjadi harapan besar dari kepemimpinan baru. Janji kampanye ini tampak begitu baik di mata masyarakat. Namun, di balik retorika tersebut, kita perlu melihat dengan saksama apakah MBG benar-benar menyelesaikan masalah kekurangan gizi anak secara tuntas atau hanya menjadi solusi tambal sulam lainnya.
Beberapa daerah telah melaksanakan agenda MBG. Namun, masih ada keluhan karena belum semua anak dapat merasakan manfaatnya. Presiden pun mengakui bahwa belum semua anak dapat menikmati program ini secara serentak. Pemerintah menargetkan bahwa pada akhir 2025, sebanyak 82,9 juta anak akan menerima manfaat program ini (Kontan.co.id). Sebagai megaproyek nasional dalam upaya perbaikan gizi anak Indonesia, negara seharusnya memperhatikan kelayakan konsumsi yang diberikan. Namun, insiden keracunan yang dialami 40 siswa SD Negeri Dukuh 03 di Sukoharjo setelah menyantap makanan dari program ini justru menimbulkan kekhawatiran (Kompas.com).
Fakta lain yang membayangi program ini adalah pembiayaan yang tidak memadai. Diperkirakan, untuk mengimplementasikan program ini secara nasional, negara membutuhkan pendanaan sekitar Rp100 triliun. Setelah sebelumnya mengusulkan penggunaan dana zakat hingga dana hasil korupsi, kini muncul usulan untuk menggunakan dana tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility / CSR) (Tempo.com).
Permasalahan yang muncul sejatinya menunjukkan ketidakseriusan negara dalam mengurus rakyat. Penyelenggaraan megaproyek ini tampak lebih sebagai program pencitraan. Anggaran yang sebelumnya sebesar Rp15.000 per anak kini dipangkas menjadi Rp10.000. Ketidakpastian negara dalam hal pembiayaan semakin memperjelas ketidaksiapan pemerintah dalam menjalankan program ini. Masalah gizi dan angka stunting tidak akan dapat diselesaikan hanya dengan program ini, karena akar permasalahannya belum dituntaskan. Alih-alih memprioritaskan rakyat, program ini justru diduga lebih menguntungkan korporasi.
Dalam sistem kapitalisme, keuntungan menjadi prioritas utama. Hal ini membuka peluang bagi pemerintah untuk bekerja sama dengan pihak swasta dalam pelaksanaan program MBG. Akibatnya, perhatian terhadap standar kualitas gizi dapat teralihkan, sementara aspek bisnis dan keuntungan lebih diutamakan. Celah korupsi pun berpotensi muncul, baik dalam proses produksi maupun distribusi.
Kecukupan gizi seharusnya dianalisis secara komprehensif berdasarkan aspek keilmuan. Pemberian makan hanya satu kali sehari pada waktu yang telah ditentukan tidak akan memenuhi kebutuhan nutrisi anak secara optimal. Setiap anak memiliki berat badan, tinggi badan, serta aktivitas yang berbeda, sehingga perhitungan kebutuhan gizinya juga harus disesuaikan secara rinci. Pengontrolan asupan gizi berdasarkan faktor-faktor ini perlu diperhatikan, karena tidak semua anak memiliki kebutuhan gizi yang sama. Dengan anggaran Rp10.000 per anak untuk sekali makan, jelas bahwa program ini tidak akan optimal dalam menyediakan sumber nutrisi yang mencukupi, terutama jika mempertimbangkan perbedaan harga bahan pokok di setiap daerah. Maka, perhitungan anggaran ini perlu disesuaikan agar program benar-benar efektif.
Pandangan Islam terhadap Pemenuhan Gizi dan Kesejahteraan Rakyat
Dalam Islam, pemimpin sejati akan menjalankan tugasnya berdasarkan syariat. Ia akan bergerak dengan landasan keimanan, memahami bahwa kepemimpinan adalah amanah untuk menjadi ra’in (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi rakyat. Oleh karena itu, setiap kebijakan yang diambil akan berorientasi pada kemaslahatan umat dan pembangunan peradaban Islam.
Negara bertanggung jawab dalam memastikan ketersediaan serta penjaminan kebutuhan pokok bagi masyarakat. Setiap kepala keluarga akan dijamin agar mampu memenuhi perannya dalam pemenuhan kebutuhan pokok, sementara negara akan memfasilitasi dengan membuka peluang kerja. Selain itu, penjaminan makanan bergizi bagi setiap individu juga harus dilakukan.
Sistem ini pernah diterapkan pada masa Kekhalifahan Utsmaniyah, di mana dapur umum didistribusikan ke pengurus masjid, guru, murid, serta penduduk lokal yang membutuhkan. Negara juga menjamin pelayanan pendidikan, keamanan, dan kesehatan secara gratis, dengan dana yang diambil dari baitul mal.
Allah SWT berfirman:
"Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk menguasai orang-orang beriman." (QS. An-Nisa’: 141)
Dalam sistem Islam, negara tidak akan bergantung pada pihak asing. Pemimpinnya akan membangun ketahanan pangan serta sistem distribusi yang menjangkau seluruh wilayah. Pemanfaatan sumber daya alam (SDA), seperti tambang, minyak, gas bumi, listrik, dan hutan, akan menjadi sumber pendanaan utama dalam Daulah Islamiyah. Selain itu, negara juga memiliki sumber dana lain, seperti fai’, ushr, kharaj, jizyah, dan zakat.
Jika negara berorientasi pada kemaslahatan generasi, kesejahteraan dan kemakmuran bukan lagi sekadar angan. Hal ini dapat terwujud dalam bingkai Khilafah Islamiyah.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
Oleh: Rola Rias Kania
Aktivis Dakwah Kampus