Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

LBH Pelita Umat: Yang Jadi Masalah Bukan Pencabutan Pagar, tapi Keberadaan Sertifikat Laut

Sabtu, 08 Februari 2025 | 07:30 WIB Last Updated 2025-02-08T00:31:44Z
TintaSiyasi.id -- Menyoroti mencuatnya kasus pemagaran laut, di Tangerang Banten, ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pelita Umat Chandra Purna Irawan, mengatakan, masalahnya bukan sekadar pencabutan pagar, tetapi keberadaan sertifikat di atas perairan laut.

"Ketika pagar bambu di laut itu dicabut bukan berarti persoalannya selesai. Karena yang menjadi persoalan utama itu adalah keberadaan sertifikat di atas perairan laut itu," tuturnya dalam live YouTube UIY Official: Pagar Laut, Bukti Oligarki Mencengkeram Negeri, Ahad (02/02/2025).
 
Ia menilai, meskipun demikian ada juga masyarakat yang menganggap bahwa persoalan tersebut selesai dengan pencabutan pagar laut.

"Bisa saja itu dianggap selesai bagi masyarakat tertentu. Misalnya nelayan dengan dicabutnya pagar bambu itu menjadi selesai persoalannya. Sehingga yang selama ini dia harus bernelayan menggunakan berputar-putar tapi dengan dicabut pagar laut itu dia tidak perlu berputar-putar lagi. Jadi persoalan berkaitan dengan nelayan itu sudah selesai, kan begitu," jelasnya.

Ia menambahkan bahwa proses pencabutan izin terhadap kepemilikan peraian laut tersebut selesainya tidak semudah membalikan telapak tangan dikarenakan sertifikat yang dimiliki oleh para pemilik modal mempunyai dasar hukum.

Ia menerangkan, proses terbitnya sertifikat di atas perairan itu ada dasar hukumnya. Dasar hukumnya ini diterbitkan pada masa pemerintahan presiden Joko Widodo, yaitu peraturan pemerintah nomor 18 tahun 2021. Peraturan ini adalah turunan dari undang-undang Cipta kerja, nah gitu loh. Jadi turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja itu keluarlah PP nomor 18 tahun 2021 itu.

"Nah, apa yang dimaksud bunyi dari pasal itu, isi bunyinya adalah pasal 65 ayat 2 PP 18 2021 yang isinya kurang lebih pada pokoknya sebagai berikut, pemberian hak atas tanah di perairan dapat dilakukan dengan rekomendasi dari KKP," lanjutnya.

Ia melanjutkan, ketika terbit sertifikat, pertanyaannya berarti sudah ada rekomendasi dari BPN ATR, tapi ATR BPN dapat menerbitkan kalau dapat surat rekomen rekomendasi dari KKP, kemudian kalau disebut apakah sah itu sertifikatnya," imbuhnya.

Ia menerangkan bahwa penerbitan sertifikat sudah direncanakan sebelum pemagaran laut tersebut terjadi dan melibatkan banyak pihak agar bisa mendapatkan persetujuan.

"Kalau saya mengutip pernyataan menteri ATR pak Nur Wahid ketika di DPR, beliau menyatakan secara administratif ini sudah lengkap, jadi sudah dilalui semua tahapan itu sehingga terbitlah sertifikat, pertanyaannya adalah gimana cara menghapuskannya karena mencabut sertifikat tidak semudah pak menteri ngomong saya cabut tidak bisa itu, harus melalui putusan pengadilan dan keputusan pengadilan nanti majelis hakim akan menyatakan ini sudah sesuai dengan peraturan", bebernya.

Lebih lanjut ia menyampaikan langkah konkret yang bisa dilakukan untuk membatalkan izin kepemilikan atas perairan laut itu agar tidak ada.

"Nah, oleh karena itu apa yang dapat dilakukan adalah, pertama, masyarakat bisa mengajukan uji materil di Mahkamah Agung berkaitan dengan peraturan pemerintah yang kemudian memberikan celah memberikan ruang bagi pihak siapapun untuk mengajukan proses penerbitan hak atas tanah di perairan," terangnya.

Kedua, yang paling cepat adalah mendesak pemerintah untuk mencabut atau kemudian mengubah norma-norma yang berada di dalam peraturan tersebut. "Supaya kemudian tidak ada peluang perairan itu di sertifikat, itu dilakukan," pungkasnya.[] Najwa Alifah

Opini

×
Berita Terbaru Update