Tintasiyasi.id.com -- Beragam cuitan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah bak gemuruh riuh di kala musim penghujan. Konon diberitakan oleh dosen Politeknik Negeri Tanah Laut, Kalimantan Selatan, Fatimah mengaku tidak menerima tunjangan kinerja sebagai pengajar universitas selama lima tahun.
Bagai sembilu menyayat hati, alih-alih mendapat solusi Fatimah justru harus berhadapan dengan kebijakan baru dari Kemendiktisaintek. Bahwa pada tahun 2025 ini pemerintahan Presiden Prabowo mengesahkan satu kebijakan untuk meniadakan Tukin (Tunjangan Kinerja) dosen (www.tempo.co, 8-1-2025).
Tidak sendiri, nasib malang Fatimah juga dialami oleh aliansi dosen ASN Kemendiktisaintek seluruh Indonesia yang protes dengan memberikan 60 karangan bunga ke kantor Kemendiktisaintek pada pekan lalu (www.kompas.com, 7-1-2025).
Pemerintah lalai dalam mengurusi pendidikan dalam negeri karena teralihkan dengan program makan gratis yang sebenarnya bukan solusi tuntas terhadap permasalahan rakyat. Kosongnya anggaran negara karena program makan gratis dan adanya perubahan nomenklatur tersebut berdampak pada ketiadaan tunjangan kinerja dosen tahun 2025 (www.tempo.co, 9-1-2025).
Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Jenderal Kementrian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Togar Mangihut Simatupang mengungkap bahwa tunjangan dosen sudah ada dalam regulasi Permendikbudriset No. 49/2020 (www.klikpendidikan.id, 6-1-2025).
Selain dosen, urusan perkuliahan mahasiswa juga dipersulit dengan banyak persyaratan administrasi pendaftaran KIP kuliah yang tersebar tidak merata serta tidak adil dalam kepengurusannya (www.kompas.com, 10-1-2025).
Himpitan Sistem Kufur
Miris, tunjangan dosen dihentikan karena alasan ketiadaan anggaran negara. Kebijakan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah tersebut menunjukkan betapa minimnya perhatian negara terhadap aspek pendidikan dalam negeri.
Bagaimana tidak? Hal tersebut tampak pada beban kehidupan yang dirasakan oleh segenap rakyat, terkhusus pendidik dan pelajar kian terasa karena kelalaian negara dalam menajalankan perannya sebagai pengurus rakyat.
Regulasi yang sudah tertuang dalam perundang-undangan negara juga ternyata tidak dapat menjadi acuan untuk mempertegas sebuah kebijakan yang akan diberlakukan ke tengah-tengah masyarakat. Hal tersebut menjadi bukti bahwa hukum buatan manusia itu tidak lebih dari sebuah formalitas belaka yang bisa ditarik ulur sesuka hati para petinggi negara.
Ketidaktepatan pemerintah dalam menentukan sebuah kebijakan telah mengorbankan nasib banyak orang. Sempitnya berkecimpung dalam dunia pendidikan tidak hanya dirasakan oleh para pendidik melainkan juga dirasakan oleh para mahasiswa.
Keterbatasan mahasiswa kurang mampu untuk mengakses beasiswa lantaran ketatnya syarat administrasi yang ditetapkan penerima KIP Kuliah 2025. Terdapat banyak mahasiswa yang membutuhkan beasiswa karena ketidakmampuan keluarganya dalam memenuhi biaya kuliah namun terkendala dengan aturan-aturan yang rumit.
Bahkan, penerima KIP Kuliah sering kali tidak tepat sasaran dan tersebar secara tidak merata lantaran seorang yang sebenarnya mampu justru malah memperoleh beasiswa tersebut.
Kelabu yang dirasakan oleh segenap rakyat saat sekarang tidak lain tidak bukan dikarenakan himpitan dari sistem kufur kapitalisme – sekuler. Kesempitan pada aspek pendidikan adalah buah dari kelalaian negara sekular.
Sistem yang senantiasa menjadikan materi duniawi sebagai tujuan utama hidup seorang manusia. Berasaskan pemisahan agama dari kehidupan, para penganutnya tidak akan segan melakukan segala cara guna meraih kepentingan-kepentingan pribadinya.
Hal tersebut terpampang nyata pada berbagai kebijakan di negeri ini yang hanya menuruti unjuk jari para pemilik modal. Sering kali keputusan atau kewenangan yang diberlakukan jauh dari kata peduli terhadap nasib rakyat. Maka tidak heran jika saat ini banyak dari golongan manusia yang hidup dalam kesengsaraan.
Kelapangan Diraih dengan Islam
Raibnya kesempitan, kesulitan, dan kerumitan yang dialami oleh segenap umat itu tergantung bagaimana Islam ditempatkan untuk mengatur kehidupan masyarakat.
Sebagaimana Allah SWT berfirman, “Siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit. Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha: 125).
Ayat tersebut menjelaskan betapa bahayanya ketika seorang manusia yang menjalani kehidupannya namun jauh dari aturan agama atau memisahkan ranah kehidupan mereka dengan ranah agama.
Dengan itu, Islam menyediakan seperangkat aturan yang sengaja disiapkan oleh sang pencipta untuk mengatur urusan hidup manusia dimuka bumi. Berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah, negara Islam memberikan jaminan kesejahteraan dan kecukupan pada kehidupan para pendidik.
Jerih payahnya dalam menjalankan peran mulia yang menyiapkan generasi pembangun peradaban akan dibayar kontan dengan sebuah penghargaan yang ditanggung oleh negara.
Sebagaimana pada masa kekhilafahan Abbasiyah yang dipimpin oleh Harun Al-Rasyid, upah tahunan seorang pendidik umum itu mencapai 2.000 dinar atau setara dengan kurang lebih 100 juta rupiah.
Selain itu, pendidikan berkualitas juga akan senantiasa diperuntukkan bagi seluruh umat. Negara akan mendorong umat untuk semangat dalam mengkaji ilmu, mengembangkan potensi, dan menggali keterampilan yang ada dalam diri mereka.
Negara akan berdiri secara independent dan mengelola pendapatan negara melalui sumber pemasukan yang beragam dan besar, pemerolehan keuntungan yang didapatkan oleh negara tidak lain tidak bukan guna mengutamakan dan melayani kebutuhan rakyat sesuai hukum syari’at. Dengan begitu, umat akan hidup penuh dengan kelapangan.[]
Oleh: Annisa Sukma Dwi Fitria (Aktivis Dakwah Kampus)