Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Guru Lalai Sekolah Korup: Analisis Kritis dan Solusi Paripurna

Jumat, 21 Februari 2025 | 16:58 WIB Last Updated 2025-02-21T09:58:28Z

TintaSiyasi.id -- Sebanyak 141 siswa SMAN 4 Karawang, Jawa Barat, menggelar aksi protes, Rabu (5/2/2025), lantaran gagal mendaftar Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP). Hal ini dituding sebagai akibat kelalaian sekolah dalam merampungkan pengisian Pangkalan Data Sekolah dan Siswa (PDSS). Encang, selaku salah satu perwakilan dari wali murid mengaku kecewa lantaran banyak siswa telah berupaya dan belajar demi mendapatkan jalur masuk perguruan tinggi melalui nilai rapor. Adapun dari hasil konfirmasi dengan pihak sekolah, dikatakan kendala utama dalam proses pendaftaran adalah gangguan jaringan serta ketidaksesuaian data Nomor Induk Siswa Nasional (NISN) dan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Sejumlah 101 siswa dari jurusan MIPA dan 40 dari jurusan IPS terdampak dalam kasus ini.

Sementara di sekolah yang berbeda, publik juga diramaikan oleh pengungkapan dugaan pemotongan atau penyimpangan anggaran Program Indonesia Pintar (PIP) yang dilakukan oleh konten kreator Ronald Aristone Sinaga atau lebih populer disapa BroRon di sejumlah sekolah di Karawang. Walhasil kekisruhan adanya dugaan penyimpangan penyaluran Dana Program Indonesia Pinter (PIP) di Kabupaten Karawang kian bergejolak. Anehnya dalam upaya mengungkap dugaan penggelapan penyaluran PIP di Karawang, khususnya di SMPN 1 Kutawaluya, konten kreator Bro Ron mendapat banyak kecaman dari PGRI Karawang hingga dilaporkan ke Polres Karawang atas dugaan penghinaan terhadap para guru. Sikap yang sangat disayangkan juga ditampakkan oleh DPRD Karawang yang dinilai masa bodo dan tidak peduli terhadap dugaan penggelapan dana PIP, walau secara fakta jelas-jelas telah banyak merugikan para siswa. DPRD Karawang dinilai lambat merespon gejolak yang terjadi di masyarakat, apalagi masalah PIP ini sudah mengangkut kepentingan banyak siswa.

Selanjutnya yang tak kalah mencengangkan yakni adanya dugaan penyalahgunaan dana pendidikan ini juga dilakukan oleh kepala sekolah SMPN 2 Kutawaluya berinisial OR yang resmi dilaporkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Karawang oleh Law Office Alek Safri Winando and Partners. OR diduga terlibat dalam korupsi dana Program Indonesia Pintar (PIP) siswa SMPN 1 Kutawaluya serta praktik pungutan liar (pungli) dalam partisipasi dan pelepasan siswa di SMPN 2 Kutawaluya. Tak pelak dugaan korupsi dana PIP dan pungli di SMPN 2 Kutawaluya ini menjadi sorotan tajam dari publik, mengingat dana tersebut ditujukan untuk membantu siswa dari keluarga kurang mampu. Lebih dari sekadar pungli, OR juga diduga menyelewengkan dana PIP siswa SMPN 1 Kutawaluya saat masih menjabat sebagai kepala sekolah di sana pada 2020-2021. Dana yang bersumber dari APBN dan seharusnya diterima siswa dari keluarga kurang mampu ini justru dia pakai untuk kepntingan pribadinya yang mengakibatkan kerugian negara.


Sebuah Ironi

Serangkaian kasus di muka sungguh telah menyisakan lubang besar mengangah dalam dunia pendidikan kita, dari mulai bentuk-bentuk kelalaian hingga perilaku korup lainnya para pendidik dan pihak sekolah secara umum yang berujung merugikan para siswa, maka tentu ini bukanlah suatu hal yang bisa dianggap sederhana tapi adalah masalah serius yang harus mendapatkan atensi hingga sesegera mungkin diatasi. Protes siswa dan wali murid hingga melibatkan pihak dari luar dari sekolah/masyarakat umum ini tentu saja adalah bentuk kekecewaan atas kinerja sekolah, guru, kepsek dan semua komponen yang terlibat khususnya dalam pengurusan data ataupun penyalahgunaan dana pendidikan. Sungguh sebuah ironi, melihat realita kualitas lembaga-lembaga pendidikan/sekolah di negeri ini yang nyatanya makin tampak tidak sejalan dengan tujuan pendidikan yang selama ini selalu didengungkan dalam bait perundang-undangan, berbagai bentuk permasalahan di lembaga pendidikan dari tingkat bawah hingga atas negeri ini bagai benang kusut yang sudah sulit untuk dilerai/diatasi.

Seperti diketahui, SNBP adalah seleksi masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) berdasarkan nilai rapor semester 1 sampai 5. Dalam programnya eligible SNBP diperuntukkan bagi siswa yang berprestasi untuk diikutsertakan dalam SNBP agar bisa lolos masuk PTN tanpa tes sama sekali. Namun sebelum para siswa mendaftar, pihak sekolah yakni guru yang ditugaskan harus menginput data serta kelengkapan para siswa eligible. Sayangnya, sejumlah SMA Negeri yang guru-gurunya telah diberikan tugas tersebut justru lalai sehingga ratusan siswa tidak bisa mengikuti SNBP tahun ajaran 2024/2025 dengan berbagai alasannya, hingga harus diberi waktu perpanjangan untuk pendaftaran. Demikian juga dengan kasus-kasus pungutan liar dan penyelewengan dana program Indonesia pintar (PIP) ini, hanyalah satu jenis dari penyakit komplikasi yang sudah lama bersarang di tubuh Lembaga-lembaga Pendidikan kita hari ini.

Namun permasalahannya tidak berhenti pada masalah kualitas lembaga/sekolah maupun tenaga pendidiknya saja, namun di Indonesia sendiri masih begitu banyak masalah dan kesenjangan yang berkelindan dalam dunia pendidikannya. Di antaranya: dalam hal sarana prasarana dan akses Pendidikan yang sulit didapatkan. Faktanya di Indonesia masih begitu banyak anak-anak yang menghadapi kesulitan dalam mengakses pendidikan, terutama di daerah terpencil dan pedalaman. Jarak yang jauh antara tempat tinggal dengan sekolah, kurangnya sarana transportasi, dan minimnya infrastruktur pendidikan di daerah-daerah tersebut menjadi hambatan tersendiri bagi akses pendidikan yang merata. Sehingga hal tersebut juga seringkali memunculkan masalah ketimpangan pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan, maupun kelompok sosial ekonomi ke bawah untuk mendapatkan akses pendidikan yang berkualitas. Termasuk dalam konteks mendapatkan jalur SNBP ini, banyaknya pengakuan dari sekolah-sekolah di daerah yang mengaku terkendala sinyal dan jaringan dalam menghimpun data untuk mendaftarkan siswa yang ikut dalam seleksi, adalah bentuk kesenjangan digitalisasi dalam hal kemampuan mengakses teknologi informasi dan komunikasi. 

Di sisi lain masalah gaji dan tunjangan guru yang belum memadai juga menjadi PR besar bangsa ini dalam upaya menghargai Pendidikan sekaligus para tenaga pendidiknya. Kesenjangan upah antara pegawai honorer dan pegawai negeri, guru sekolah negeri dan swasta menjadi persoalan yang telah berlangsung lama tanpa ada solusi yang berarti. Padahal bagaimanapun juga kualitas kinerja para pendidik juga dipengaruhi oleh upah yang diterima, kesejahteraan dalam hal finansial guru juga akan mempengaruhi kesehatan mental dan psikologis mereka dalam mengemban tugas sebagai pendidik. Bisa jadi, banyaknya kasus pungli dan penyelewengan berbagai jenis dana sekolah maupun berbagai bentuk kelalaian guru di sekolah adalah dampak dari rendahnya gaji yang harus diterima para pendidik, sementara harus berpacu dengan kebutuhan hidup yang terus meningkat dan harus terpenuhi.

Dan terakhir masalah yang tak kalah besar sedang membelit dunia pendidikan kita adalah fenomena rendahnya mutu literasi, wawasan, perilaku dan kepribadian peserta didik/siswa yang nampak makin buruk dan problematik. Berbagai kasus yang tidak sedap hampir tersaji setiap harinya di meja suguhan dunia pendidikan kita; tawuran pelajar, seks bebas, bullying, konflik antar siswa dan dengan guru hingga masalah rendahnya minat baca dan motivasi belajar siswa. Tak heran ketika menurut satu survey, Indonesia berada pada peringkat bawah dalam hal kemampuan membaca dan menulis dibandingkan dengan negara-negara lain. Sampai di sini dapat kita pahami betapa masih rendahnya kualitas pendidikan di negeri ini. Padahal pendidikan yang berkualitas adalah tonggak kemajuan suatu bangsa, pendidikan bukan sekadar sebagai sarana ‘agent of change’ bagi generasi muda yang akan menjadi penerus suatu bangsa, tapi lebih dari itu harus menjadi ‘leader of change’ agar dapat memimpin dan menciptakan suatu transformasi yang nyata bagi satu peradaban dunia.


Carut-marut Buah Sistem Kapitalisme

Carut-marut permasalahan dalam dunia pendidikan hari ini tentu tidaklah muncul dengan sendirinya, namun ada sebab yang menjadi akar segala penyakit yang tengah membelit segala sektor kehidupan termasuk pada sektor pedidikan. Lalu sebab apa? Penyebabnya adalah kapitalisme-sekularisme yang dianut dengan logika kapitalis global/dunia. Kapitalis dunia bekerja dengan logika akumulasi kapital yang ditandai dengan investasi, industri, informasi dan individual. Maka dengan sistem ini pendidikan pun haruslah mengikuti logika mereka, dunia pendidikan tidak bisa lepas dari konsep privatisasi, kalau sudah begitu negara pun lepas tanggung jawab. Yang tersisa adalah komersialisasi pendidikan berbasis investasi. Relasi lembaga pendidikan dan peserta didik mengarah pada transaksi harga antara penjual dan pembeli, pada akhirnya ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam kapitalisme hanya beredar di kalangan menengah ke atas saja. Inilah yang menjadi pemicu berbagai kesenjangan dalam pendidikan, khususnya pada sekolah-sekolah negeri yang sangat kurang dalam mendapatkan perhatian dari pemerintah/negara selain dari ala kadarnya saja. 

Sekolah-sekolah swasta pun tidak lepas dari masalah yakni meningkatnya biaya pendidikan dan ketidakpastian ekonomi sehingga pendidikan swasta kurang terjangkau bagi semua kalangan, belum lagi guru dan siswa juga rentan terdampak tekanan dan stres yang terkait dengan ekspektasi akademis yang tinggi, sebab sekolah swasta dikenal karena kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan belajar individu. Pada akhirnya yang nampak pada dunia dan sistem pendidikan kita adalah pola hubungan pendidikan dengan proses industrialisasi. Sebab pendidikan selalu diarahkan pada kepentingan dagang atau politik. Budaya belajar bergeser menjadi budaya ekonomis, yakni upaya mempersiapkan tenaga produktif untuk dijual dalam bursa kerja kapitalis dunia. Maka karakter pembelajar yang dibangun bukanlah yang berkepribadian baik sebagai pemikir, kritis dan meguasai ilmu kehidupan seperti matematika, sains, dan teknologi, melainkan para pembelajar yang sekularis, hedonis, materialis, individualis, dan pragmatis dengan budaya serba instan.

Logika sistem sekuler-kapitalisme juga menjadi sebab atas masalah guru-guru yang kurang berkualitas dalam megemban tanggug jawabnya sebagai pendidik, padahal guru merupakan salah satu pilar utama dalam sistem Pendidikan dan dari kualitas guru itu pula kualitas pendidikan dan kualitas sumber daya manusia di suatu negara akan ditentukan. Namun kembali lagi pada akar masalah system kapitalisme yang gagal dalam memberi perhatian baik dalam hal pelatihan maupun dalam hal kesejahteraan, sehingga berdampak pada tidak terpenuhinya standar kompetisi dan profesionalisme para guru. Dalam segala keterbatasannya kemampuan guru dalam menguasai materi, metode, dan media pembelajaran, serta dalam berinteraksi dengan peserta didik, orang tua, dan masyarakat menjadi sangat rendah.

Rendahnya kompetensi guru di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain: kurangnya kualifikasi akademik guru, yang masih banyak di bawah standar minimal S1 atau D4, terutama di daerah-daerah tertinggal. Kurangnya pelatihan dan pengembangan profesional guru, yang masih jarang, tidak merata, dan tidak sesuai dengan kebutuhan guru. Serta kurangnya pengawasan dan evaluasi kinerja guru, yang masih lemah, tidak objektif, dan tidak transparan. (tirto.id)

Itu semua adalah buah dari kegagalan negara dalam sistem kapitalisme yang tidak mampu memberi akses semudah-mudahnya dan semurah-murahnya bagi masyarakat dalam berkompetisi menjadi tenaga-tenaga ahli profesional khususnya sebagai guru atau pendidik. Lihat saja hanya berapa persen dari penduduk Indonesia yang mempunyai akses/kemampuan pada jenjang sekolah tinggi/perguruan tingi dan di perguruan tinggi yang berkualitas? Nyatanya sepanjang tahun 2024, tercatat hanya sekitar 27% saja penduduk Indonesia yag dapat menempuh pendidikan tinggi/berkuliah. Hal itu tentu disebabkan karena biaya kuliah yang cukup mahal sementara sebagian besar dari penduduk Indonesia masih dalam garis kemiskinan.

Demikian perilaku-perilaku korupsi di sekolah yang kian membudaya adalah buah dari akidah sekularisme yang telah sedemikian rupa merusak akhlak dan pola pikir manusia. Budaya korupsi di sekolah ini telah banyak dilakukan dengan berbagai cara, contohnya di beberapa Sekolah Dasar, SMP hingga SMA masih banyak yang melakukan pungutan secara umum. Padahal hal tersebut sudah diatur dalam Peraturan Mendikbud No. 44 Tahun 2012 tentang pemungutan. Beberapa waktu ini ada banyak terungkap kasus di beberapa sekolah di berbagai kota maupun kabupaten yang ketahuan telah curang atau melakukan tindakan tidak terpuji yaitu korupsi, dari mulai korupsi dana BOS, gratifikasi system zonasi, hingga pemotongan bahkan penyelewengan dana PIP seperti yang sedang banyak terungkap di Karawang dan di beberapa kota lainnya di Jawa Barat dan Jabodetabek.

Akidah sekularisme yang menjauhkan manusia dengan aturan Allah dan Rasul-Nya telah sedemikian merusak niat dan orientasi guru dalam mengajar, sehingga gampang sekali dipengaruhi oleh beberapa faktor eksternal yang dapat memicu terjadinya korupsi di lingkungan sekolah. Contohnya, seperti faktor individu yang menyebabkan keinginan seorang pendidik untuk memperoleh keuntungan secara pribadi, lemahnya integritas, adanya tekanan ekonomi seperti kondisi ekonomi yang sulit, dapat pula mendorongnya melakukan tindakan korupsi dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, dan tuntunan alam kapitalisme yang melahirkan gaya hidup konsumtif, materi menjadi poros kehidupan hingga nekad menghalalkan segala cara.

Faktor lainnya adalah lemahnya sistem pengawasan, kurangnya transparansi seperti informasi mengenai penggunaan dana sekolah yang tidak transparan dapat memicu kecurigaan dan membuka peluang terjadinya korupsi. Terutama di sekolah-sekolah dalam bentuk Yayasan/usaha perorangan (individu). Faktor birokrasi yang rumit oleh negara juga dapat memberi celah bagi kepala atau pemilik sekolah untuk melakukan tindak korupsi, seperti prosedur yang rumit kurangnya akuntabilitas seperti tidak ada kejelasan mengenai tanggung jawab masing-masing pihak dalam pengelolaan dana sekolah dapat menyebabkan terjadinya penyalahgunaan wewenang. Selanjutnya, penegakan sanksi dan hukum yang lemah ditambah dengan intervensi politik dalam pengelolaan pendidikan dapat memicu
terjadinya korupsi.

Yang terakhir adalah faktor sistemik, hal ini bisa terjadi karena sistem pendidikan yang belum ideal seperti kurikulum yang kurang relevan, sarana dan prasarana yang terbatas, serta kualitas guru yang belum merata dapat menciptakan kondisi yang
memungkinkan terjadinya korupsi, regulasi yang tidak efektif seperti peraturan
perundang-undangan yang mengatur pengelolaan pendidikan belum sepenuhnya efektif dalam mencegah terjadinya korupsi.

Saat ini, sektor pendidikan berada di antara lima kasus korupsi terbesar di Indonesia. Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan bahwa 33% sekolah memiliki kemungkinan terlibat dalam korupsi anggaran. Data korupsi sekolah berikut berasal dari laporan Indonesia Corruption Watch (ICW). Mereka menunjukkan 1.695 kasus korupsi di sektor pendidikan dari 2018 hingga 2023. Tersangka terbanyak dalam kasus korupsi sekolah adalah kepala dan wakil kepala sekolah, diikuti oleh guru, kepala tata usaha, penanggungjawab teknis kegiatan, dan bendahara sekolah. Bayangkan seorang siswa atau pelajar yang bermimpi meraih pendidikan tinggi, namun harus putus sekolah karena tidak mampu membayar pungutan liar. Atau seorang guru yang terpaksa terlibat korupsi demi memenuhi kebutuhan hidup. Situasi ini bukanlah khayalan, melainkan kenyataan pahit yang terjadi di banyak sekolah di Indonesia. (Dikutip dari jurnal akademik: Penerapan Hukum dalam Menangani Kasus Korupsi di Sekolah: Perspekif
Sosiologi Tentang Dampak dan Solusi)


Saatnya Hijrah pada Sistem Pendidikan Islam

Islam meletakan pendidikan pada posisi penting dalam masyarakatnya, sehingga memewajibkannya pada setiap umat/pemeluknya untuk belajar. Maka tidaklah heran sepanjang sejarah kejayaan peradaban Islam Pendidikan tetap terjaga di tengah kaum Muslim dari generasi ke generasi dengan kekayaan tsaqafah yang menjadi sumber peradaban Islam itu sendiri. Pendidikan dalam Islam telah berlangsung dan diajarkan oleh Rasulullah Muhammad Saw. yang menjadi panutan (role model) peserta didik yang mesti menjalankan fungsi sebagai abdullah (hambah Allah) sekaligus al-khalifah fil ‘ardh. Sepanjang sejarah peradabannya Islam telah berhasil melahirkan generasi-generasi emas yang berakhlak dan berwawasan tinggi hingga padanya banyak terlahir para ulama-ulama sekaligus merangkap sebagai ilmuwan yang ilmu-ilmunya masih relevan dan dijadikan rujukan hingga zaman sekarang, maupun pakar-pakar dengan disiplin pengetahuannya. Ini adalah gambaran dan bukti dari keberhasilan penyelanggaraan pendidikan dalam Islam. Hal itu tidak lepas dari tujuan pendidikan itu sendiri, sebab tujuan pendidikan dalam Islam yakni upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis dalam rangka membentuk manusia atau generasi yang memiliki syakhsiyah Islam atau kepribadian Islam yang kuat yang tmemiliki pemikiran Islam dengan handal; menguasai ilmu-ilmu terapan (pengetahuan, ilmu, dan teknologi/PITEK); memiliki keterampilan yang tepat guna dan berdaya guna. Serta mempunyai pola sikap dan prilaku yang juga sesuai Islam; berakhlak baik; berbudi luhur, jujur, mandiri, disiplin, punya etos kerja yang tinggi serta bertanggung jawab, dan yang tak kalah penting ialah punya sikap konsekuen terhadap keislamannya yang sadar bahwa segala perbuatannya terikat dengan aturan syarak, apakah bernilai pahala ataukah justru sebaliknya bernilai maksiat atau dosa. Ridha Allah akan menjadi acuan dalam setiap tindakkan dan keputusan yang diambilnya.

Pada masa kejayaannya dengan system khilafah Islam, literasi generasi ke generasinya kala itu lebih tinggi daripada Eropa. Hal tersebut didukung oleh keberadaan Perpustakaan Umum Cordova (Andaluisa) memiliki lebih dari 400 ribu buku. Ini termasuk jumlah yang luar biasa untuk ukuran zaman itu. Perpustakaan Al-Hakim (Andalusia) memiliki 40 ruangan yang di setiap ruangannya berisi lebih dari 18 ribu judul buku. Perpustakaan Darul Hikmah (Mesir) mengoleksi sekitar 2 juta judul buku. Perpustakaan Umum Tripoli (Syam) mengoleksi lebih dari 3 juta judul buku. Perpustakaan semacam itu tersebar luas di berbagai wilayah negara Khilafah.

Ya, semua bentuk keberhasilan pendidikan dalam Islam tersebut tidak terlepas dari peran negara, negara benar-benar hadir dan menjadi pihak yang bertanggung jawab dalam formalisasi pendidikan Islam seperti kebijakan terkait tujuan, strategi, kurikulum dan perbukuan; metode kegiatan belajar mengajar, ijazah dan sertifikasi; penetapan usia sekolah, jenjang pendidikan, kalender pendidikan, standardisasi pendidik dan tenaga kependidikan; sarana dan prasarana; akreditasi lembaga; penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan; kerjasama internasional; serta pembiayaan. Kebijakan ini ditetapkan agar warga negara dari semua kalangan baik kaum Muslim atau kafir dzimmiy (nonmuslim yang dalam perlindungan daulah Islam) dapat mengakses pendidikan secara mudah, murah bahkan gratis, terjangkau, serta berpengaruh. (Dikutip dari rubrik majalah al-wa’ie)

Dalam hal sarana dan prasarana belajar seperti; gedung sekolah, kampus, perpustakaan, laboratorium, asrama, pusat kajian dan penelitian, pusat informasi dan publikasi, percetakan, berbagai buku, jurnal, majalah, surat kabar, radio, televisi, dll juga dijamin negara Islam dalam penyediaanya, tidak heran jika hal ini telah membawa keniscayaan lahirnya para ulama mujtahid dan para ahli yang banyak menghasilkan karya inovasi dan berbagai temuannya sepanjang sejarah peradaban Islam.

Sistem pendidikan dalam Islam memberlakukan satu kurikulum yaitu kurikulum yang ditetapkan oleh negara dengan memperhatikan usia dan tumbuh kembang peserta didik. Adapun keberadaan sekolah dan perguruan tinggi swasta tidak dilarang selama mengikuti kebijakan negara. Negara juga mengijinkan pelaksanaan pendidikan secara informal dan non-formal oleh lembaga keluarga dan masyarakat yang dilakukan di rumah, masjid, partai politik, media massa, dll, namun tetap memperhatikan segi pemikiran dan pengetahuan dalam pendidikan informal dan non-formal ini agar tetap berlandaskan akidah Islam.

Maka dengan itu pula negara berkewajiban dalam menyediakan pendidik dan tenaga kependidikan yang berkualitas: amanah, kompeten dan memiliki etos kerja yang baik serta mampu menjadi teladan bagi peserta didik. Kendati para pendidik tidak mencari nilai materi dalam mengajar, namun negara tetap wajib memberikan pendidikan berkelanjutan bagi peningkatan kualitas pendidik, serta tunjangan dan jaminan kesejahteraan dengan gaji yang memadai. Dengan model perhatian yang besar dari negara seperti inilah kasus-kasus kelalaian hingga tindak korupsi oleh pendidik dan sekolah hampir tidak terjadi dalam sejarah daulah Islam. Jika pun terjadi kasus korupsi oleh sekolah atau oknum-oknum guru maka negara akan segera bertindak secara cepat dan transparan, serta menjatuhkan hukuman tegas bagi tindak pidana korupsi yang telah diatur oleh hukum yang ditetapkan oleh negara, yang jenis hukumannya akan diserahkan penuh pada keputusan khalifah dalam bentuk takzir. Walhasil peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, ulama, serta inventor/penemu dalam daulah Islam telah memberikan kemaslahatan yang besar bagi umat. Negara memberikan jaminan kesejahteraan juga penghargaan yang besar baik berupa beasiswa, tunjangan, bahkan hadiah kepada mereka kala itu.

Kesejahteraan guru pada masa kejayaan Islam telah banyak dituliskan dalam sejarah, khususnya dalam masa Khulafaur Rasyidin dan masa-masa khalifahan penerusnya. Sebagai contoh ketika Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. memerintahkan untuk memberikan tunjangan bagi para guru. Seperti yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Al-Wadhin bin ‘Atha’ yang berkata: “Ada tiga orang guru di Madinah yang mengajar anak-anak, dan Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. memberikan nafkah kepada masing-masing dari mereka 15 dirham setiap bulan. Khalifah Umar juga memerintahkan untuk membangun rumah-rumah untuk pendidikan dan menempatkan orang-orang untuk mengajar dan mendidik anak-anak.

Pada masa Daulah Umayah, pendidikan mengalami perkembangan seiring dengan meluasnya wilayah Negara Islam. Disebutkan bahwa anggaran tahunan Damaskus untuk pendidikan yang ditetapkan oleh Muawiyah mencapai empat ratus ribu dinar. Itu setelah dipotong pengeluaran wajib untuk Diwan Tentara dan para gubernur, para ahli fiqh, muazin dan hakim. Khalifah juga berupaya memperluas jangkauan pendidikan ke berbagai wilayah hingga ke perkampungan dengan mengirim para ulama yang mendapatkan gaji dari negara.

Demikian juga pada era Khilafah Abbasiyah perhatian terhadap pendidikan termasuk dari aspek pembiayaan juga sangat besar. Diriwayatkan oleh Ibnu Khalikah, bahwa ketika Khalifah Harun ar-Rasyid tiba di Kufah, ia memerintahkan untuk memberikan dua ribu dirham kepada setiap qari’ yang masyhur. Meskipun demikian, karena kezuhudan terhadap dunia, tidak semua menerimanya. Salah satunya adalah Dawud ath-Tha’i. Dia dengan rendah hati menolak menerima uang itu. Pada masa itu orangtua murid juga dapat memberikan upah kepada guru yang mengajari anak-anak mereka. Meskipun demikian, sebagian dari guru tidak mengambil upah dari kegiatan mengajar mereka. Pada masa Khilafah Abbasiyah, sekolah-sekolah dalam bentuk wakaf berkembang dengan pesat. Di antaranya ada yang khusus untuk mengajarkan al-Quran, tafsir, hadis dan fiqih. Ada pula madrasah untuk ilmu kedokteran. Juga madrasah untuk anak-anak yatim. Masa ini juga menyaksikan kelahiran madrasah-madrasah Nizhamiyah di Baghdad, Naisabur dan Thus yang didirikan oleh Wazir Seljuk, Nizham Al-Mulk (w. 485H/1092M). Sistem tunjangan keuangan dan pelayanan khusus untuk guru dan murid diberikan secara sama. Disebutkan bahwa Nizham al-Mulk menginfakkan 600.000 dinar untuk pendidikan. Nilai wakaf Nizhamiyah Baghdad saja diperkirakan 60.000 dinar, dengan penghasilan tahunan 15.000 dinar. Tak heran pada masa Khilafah Abbasiyah inilah ilmu kedokteran juga berkembang pesat sejalan dengan perkembangan pelayanan kesehatan yang disediakan gratis. Salah satunya melalui pembangunan pelayanan kesehatan Bimaristan (bahasa persia, bimar yang berarti sakit dan satan berarti tempat atau rumah23), yang merupakan rumah sakit lengkap dengan layanannya.

Demikianlah secarik gambaran politik pendidikan dalam Islam yang telah menjadi bagian integral dari pembangunan peradaban Islam sejak zaman Nabi Muhammad saw., masa Khulafaur Rasyidin, hingga masa Kekhilafahan setelahnya. Negara wajib menyediakan pendidikan secara gratis kepada rakyatnya tanpa memandang agama, suku, ras, dan status ekonomi dan sosial mereka berikut sarana-prasarana dan insfratruktur yang cukup dan layak sebagai penunjang keberlangsungan pendididkan. Tunjangan diberikan kepada guru-guru sebagai dukungan finansial yang sangat memadai. Dengan model pendidikan dan perhatian besar negara seperti itulah lahirlah generasi-generasi Islam yang berkualitas menjadi para ulama sekaligus para ilmuwan yang menghasilkan karya-karya intelektual yang tinggi, tidak hanya terbatas pada tsaqafah Islam, tetapi juga mencakup berbagai ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi dunia seperti kedokteran, kimia dan astronomi. Para pendidik atau guru juga dapat terhindarkan dari sikap-sikap kelalaian maupun tindakan tidak terpuji seperti halnya korupsi. Semua itu adalah buah ketika ideologi Islam menjadi dasar politik pendidikan sebuah negara.

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Liza Burhan
Aktivis Muslimah

Daftar Pustaka:
1. https://alwaie.net/iqtishadiyah/pembiayaan-pendidikan-di-negara-islam/
2. https://alwaie.net/analisis/sistem-pendidikan-islam-solusi-permasalahan-global-pendidikan/

Opini

×
Berita Terbaru Update