Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Dapatkah Sistem Kapitalisme Mencegah Stunting Melalui Program MBG?

Minggu, 09 Februari 2025 | 06:27 WIB Last Updated 2025-02-08T23:27:28Z
TintaSiyasi.id -- Diterapkannya kebijakan MBG atau Makan Bergizi Gratis untuk menyelesaikan stunting di negeri ini ternyata makin banyak masalah yang bermunculan. Salah satunya adalah kurangnya anggaran pendanaan, makanan yang tidak berkualitas atau membahayakan, dan sasaran yang tidak sesuai dengan yang diharapkan masyarakat. Pastinya, kebijakan ini bukanlah solusi tuntas mencegah stunting.

Beberapa minggu lalu, Prabowo Subianto menyatakan dirinya 'gelisah' karena masih banyak anak yang belum mendapatkan MBG. Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hidayana, mengungkapkan butuh anggaran yang besar mencapai 100 triliun rupiah untuk memberi makan gratis kepada 82,9 juta penerima manfaat.

Dadan menerangkan bahwa anggaran untuk program MBG yang sudah ditetapkan dalam APBN mencapai 71 triliun rupiah. Dari dana tersebut, diperkirakan hanya cukup untuk memberi makan bergizi sebanyak 15–17,5 juta penerima manfaat. Hal tersebut membuat presiden gelisah karena banyak anak yang melaporkan kepada ibunya bahwa mereka tidak kebagian makanan dari Pak Prabowo. (cnnindonesia.com, 17/01/2025)

Tentu hal ini terjadi karena negara belum selesai memecahkan problem pendanaan anggaran dan makanan yang kurang berkualitas bahkan berbahaya. Dalam hal ini, dikabarkan ada 40 siswa SD Negeri Dukuh 03 di Sukoharjo keracunan saat menyantap menu makanan bergizi gratis tersebut. Semua ini menunjukkan bahwa negara tidak serius mengurusi rakyat. Kebijakan ini juga pada dasarnya tidak menyelesaikan akar dari masalah generasi yang belum terpenuhinya kebutuhan gizi dan tingginya kasus stunting di negeri ini.

Program MBG diduga bukan didedikasikan untuk kepentingan rakyat, melainkan proyek pencitraan yang ujung-ujungnya hanya membuat rakyat terbebani. Bisa kita lihat, sebelum program ini dijalankan tampak belum direncanakan secara matang. Sehingga, kebijakan MBG ini seolah hanya dijadikan alat kampanye untuk menarik suara rakyat dan terbukti justru mengundang korporasi.

Maka tidak heran program ini disebut sebagai program populis. Pemimpin dalam sistem kapitalisme memang diposisikan hanya sebagai regulator kebijakan, bukan untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan rakyat. Bahkan hanya untuk memenuhi kepentingan para oligarki yang mempunyai peran besar pada tampuk kekuasaan yang dimiliki penguasa saat ini.

Negara dalam sistem kapitalisme sangat jauh dari peran utamanya sebagai pengurus dan pelayan rakyat, termasuk dalam menjamin kebutuhan gizi generasi mencegah stunting. Kepemimpinan berasaskan sekularisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan, adalah penyebab utamanya dan akar masalah saat ini. Sehingga, kepemimpinan yang terjadi memberikan kebebasan kepada manusia untuk mengatur kehidupan sesuai akal dan hawa nafsunya.

Maka lahirlah kezaliman dan ketidakadilan yang tak terhindarkan. Tentu semua ini adalah bukti buruknya sistem yang diterapkan di negeri ini. Oleh karena itu, sistem kapitalisme tidak akan bisa melahirkan generasi yang berkualitas, bahkan hanya untuk mencegah kasus stunting. Sehingga, kesejahteraan hidup rakyat dengan kebijakan yang katanya mampu menyelesaikan masalah gizi generasi terlihat tidak terealisasi dengan baik.

Berbeda dengan kepemimpinan dalam Islam di bawah institusi khilafah. Sistem yang mampu menjamin kebutuhan gizi generasi dengan mekanisme yang mudah dan betul-betul gratis serta berkualitas. Mulai dari memerintahkan setiap kepala keluarga atau laki-laki agar bekerja untuk menafkahi keluarganya dan memenuhi kebutuhan mereka. Dan kewajiban negara menyediakan lapangan pekerjaan untuk mereka, baik dengan pendekatan langsung maupun tidak langsung.

Pendekatan secara langsung yaitu negara menyediakan lapangan kerja secara luas. Dalam negara Islam, sumber daya alam seperti api, air, dan padang rumput adalah kepemilikan umum yang pengelolaannya wajib dilakukan oleh negara, bukan oleh swasta baik dalam negeri maupun luar negeri (asing). Maka dengan mekanisme ini akan memudahkan para pencari nafkah untuk memenuhi semua kebutuhan bagi keluarganya, terutama kebutuhan gizi.

Sedangkan secara tidak langsung, negara Islam akan menciptakan iklim usaha sehat dan kondusif. Jika individu tersebut tidak mampu mengelolanya, maka beban tersebut akan dialihkan kepada wali atau ahli warisnya. Berikutnya kepada Baitul Mal. Selain itu, kepala negara wajib membangun kedaulatan pangan di bawah departemen kemaslahatan umat.

Departemen yang dibuat akan menjaga dan menjamin kualitas pangan yang beredar di tengah masyarakat. Negara akan mengoptimalkan produksi pangan dalam negeri dengan cara mengaktifkan pertanian, perkebunan, peternakan, dan sebagainya. Negara Islam membangun infrastruktur yang memadai hingga rakyat mudah menemukan pekerjaan yang mendorong terwujudnya kedaulatan pangan.

Dalam negara Islam juga menetapkan kebutuhan berupa pelayanan pendidikan, kesehatan, dan keamanan yang dijamin oleh negara. Maka pemenuhan atas ketiga pelayanan itu diberikan langsung oleh negara kepada seluruh masyarakat tanpa kecuali dan diberikan dengan cara gratis. Maka setiap keluarga benar-benar dialokasikan secara optimal untuk kebutuhan pokok termasuk dalam memenuhi kebutuhan gizi keluarga.

Dalam Islam, negara tidak boleh menyerahkan urusan rakyat kepada pihak swasta. Dalam negara khilafah akan melibatkan para pakar dalam membuat kebijakan terkait dengan pemenuhan gizi untuk pemecahan stunting, maupun mewujudkan kesejahteraan dan kedaulatan pangan.

Dana yang diambil untuk pemenuhan rakyat bersumber dari Baitul Mal untuk mewujudkan semua kebijakan pengurusan rakyat yang berkualitas dan baik. Sungguh hanya dengan penerapan Islam secara kaffah di bawah institusi khilafah yang akan mampu mewujudkan gizi generasi dan melahirkan generasi pembangun peradaban dunia dengan berkepribadian Islam.

Oleh: Marlina Wati, S.E 
Muslimah Peduli Umat

Opini

×
Berita Terbaru Update