"Salah satu kapabilitas yang
amat penting diperlukan dari seorang pemimpin adalah kemampuannya dalam
merumuskan visi bersama," ujarnya dalam Catatan Dakwah majalah media
politik dan dakwah Al-Wa'ie edisi Januari tahun 2025 berjudul Pemimpin Visioner, Jumat (01/01/2025).
UIY menyatakan, “Visi itu akan
menjadi panduan ke mana langkah akan diayun. Ibarat bahtera, visi akan
menentukan arah ke mana kapal itu berlayar, berikut tahapan-tahapan perjalanan
yang harus ditempuh. Tanpa visi, perjalanan akan berlangsung tanpa arah.”
Ia menjelaskan, bukan hanya
memberi arah, visi yang gamblang juga memasok energi besar yang sangat
diperlukan dalam menggalang usaha bersama. "Perjalanan yang berat tentu
akan semakin membosankan bila tidak jelas ke mana sebenarnya arah yang hendak dituju,"
ungkapnya.
“Di sinilah letak pentingnya
pemimpin yang visioner. Dia akan menjadi lokomotif yang menghela perjalanan
gerbong idealisme bersama. Di tangan pemimpin dengan visi yang kuatlah tercetak
persitiwa-peristiwa besar dunia," imbuhnya.
Ada empat visi yang disampaikan
Rasulullah kepada umat Islam. “Pertama, orientasi utama hidup seorang
Muslim adalah bagaimana meraih kebahagiaan hidup yang kekal abadi di akhirat
kelak,” ujarnya.
"Semua manusia pasti akan
melalui satu fase kehidupannya di dunia. Dengan kesadaran bahwa hidup yang
sesungguhnya adalah nanti di akhirat, maka kehidupan dunia adalah sebagai mazra’ah
al-akhirat (sawah-ladang akhirat); tempat menanam kebaikan untuk dituai
hasilnya nanti di akhirat," ujarnya
Kedua, kendati hidup yang
sesungguhnya adalah di akhirat nanti, hidup di dunia sekarang tak boleh
dilupakan.
"Kehidupan dunia tetap harus
dijalani dengan sebaik-baiknya. Dengan segala daya dan upaya, umat Islam
didorong untuk meningkatkan kualitas kepribadian, pengetahuan untuk meraih
keberhasilan segala bidang," ungkapnya.
Ia menambahkan lagi, keberadaan
risalah Islam yang diturunkan Allah justru memang untuk mengatur hidup manusia
di dunia, bukan di akhirat.
"Jadi salah besar bila ada
seorang Muslim yang menjauhi dunia, uzlah, withdrawal (menarik
diri) atau apapun istilahnya dengan alasan untuk meraih akhirat. Sikap eskapis
(melarikan diri) seperti itu sama sekali tidak dibenarkan,” tuturnya.
“Itu hanya dalih saja untuk
menutupi semacam kepengecutan jiwa yang
tidak mau atau gagal dalam menghadapi tantangan kehidupan dunia. Secara faktual
sikap seperti ini juga sangat berbahaya. Ini kontra produktif dengan semangat
untuk mewujudkan keunggulan Islam di semua segi,” tambahnya.
Ketiga, dalam kehidupan di
dunia manusia tidak mungkin melepaskan diri dari interaksi dengan orang lain.
"Interaksi ini diperlukan
sebagai upaya rasional untuk meraih kemaslahatan bersama. Sikap seperti apa
yang dibangun dalam pergaulan antar manusia akan menentukan kualitas interaksi
di antara mereka,” jelasnya.
Tentu pada akhirnya, lanjutnya, akan
menentukan pula apakah kemaslahatan bersama yang diinginkan itu bisa dicapai
atau tidak.
“Menyangkut hal ini, Allah
mengingatkan kita untuk membangun interaksi dengan cara berbuat baik kepada
sesama manusia sebagaimana Allah berbuat baik kepada kita. Semestinya begitulah
interaksi di antara manusia dibangun, yakni
dengan semangat akhlaqul-karimah,” ungkapnya.
Keempat, peringatan untuk
tidak berbuat kerusakan di muka bumi. "Kehidupan di dunia dan interaksi
sesama manusia akan berjalan dengan sebaik-baiknya bila didasarkan pada tatanan
yang benar dan dilakukan oleh manusia-manusia yang berakhlak mulia,” terangnya.
“Peringatan untuk tidak berbuat
kerusakan di muka bumi menandaskan pentingnya menjaga terus-menerus agar
tatanan yang benar, yakni syariat Islam yang menjadi dasar seluruh interaksi di
antara manusia tetap tegak berjalan,” tegasnya.
“Bila tegaknya syariat menjamin
perwujudan kebaikan, berarti pengingkaran terhadap syariat akan berujung pada
kerusakan. Ini harus dicegah!" yakinnya.
Ia memungkasi bahwa memang luar
biasa pengaruh visi dalam memandu orang untuk berbuat.[] Hidayah Muhammad