“Mengenai
pertanyaan pertama tentang hukum belalang dan ulat sagu, jawaban kami wa
billāhi al-taufīq adalah sebagai berikut,” tutur Kiai Shiddiq.
Hukum
memakan belalang (al-jarād) adalah boleh (halal). Dalilnya antara lain:
Pertama, hadis dari ‘Abdullah bin ‘Umar RA sebagai berikut :
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
«أُحِلَّتْ لَكُمْ مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ، فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ: فَالْجَرَادُ
وَالْحُوتُ، وَأَمَّا الدَّمَانِ: فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ». رواه ابن ماجه
(3314) واللفظ له، وأحمد (5723)
Dari
‘Abdullah bin ‘Umar ra., dia berkata, ”Rasulullah saw. bersabda, ’Telah
dihalalkan bagi kalian dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai, adalah
belalang dan ikan. Sedangkan dua darah, adalah hati dan limpa.” (HR
Ibnu Majah, no. 3314; dan Ahmad; no. 5723. Hadis sahih).
Kedua, hadis dari Ibnu Abi Aufa RA sebagai berikut:
عَنْ ابْنِ أَبِيْ أَوْفَى رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا، قَالَ: «غَزَوْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
سَبْعَ غَزَوَاتٍ أَوْ سِتًّا، كُنَّا نَأْكُلُ مَعَهُ الجَرَادَ » رواه البخاري
(5495) ، ومسلم (1952)
Dari
Ibnu Abi Aufa RA, dia berkata, ”Kami telah berperang bersama Nabi saw. sebanyak
tujuh atau enam kali peperangan. Dulu kami beserta beliau (Rasulullah saw.)
telah memakan belalang.” (HR Al-Bukhari, no. 5495; Muslim, no. 1952).
“Adapun
hukum memakan ulat sagu adalah haram, menurut pendapat yang rājih (lebih
kuat) dalam kajian kami. Alasannya, karena ulat sagu merupakan larva (Arab: yarqūt)
dari sejenis kumbang (an-nahlah), yaitu kumbang sagu (Rhynchophorus
ferruginenus) yang menjadi hama pada tanaman sagu dan kelapa. Padahal
terdapat kaidah fikih yang melarang memakan kumbang (an-nahlah)
yang di-istinbāth (digali/disimpulkan) dari dalil yang melarang membunuh an-nahlah
dalam satu hadis Nabi saw.. Kaidah fikih yang dimaksud
berbunyi sebagai berikut,” jelasnya.
كُلُّ مَا نُهِيَ عَنْ قَتْلِهِ فَلاَ يَجُوْزُ أَكْلُهُ
Kullu mā nuhiya ‘an qatlihi fa-lā yajūzu
akluhu. “Setiap binatang
yang dilarang untuk dibunuh, maka tidak boleh memakannya.” (As-Sayyid Sabiq, Fiqh
Al-Sunnah, 3/185-186; Imam Syaukani, Nailul Authār, Juz VIII, hlm.
294; Tafsīr Al-Baghawī (Ma’ālim Al-Tanzīl), Riyadh : Dar Thaybah,
Cetakan I, 1409/1989, hlm. 199).
Ia
menegaskan, maka jika ada larangan untuk membunuh an-nahlah (termasuk
kumbang sagu), berarti tidak boleh memakan kumbang sagu itu, karena dalam
sebuah hadis, Nabi saw. telah melarang untuk membunuh al-nahlah,
yang dapat diartikan lebah/tawon/kumbang, sebagaimana riwayat Ibnu Abbas ra. berikut
ini :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْه، قَالَ : « إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ قَتْلِ أَرْبَعٍ مِنَ الدَّوَابِّ: النَّمْلَةُ،
وَالنَّحْلَةُ، وَالْهُدْهُدُ، وَالصُّرَدُ ». رواه أبو داود وصححه الألباني.
Sesungguhnya Nabi
SAW telah melarang untuk membunuh empat macam binatang, yaitu semut (al-namlah),
tawon/lebah/kumbang (al-nahlah), burung Hudhud, dan burung Shurad. (HR
Abu Dawud, no 5267; dan dinilai sebagai hadis shahih oleh Syekh
Nashiruddin Al-Albani).
Imam
Al-Khaththābī menjelaskan hadis di atas dengan mengatakan:
فَكُلُّ مَنْهِيٍّ عَنْ قَتْلِهِ مِنَ
الْحَيَوَانِ فَإِنَّمَا لِأَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا لِحُرْمَتِهِ فِيْ نَفْسِهِ
كَاْلآدَمِيِّ، وَإِمَّا لِتَحْرِيْمِ لَحْمِهِ كَالصُّرَدِ وَالْهُدْهُدِ
وَنَحْوِهِمَا
“Maka segala hewan
yang dilarang untuk dibunuh, sesungguhnya dikarenakan salah satu dari dua
kemungkinan; boleh jadi karena kehormatan pada dirinya sendiri seperti halnya
manusia; dan boleh jadi karena keharaman dagingnya seperti burung Shurad,
burung Hudhud, dan yang semisalnya.” (Imam Al-Khaththābi, Ma’ālimus Sunan,
4/204).
“Kesimpulannya,
ulat sagu hukumnya haram dimakan, karena telah terdapat dalil yang melarang
untuk membunuh hewan kategori al-nahlah (lebah/tawon/kumbang). Padahal
setiap hewan yang dilarang untuk dibunuh, artinya adalah hewan itu haram
dagingnya untuk dimakan oleh seorang muslim, sesuai kaidah fikih:
كُلُّ مَا نُهِيَ
عَنْ قَتْلِهِ فَلاَ يَجُوْزُ أَكْلُهُ
“Setiap binatang
yang dilarang untuk dibunuh, berarti tidak boleh memakannya.” (Imam Syaukani, Nailul
Authar, Juz VIII, hlm. 294).
“Adapun
pertanyaan kedua, mengapa kebijakan MBG (Makan Bergizi Gratis) ini memasukkan
kemungkinan adanya menu belalang dan ulat sagu?, Jawaban kami adalah sebagai
berikut,” sebutnya.
“Menurut
kami, alasan menu belalang dan ulat sagu itu bukanlah karena pertimbangan
strategis, misalnya karena nilai gizi yang tinggi pada belalang dan ulat sagu,
melainkan karena pertimbangan pragmatis dan “kepepet” karena terbatasnya
anggaran untuk membiayai program MBG. Inilah sebab hakiki mengapa muncul
kebijakan MBG (Makan Bergizi Gratis) dengan menu yang “agak lain” seperti
belalang dan ulat sagu. Buktinya adalah Presiden Prabowo sendiri telah
menegaskan tekadnya untuk menghemat anggaran sebesar Rp306,69 triliun,”
kutipnya dari www.cnbcindonesia.com, 23/01/2025.
Maka
kesimpulannya, program MBG dengan menu belalang dan ulat sagu ini bukanlah
suatu tanda kreativitas dan terobosan yang spektakuler dari pemimpin negara ini,
melainkan suatu signal “kegagalan” atau minimal “kelemahan” dari pemerintahan
di era Prabowo karena malasnya berpikir dari pemimpin dan miskinnya anggaran
negara untuk menyejahterakan rakyat.
“Dalam
pandangan Islam, kalau pemerintah mau membuat program MBG (Makan Bergizi
Gratis) bagi siswa-siswa sekolah, tolong berikanlah menu yang wajar, seperti
telur ayam, daging sapi, ikan, kerupuk, dan sebagainya. Jangan masukkan menu
yang aneh-aneh dengan alasan kearifan lokal atau ada nilai gizinya bla bla
bla, padahal alasan sebenarnya adalah tidak adanya anggaran untuk menu yang
layak,” serunya.
Kiai
melanjutkan penjelasannya, “Mengapa pemerintah tega memasukkan menu belalang
dan ulat sagu ke dalam program MBG? Apakah pemerintah sudah sedemikian melarat
dan kerenya sehingga hanya mampu memberikan menu rendahan dan hina seperti
belalang dan ulat sagu kepada generasi muda harapan kita?
“Sesungguhnya
Islam adalah agama yang mencintai ketinggian (kemuliaan) pada segala sesuatu,
dan pada waktu yang sama membenci berbagai hal yang rendahan atau hina. Sabda
Rasulullah saw.:
إنَّ اللهَ تَعَالىَ
يُحِبُّ مَعَالِيَ اْلأُمُوْرِ وَأَشْرَافَهَا وَيَكْرَهُ سَفْسَافَهَا
Sesungguhnya Allah Ta’ala menyukai perkara-perkara yang tinggi lagi
mulia dan membenci perkara-perkara yang rendah (hina). Wallāhu
a’lam.,” pungkasnya dengan menukil HR Al-Thabrani, Al-Mu’jam
Al-Awsath, no. 6906).[] Rere