Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Belalang dan Ulat Sagu dalam Program MBG, Halalkah?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 15:33 WIB Last Updated 2025-02-01T08:33:11Z

Tintasiyasi.ID -- Ahli Fikih Islam K.H. M. Shiddiq Al-Jawi, M.Si. menjawab pertanyaan Abu Abdurrahman Auf dari Depok tentang hukum makan belalang dan ulat sagu dan mengapa muncul usulan tersebut yang dilontarkan oleh Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana jika belalang dan ulat sagu bisa menjadi salah satu menu dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG).

 

“Mengenai pertanyaan pertama tentang hukum belalang dan ulat sagu, jawaban kami wa billāhi al-taufīq adalah sebagai berikut,” tutur Kiai Shiddiq.

 

Hukum memakan belalang (al-jarād) adalah boleh (halal). Dalilnya antara lain:

 

Pertama, hadis dari ‘Abdullah bin ‘Umar RA sebagai berikut :

 

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : «أُحِلَّتْ لَكُمْ مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ، فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ: فَالْجَرَادُ وَالْحُوتُ، وَأَمَّا الدَّمَانِ: فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ». رواه ابن ماجه (3314) واللفظ له، وأحمد (5723)

 

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar ra., dia berkata, ”Rasulullah saw. bersabda, ’Telah dihalalkan bagi kalian dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai, adalah belalang dan ikan. Sedangkan dua darah, adalah hati dan limpa.” (HR Ibnu Majah, no. 3314; dan Ahmad; no. 5723. Hadis sahih).

 

Kedua, hadis dari Ibnu Abi Aufa RA sebagai berikut:

 

عَنْ ابْنِ أَبِيْ أَوْفَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: «غَزَوْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبْعَ غَزَوَاتٍ أَوْ سِتًّا، كُنَّا نَأْكُلُ مَعَهُ الجَرَادَ » رواه البخاري (5495) ، ومسلم (1952)

 

Dari Ibnu Abi Aufa RA, dia berkata, ”Kami telah berperang bersama Nabi saw. sebanyak tujuh atau enam kali peperangan. Dulu kami beserta beliau (Rasulullah saw.) telah memakan belalang.” (HR Al-Bukhari, no. 5495; Muslim, no. 1952).

 

“Adapun hukum memakan ulat sagu adalah haram, menurut pendapat yang rājih (lebih kuat) dalam kajian kami. Alasannya, karena ulat sagu merupakan larva (Arab: yarqūt) dari sejenis kumbang (an-nahlah), yaitu kumbang sagu (Rhynchophorus ferruginenus) yang menjadi hama pada tanaman sagu dan kelapa. Padahal terdapat kaidah fikih yang melarang memakan kumbang (an-nahlah) yang di-istinbāth (digali/disimpulkan) dari dalil yang melarang membunuh an-nahlah dalam satu hadis Nabi saw.. Kaidah fikih yang dimaksud berbunyi sebagai berikut,” jelasnya.

 

كُلُّ مَا نُهِيَ عَنْ قَتْلِهِ فَلاَ يَجُوْزُ أَكْلُهُ

 

Kullu mā nuhiya ‘an qatlihi fa-lā yajūzu akluhu. “Setiap binatang yang dilarang untuk dibunuh, maka tidak boleh memakannya.” (As-Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, 3/185-186; Imam Syaukani, Nailul Authār, Juz VIII, hlm. 294; Tafsīr Al-Baghawī (Ma’ālim Al-Tanzīl), Riyadh : Dar Thaybah, Cetakan I, 1409/1989, hlm. 199).

 

Ia menegaskan, maka jika ada larangan untuk membunuh an-nahlah (termasuk kumbang sagu), berarti tidak boleh memakan kumbang sagu itu, karena dalam sebuah hadis, Nabi saw. telah melarang untuk membunuh al-nahlah, yang dapat diartikan lebah/tawon/kumbang, sebagaimana riwayat Ibnu Abbas ra. berikut ini :

 

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْه، قَالَ : « إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ قَتْلِ أَرْبَعٍ مِنَ الدَّوَابِّ: النَّمْلَةُ، وَالنَّحْلَةُ، وَالْهُدْهُدُ، وَالصُّرَدُ ». رواه أبو داود وصححه الألباني.

 

Sesungguhnya Nabi SAW telah melarang untuk membunuh empat macam binatang, yaitu semut (al-namlah), tawon/lebah/kumbang (al-nahlah), burung Hudhud, dan burung Shurad. (HR Abu Dawud, no 5267; dan dinilai sebagai hadis shahih oleh Syekh Nashiruddin Al-Albani).

 

Imam Al-Khaththābī menjelaskan hadis di atas dengan mengatakan:

 

فَكُلُّ مَنْهِيٍّ عَنْ قَتْلِهِ مِنَ الْحَيَوَانِ فَإِنَّمَا لِأَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا لِحُرْمَتِهِ فِيْ نَفْسِهِ كَاْلآدَمِيِّ، وَإِمَّا لِتَحْرِيْمِ لَحْمِهِ كَالصُّرَدِ وَالْهُدْهُدِ وَنَحْوِهِمَا

 

Maka segala hewan yang dilarang untuk dibunuh, sesungguhnya dikarenakan salah satu dari dua kemungkinan; boleh jadi karena kehormatan pada dirinya sendiri seperti halnya manusia; dan boleh jadi karena keharaman dagingnya seperti burung Shurad, burung Hudhud, dan yang semisalnya.” (Imam Al-Khaththābi, Ma’ālimus Sunan, 4/204).

 

“Kesimpulannya, ulat sagu hukumnya haram dimakan, karena telah terdapat dalil yang melarang untuk membunuh hewan kategori al-nahlah (lebah/tawon/kumbang). Padahal setiap hewan yang dilarang untuk dibunuh, artinya adalah hewan itu haram dagingnya untuk dimakan oleh seorang muslim, sesuai kaidah fikih:

 

كُلُّ مَا نُهِيَ عَنْ قَتْلِهِ فَلاَ يَجُوْزُ أَكْلُهُ

 

Setiap binatang yang dilarang untuk dibunuh, berarti tidak boleh memakannya.” (Imam Syaukani, Nailul Authar, Juz VIII, hlm. 294).

 

“Adapun pertanyaan kedua, mengapa kebijakan MBG (Makan Bergizi Gratis) ini memasukkan kemungkinan adanya menu belalang dan ulat sagu?, Jawaban kami adalah sebagai berikut,” sebutnya.

 

“Menurut kami, alasan menu belalang dan ulat sagu itu bukanlah karena pertimbangan strategis, misalnya karena nilai gizi yang tinggi pada belalang dan ulat sagu, melainkan karena pertimbangan pragmatis dan “kepepet” karena terbatasnya anggaran untuk membiayai program MBG. Inilah sebab hakiki mengapa muncul kebijakan MBG (Makan Bergizi Gratis) dengan menu yang “agak lain” seperti belalang dan ulat sagu. Buktinya adalah Presiden Prabowo sendiri telah menegaskan tekadnya untuk menghemat anggaran sebesar Rp306,69 triliun,” kutipnya dari www.cnbcindonesia.com, 23/01/2025.

 

Maka kesimpulannya, program MBG dengan menu belalang dan ulat sagu ini bukanlah suatu tanda kreativitas dan terobosan yang spektakuler dari pemimpin negara ini, melainkan suatu signal “kegagalan” atau minimal “kelemahan” dari pemerintahan di era Prabowo karena malasnya berpikir dari pemimpin dan miskinnya anggaran negara untuk menyejahterakan rakyat.

 

“Dalam pandangan Islam, kalau pemerintah mau membuat program MBG (Makan Bergizi Gratis) bagi siswa-siswa sekolah, tolong berikanlah menu yang wajar, seperti telur ayam, daging sapi, ikan, kerupuk, dan sebagainya. Jangan masukkan menu yang aneh-aneh dengan alasan kearifan lokal atau ada nilai gizinya bla bla bla, padahal alasan sebenarnya adalah tidak adanya anggaran untuk menu yang layak,” serunya.

 

Kiai melanjutkan penjelasannya, “Mengapa pemerintah tega memasukkan menu belalang dan ulat sagu ke dalam program MBG? Apakah pemerintah sudah sedemikian melarat dan kerenya sehingga hanya mampu memberikan menu rendahan dan hina seperti belalang dan ulat sagu kepada generasi muda harapan kita?   

 

“Sesungguhnya Islam adalah agama yang mencintai ketinggian (kemuliaan) pada segala sesuatu, dan pada waktu yang sama membenci berbagai hal yang rendahan atau hina. Sabda Rasulullah saw.:

 

إنَّ اللهَ تَعَالىَ يُحِبُّ مَعَالِيَ اْلأُمُوْرِ وَأَشْرَافَهَا وَيَكْرَهُ سَفْسَافَهَا

 

Sesungguhnya Allah Ta’ala menyukai perkara-perkara yang tinggi lagi mulia dan membenci perkara-perkara yang rendah (hina). Wallāhu a’lam.,” pungkasnya dengan menukil HR Al-Thabrani, Al-Mu’jam Al-Awsath, no. 6906).[] Rere

 

 

Opini

×
Berita Terbaru Update