Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Banyak Sumber Protein Enak dan Mudah Ditemukan, Kenapa Harus Serangga?

Rabu, 05 Februari 2025 | 08:21 WIB Last Updated 2025-02-05T01:22:06Z
TintaSiyasi.id -- Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana menyatakan bahwa serangga dapat menjadi alternatif sumber protein dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG). Menurutnya, menu MBG dirancang sesuai dengan potensi lokal, sehingga memungkinkan daerah tertentu memanfaatkan serangga yang sudah lazim dikonsumsi.

Pernyataan ini memunculkan diskusi tentang jenis serangga apa saja yang aman dikonsumsi. Di tengah meningkatnya kebutuhan akan keberagaman pangan, serangga dianggap sebagai salah satu solusi yang ramah lingkungan dan kaya nutrisi. Namun, tidak semua serangga layak dimakan. Oleh karena itu, penting untuk memahami jenis dan proses pengolahannya.

Beberapa serangga yang populer dikonsumsi antara lain belalang, jangkrik, ulat Hong Kong, ulat sagu, dan kumbang kelapa. Serangga yang dikonsumsi sebaiknya berasal dari sumber yang terkontrol untuk menghindari kontaminasi mikroba patogen atau logam berat. Di Indonesia, belalang goreng sudah menjadi kuliner khas di beberapa daerah, sementara ulat sagu sering dijadikan makanan di wilayah timur. (Tempo.co, 27/1/2025)

Serangga sebagai Menu MBG: Solusi atau Polemik?

Sungguh disayangkan bahwa ada ide dari pejabat kementerian untuk menjadikan serangga sebagai salah satu menu Makan Bergizi Gratis. Pasalnya, serangga bukanlah makanan yang umum dikonsumsi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan protein.

Buktinya, hanya mendengar istilah lauk serangga saja sudah membuat ibu-ibu se-Indonesia geram. Sudah susah payah menyiapkan bekal makan siang yang dihias sedemikian rupa, anak-anak masih sulit makan, apalagi jika diberi lauk serangga. Bukannya meningkatkan nafsu makan, yang ada justru membuat anak-anak jijik, bahkan trauma terhadap makan siang gratis dari sekolah.

Padahal, banyak sumber protein lain yang enak dan mudah ditemukan, seperti ayam, telur, dan ikan. Jadi, kenapa harus serangga? Negeri ini kaya raya. Seperti dalam lirik lagu legendaris Koes Plus, "Tongkat kayu dan batu saja bisa jadi tanaman." Indonesia tidak dalam keadaan kelaparan atau krisis pangan hingga harus menjadikan serangga sebagai salah satu lauk pilihan.

Secara global, makan serangga memang dipraktikkan sebagai solusi untuk mengatasi kelaparan dan kekurangan gizi, terutama di negara-negara berkembang. Serangga adalah sumber protein dan lemak yang baik serta mudah didapatkan dengan harga murah. Praktik makan serangga ini disebut entomofagi dan umum dilakukan di banyak negara Afrika. Namun, kebijakan ini justru terkesan merendahkan masyarakat.

Selain itu, tidak semua jenis serangga aman untuk dikonsumsi. Dilansir dari Detik.com (27/1/2024), Ahli Gizi dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada (UGM), Toto Sudargo, mengingatkan adanya potensi alergi dari konsumsi serangga.

Proses pengolahannya juga harus benar dan dilakukan oleh koki profesional. Belalang, misalnya, berisiko mengandung bakteri Salmonella typhosa karena habitatnya di lingkungan yang kotor, seperti persawahan dan dekat kotoran hewan.

Oleh karena itu, pemilihan serangga yang tepat dan aman untuk dikonsumsi membutuhkan penelitian yang mendalam. Jika dikonsumsi tanpa pengetahuan yang cukup, apalagi oleh anak-anak, program ini justru dapat menimbulkan masalah kesehatan baru.

MBG: Kebijakan yang Tidak Menyentuh Akar Masalah

Meskipun belum menjadi kebijakan resmi, wacana ini menggambarkan ketidakpedulian negara terhadap generasi penerus. Program MBG tampak hanya sebagai kebijakan pencitraan semata. Inilah watak penguasa dalam sistem kapitalisme yang abai terhadap perannya sebagai pengurus dan pelindung umat.

Generasi muda, sebagai aset bangsa, seharusnya mendapat perhatian besar dari negara. Namun, negara justru seolah menjadikan mereka sebagai kelinci percobaan dalam kebijakan Makan Bergizi Gratis ini.

Kebijakan MBG juga seharusnya dipahami bukan sebagai solusi utama dalam mengatasi stunting dan gizi buruk. Program ini lebih merupakan upaya tambal sulam atas kegagalan sistem kapitalisme dalam mensejahterakan rakyat dan memenuhi kebutuhan pangan berkualitas.

Pemenuhan Gizi Generasi: Tanggung Jawab Negara

Islam menetapkan bahwa pemenuhan gizi generasi adalah tanggung jawab negara sebagai ra’īn (pengurus) rakyatnya, termasuk dalam memenuhi kebutuhan pangan berkualitas.

Rasulullah ﷺ bersabda:

"Imam adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya." (HR. Bukhari)

Seorang pemimpin ibarat penggembala. Mereka akan merasa bahagia ketika rakyatnya sehat dan kuat karena seluruh kebutuhan gizinya terjamin.

Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 9:

"Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar."

Agar para ayah mampu memenuhi tanggung jawabnya dalam menyediakan makanan bergizi bagi keluarganya, negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan yang cukup dan memastikan penghasilan yang layak bagi mereka. Tanpa peran negara, mustahil semua ini dapat terwujud.

Stunting dan gizi buruk hanyalah dampak dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar karena pendapatan rakyat lebih kecil dibandingkan pengeluaran. Jika kondisi ini terus berlanjut, angka kemiskinan akan meningkat, yang pada akhirnya memengaruhi tingkat stunting dan gizi buruk.

Jadi, jika ditinjau dari aspek gizi, akar masalahnya bukanlah pada program MBG itu sendiri, melainkan pada kemiskinan yang menghalangi terbentuknya generasi sehat dan kuat.

Negara wajib berperan dalam menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya. Jika ada yang tidak mampu bekerja karena usia lanjut, sakit keras, atau kecelakaan, negara harus memberikan bantuan langsung sehingga tidak ada keluarga yang kelaparan dan kekurangan gizi.

Negara juga harus berupaya untuk tidak bergantung pada impor. Sebaliknya, negara harus mewujudkan ketahanan dan keamanan pangan serta memastikan distribusi bahan pangan merata ke seluruh wilayah. Dengan demikian, harga pangan menjadi lebih murah dan terjangkau bagi seluruh rakyat.

Untuk mendukung hal ini, sistem ekonomi Islam harus diterapkan. Sistem ini memungkinkan negara untuk mengelola sumber daya alam secara mandiri, termasuk tambang minyak, gas bumi, listrik, hutan, dan perairan, dengan hasil yang dikembalikan kepada rakyat.

Sejarah mencatat bahwa pada masa Kekhalifahan Islam, negara mampu menyediakan pendidikan gratis hingga jenjang tinggi, termasuk asrama, makanan, dan layanan kesehatan bagi para pelajar. Sistem ini memungkinkan negara untuk tidak hanya memberikan makanan bergizi gratis kepada siswa, tetapi juga menjamin kesejahteraan seluruh rakyatnya.

Inilah bukti bahwa sistem Islam telah terbukti mampu menyejahterakan rakyatnya. Maka, perjuangan untuk mengembalikan sistem ini menjadi tanggung jawab besar umat Islam agar kebutuhan dasar rakyat dapat terpenuhi dengan baik.

Oleh: Nabila Zidane
Jurnalis

Opini

×
Berita Terbaru Update