TintaSiyasi.id -- Gelombang seruan toleransi kembali digaungkan oleh sejumlah pejabat tinggi negara, mulai dari Menteri Agama hingga kepala daerah. Salah satunya adalah Wali Kota Jambi, Dr. Maulana, yang mengungkapkan pentingnya semangat Natal untuk memperkuat keharmonisan dalam masyarakat serta menjaga toleransi dan kerukunan antarumatis beragama (1/12/2024).
Tidak berhenti sampai di situ, Menteri Agama sekaligus Imam Besar Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar, meresmikan pembangunan Terowongan Silaturahim yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral (12/12/2024). “Kami berharap dengan terbangunnya Terowongan Silaturahim ini akan memudahkan akses zaman antarbangunan ibadah serta menjadi simbol toleransi antara umat beragama," ujar Menteri Agama. Alih-alih mempererat harmoni kebangsaan, seruan tersebut justru memantik polemik di kalangan umat Islam. Hal ini menunjukkan adanya ketidakpahaman mendalam di kalangan pejabat mengenai peran mereka sebagai penjaga akidah umat.
Prinsip toleransi yang harus dipegang sebagaimana termaktub dalam surah Al-Kafirun berbunyi: "Bagimu agamamu, bagiku agamaku." Artinya, setiap mukmin tidak perlu ikut serta, apalagi memeriahkan perayaan yang menyangkut akidah umat beragama lain. Sebagai pemimpin, tugas mereka bukan sekadar memastikan keberagaman hidup berdampingan, tetapi juga melindungi umat dari pengaruh yang dapat merusak keyakinan.
Hak Asasi Manusia (HAM) sering dijadikan standar utama dalam berbagai kebijakan, bahkan dalam urusan yang bersentuhan langsung dengan akidah dan syariat Islam. Akibatnya, nilai-nilai agama mulai tergerus dan masyarakat semakin longgar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah. Ditambah lagi, minimnya pemahaman agama di tengah masyarakat bukan hanya persoalan individu, tetapi juga disebabkan oleh kurangnya peran negara dalam menjaga akidah umat.
Prinsip toleransi dalam Islam sangat tegas. Toleransi bukan hanya menjaga kerukunan, tetapi juga memelihara akidah umat. Islam menawarkan konsep yang tidak sekadar menjadi slogan. Prinsip ini terbukti menjadi pilar keharmonisan masyarakat, khususnya ketika ajaran Islam diterapkan secara kaffah. Toleransi dalam Islam bukan berarti membiarkan akidah tergerus, melainkan menjaga keseimbangan antara penghormatan terhadap perbedaan dan keteguhan memegang aturan Allah.
Dalam sistem Islam, para penguasa diwajibkan memberikan nasihat takwa kepada masyarakat, khususnya pada momen krusial yang berpotensi membahayakan keyakinan umat, seperti perayaan hari besar agama lain. Nasihat ini bukan hanya seruan moral, tetapi juga panduan agar umat tidak tergelincir dalam sikap yang melanggar syariat. Negara Islam memiliki Departemen Penerangan yang bertugas memberikan edukasi dan panduan yang jelas kepada masyarakat tentang bagaimana menyikapi hari besar agama lain, seperti Natal dan Tahun Baru. Ini merupakan bentuk nyata tanggung jawab negara dalam memelihara pemahaman umat terhadap syariat.
Selain itu, Negara Islam memiliki Qadhi Hisbah, yaitu otoritas khusus yang mengawasi implementasi hukum syariat di masyarakat. Qadhi Hisbah memberikan penjelasan langsung mengenai tempat-tempat yang rawan interaksi lintas agama, termasuk panduan terkait perayaan Natal dan Tahun Baru. Hal ini memastikan umat memahami batas-batas syariat tanpa kehilangan esensi toleransi yang diajarkan Islam.
Inilah wajah Islam yang sesungguhnya. Sistem Islam yang komprehensif menunjukkan bahwa Islam tidak sekadar agama ritual, tetapi juga solusi bagi keharmonisan masyarakat. Bukan sekadar menjaga harmoni, Islam menjamin bahwa harmoni itu tidak mengorbankan akidah. Dengan penerapan sistem Islam secara menyeluruh, umat dapat hidup damai dalam masyarakat yang plural tanpa kehilangan identitas keislamannya.
Oleh: Mutiara Putri
Aktivis Mahasiswa