TintaSiyasi.id-- Ulama Aswaja, K.H. Hafidz Abdurrahman, M.A, menyatakan bahwa sesungguhnya kata khilafah merupakan ismul syar'i, yang berarti satu istilah datangnya langsung dari Allah SWT.
“Artinya ketika ini, yaitu kata khilafah atau khalifah merupakan ismul syar'i, ini bukan istilah yang dibuat oleh ulama. Ini bukan istilah yang dibuat oleh ormas juga. Tetapi ini adalah istilah yang Allah SWT dan Rasul gunakan di dalam Nash Al-Qur'an, Hadis, dengan konotasi syarak. Sebagaimana istilah shalat, zakat, haji dan jihad,” ujarnya dalam Isra Mikraj Forum di YouTube One Ummah TV, Senin (27-1-2025).
Namun, katanya, bayangan tentang khilafah telah hilang dari benak umat Islam karena telah runtuh sekitar seratus tahun yang lalu. "Padahal seharusnya, umat Islam harus tahu istilah khilafah adalah ajaran Islam. Sebab para ulama telah memahami khilafah sebagai ma’lumun min ad-diin dururoh (perkara yang telah dipahami urgensinya)," ujarnya.
Istilah khilafah lanjut Kiai Hafidz, merupakan kata yang berasal dari Bahasa Arab. “Khilafah itu dalam bahasa Arab disebut sebagai masdarnya. Atau kita sebut sebagai institusinya. Sedangkan khalifah itu adalah person, pemangku jabatan. Baik khilafah dan khalifah keduanya adalah merupakan istilah dalam syariat. Atau disebut ismum syar’i,” jelasnya.
Artinya, katanya, ketika suatu kata merupakan ismun syar'i, maka kata tersebut bukanlah buatan ulama atau kelompok tertentu seperti yang sering dilekatkan dengan Hizbut Tahrir. Akan tetapi, merupakan istilah yang Allah SWT dan Rasul-Nya gunakan di dalam nas Al-Qur'an. Seperti dalam surat Al-Baqarah ayat ke 30, akan mendapati kata khalifah di dalamnya.
Selain itu, lanjutnya, kata khilafah juga banyak digunakan dalam hadis-hadis termasuk dalam hadis populer yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad.
"Jadi bukan pendapat yang syak. Ini pendapat yang dapat dirujuk dalam kitab popular Al-Ihkam fussul Al-Ahkamiyah Al-Amidi. Kitab besar ushul fikih yang jarang dibaca,” lanjut Kiai Hafidz.
Definisi
Kemudian, definisi khilafah yang dapat dirujuk penjelasannya secara syar’i menurutnya, dapat dirujuk dari defenisi yang jelaskan oleh Al-’Allamah al-Qadhi Syekh Muhammad Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan bahwa khilafah adalah,
رياسة عامة لجميع المسلمين في العالم لتطبيق الأحكام الشرعية وحمل الدعوة إلى العالم
(Kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di seluruh dunia untuk menerapkan hukum syara’ dan mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia).
“Artinya umat Islam di seluruh dunia itu, punya satu kekuasaan, satu sistem peemrintahan, itu yang maksudna. Lalu litatbiqi ahkamis sya’iyyah, adanya khilafah itu bukan hanya untuk menerapkan hukum Islam tetapi juga wahamlud dawah ilal'alam (dakwah Islam ke seluruh dunia), itulah tugas dari kekhilafahan Islam,” terangnya lagi.
Fahkum (Menerapkan Risalah)
Adapun terkait dalil-dalil kewajiban menegakkan khilafah yang sering dipersoalkan banyak orang, Kiai Hafidz menyebutkan terdapat bertebaran baik dalam Al-Qur’an maupun sunah Rasulullah saw. Pertama. Salah satunya dalam surat Al-Maidah ayat 48.
“Dalil terkait dengan kewajiban untuk menegakkan khilafah ini bertebaran, bertebaran di dalam Al-Qur'an maupun sunah Rasulullah SAW. Surah Al-Maidah ayat 48 tadi misalnya. Ini adalah satu ayat yang kita bisa buktikan menjadi dalil. Allah menyatakan dalam Al-Qur'an, fahkum bainahum bima anzalallahu. Kata fahkum di dalam ayat ini maknanya adalah terapkanlah pemerintahan,” bebernya.
Perlu diingat, katanya, ayat tersebut hanya diperintahkan kepada Nabi Muhammad saw., dan tidak kepada nabi maupun rasul lainnya yang hanya diperintahkan untuk tablig. Karena dalam Al-Qur'an Allah menyatakan, wa ma'alar rasul illa bil balag, yaitu bahwa tugas seorang rasul tidak lain adalah tablig, menyampaikan risalah, tetapi untuk Nabi Muhammad ada titah khusus, yaitu fahkum (menerapkan hukum).
“Apa maknanya? Artinya Nabi Muhammad tidak hanya diberi amanah untuk melakukan tablighur risalah, menyampaikan risalah. Tetapi juga diperintah untuk fahkum, agar menerapkan risalah itu. Oleh karena itulah kemudian Rasulullah saw mendirikan negara Islam di Madinah,” tandasnya.
Maksud Allah dalam surah al-Maidah ayat 48 dalam kaidah ushul ia menjelaskan bahwa dalam kaidah usul,” خطاب الله للرسول خطاب لأمته لم يرد دليل التخصيص ,
seruan Allah kepada Rasul adalah juga seruan untuk umatnya, selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya, tambahnya.
Karena itu, katanya, perintah Allah Swt. kepada Nabi saw. untuk menerapkan hukum berdasarkan hukum yang Allah turunkan, bukan hanya perintah kepada Nabi, melainkan juga perintah kepada seluruh umatnya. Karena itu Nabi mendirikan negara di Madinah yang setelah wafat, negara itu dipimpin oleh para sahabat. Mereka yang meneruskan kepemimpinan negara Islam disebut oleh Nabi sebagai Khulafa’ [Hr. Bukhari dan Muslim], dan negaranya itu disebut Khilafah [Hr. Ahmad].
Kedua. Dalil lain sebut Kiai Hafidz yang menjadi bukti wajibnya untuk menegakkan khilafah adalah, seperti yang disampaikan oleh Imam al-Qurthubi, ” وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيْفَةً .
Dan [ingatlah], Ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat, Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang Khalifah di muka bumi. (Q.s. Al-Baqarah: 30)
Ia menerangkan bahwa surah Al-Baqarah ayat 30 menurut Imam al-Qurtubi yang termuat dalam kitab al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz I/264, ayat tersebut merupakan dalil tentang wajibnya mengangkat seorang Imam atau Khalifah, yang harus didengarkan dan ditaati oleh seluruh kaum muslim.
Adanya seorang Khalifah, akan mampu menyatukan seluruh kaum Muslim dan hukum dalam Al-Qur’an bisa diterapkan. Tidak ada, katanya, perbedaan pendapat tentang kewajibannya antara umat maupun para Imam Mazhab, kecuali yang diriwayatkan dari al-Asham, yang memang tuli tentang syariat.
Ketiga. Selanjutnya, adapun dalil dari hadis yang menjadi bukti wajibnya menegakkan khilafah seperti yang diriwayatkan oleh Muslim.
Dalam As-Sunnah disebutkan,
مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً .
Siapa saja yang mati, sementara di atas pundaknya tidak ada bai’at [kepada seorang Khalifah], maka dia mati dalam keadaan mati Jahiliyah. (Hr. Muslim)
Keempat. Hadis lain juga menyebutkan dari periwayat yang sama yaitu Muslim,
كَانَتْ بَنُوْ إِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِيْ وَسَيَكُوْنُ خُلَفَاءَ فَيَكْثُرُوْنَ”
Dahulu Bani Israil diurus oleh para nabi. Ketika seorang nabi wafat, maka digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada lagi nabi setelahku, Yang ada adalah para Khalifah. Jumlah mereka banyak. [Hr. Muslim].”
Dalil wajibnya menegakkan khilafah juga diperkuat dengan ijmak sahabat kata Kiai Hafidz adalah perbuatan para sahabat yang mengutamakan pemilihan pengganti Rasulullah saw. untuk mengurusi kaum Muslim dan menunda pemakaman Nabi Saw.
“Dalam Kitab as-Shawaiq al-Muhriqah, Juz I/25 oleh Ibnu Hajar al-Haitami menuliskan, Ketahuilah sesungguhnya para sahabat, semoga Allah meridhai mereka, telah sepakat, bahwa mengangkat seorang imam [Khalifah] setelah berakhirnya masa kenabian itu hukumnya wajib. Bahkan, mereka telah menjadikannya sebagai kewajiban yang paling penting, dimana mereka menyibukkan diri mengurusi urusan itu sampai menangguhkan pemakaman Rasulullah SAW,” tambah Kiyai Hafiz seterusnya.
Ia menambahkan, dalam Kitab Ushul as-Sarakhsi Juz I/296, karya Imam as-Sarakhsi menyebutkan bagi siapa saja yang mengingkari ijmak sebagai hujah yang menghasilkan ilmu, maka telah membatalkan pondasi agama.
Oleh karena itu, apabila seseorang mengaku Muslim tetapi masih mempersoalkan istilah khilafah, maka orang tersebut tidak mengerti tentang Islam (agamanya).
“Apabila ia adalah seorang muslim, tapi masih mempersoalkan istilah khilafah, maka ia tidak mengerti bahwa ternyata itu ada dalam kitab sucinya dan ada dalam sunah Nabinya. Dengan demikian, bantahan-bantahan terhadap istilah yang mengatakan seolah-olah khilafah adalah rekayasa ulama dengan sendirinya batal,” pungkasnya. []M. Siregar