Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Ridha Adalah Buah Makrifatullah

Rabu, 01 Januari 2025 | 16:00 WIB Last Updated 2025-01-01T09:00:52Z

TintaSiyasi.id  "Ridha adalah Buah Makrifatullah" adalah ungkapan yang penuh makna spiritual dan sering digunakan dalam konteks tasawuf atau pemahaman agama Islam. Untuk memahami maknanya secara mendalam:

1. Ridha: Ridha berarti penerimaan penuh terhadap takdir Allah tanpa keluhan. Ini adalah sikap hati yang menerima segala ketetapan Allah, baik itu sesuatu yang menyenangkan maupun yang dirasa berat, dengan keyakinan bahwa semua berasal dari hikmah dan kebijaksanaan-Nya.

2. Makrifatullah: Makrifatullah adalah pengetahuan atau pengenalan yang mendalam tentang Allah. Ini mencakup pemahaman tentang sifat-sifat Allah, Keesaan-Nya, dan bagaimana hubungan manusia dengan-Nya. Makrifatullah adalah salah satu puncak dalam perjalanan spiritual seseorang.

3. Hubungan Ridha dan Makrifatullah: Ketika seseorang mencapai makrifatullah, ia menyadari bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam hidup ini adalah bagian dari kehendak dan rencana Allah yang sempurna. Dari kesadaran ini lahir sikap ridha karena orang tersebut telah memahami bahwa semua takdir adalah untuk kebaikan akhiratnya.

Dengan kata lain, ridha adalah buah atau hasil dari makrifatullah. Apabila seseorang telah benar-benar mengenal Allah dengan hati dan jiwanya, maka ia akan selalu ridha dengan ketetapan Allah. Ridha menjadi tanda kedewasaan spiritual seseorang dalam perjalanan menuju Allah.

Orang yang menang atas nafsunya jauh lebih hebat dibanding orang yang berhasil menaklukkan sebuah kota seorang diri. Ungkapan ini mengandung pesan yang sangat mendalam dan mencerminkan kebijaksanaan spiritual yang tinggi. Dalam tradisi Islam, pengendalian diri terhadap hawa nafsu dianggap sebagai salah satu pencapaian terbesar seorang manusia. Mari kita telaah makna dari pernyataan ini:

1. Makna "Menang atas Nafsu"
● Nafsu dalam konteks ini mengacu pada dorongan-dorongan negatif yang bersumber dari jiwa manusia, seperti amarah, keserakahan, kesombongan, dan syahwat yang tidak terkendali.
● "Menang atas nafsu" berarti mampu mengendalikan dan mengarahkan nafsu tersebut sesuai dengan tuntunan agama dan nilai-nilai moral. Ini adalah bagian dari jihad an-nafs (perjuangan melawan diri sendiri), yang disebut sebagai jihad akbar atau jihad terbesar dalam Islam.
2. Makna "Menaklukkan Sebuah Kota"
● Menaklukkan sebuah kota memerlukan kekuatan fisik, strategi, dan keberanian. Namun, pencapaian ini bersifat eksternal. Kemenangan seperti ini lebih mudah dilihat oleh mata manusia, tetapi seringkali tidak mencerminkan keberhasilan batin seseorang.
● Sebaliknya, pengendalian hawa nafsu adalah perjuangan yang terjadi di dalam hati dan jiwa seseorang. Meskipun tidak tampak secara lahiriah, perjuangan ini jauh lebih berat karena musuhnya adalah diri sendiri, yang selalu dekat dan sulit dihindari.

3. Mengapa Mengalahkan Nafsu Lebih Hebat?
● Kekekalan vs Keberlangsungan Sementara: Menaklukkan nafsu memiliki dampak kekal karena terkait dengan kedekatan seseorang dengan Allah dan keselamatan akhiratnya. Sementara itu, menaklukkan kota hanya menghasilkan dampak duniawi yang bersifat sementara.
● Musuh yang Tersembunyi: Nafsu sering kali bertindak secara halus dan tidak kasat mata. Seseorang bisa saja berhasil menaklukkan orang lain atau wilayah, tetapi gagal menaklukkan dirinya sendiri, sehingga hidupnya tetap dipenuhi konflik batin.
● Mencapai Kedewasaan Spiritual: Menang atas nafsu memerlukan kesabaran, kebijaksanaan, dan keikhlasan. Ini adalah kualitas yang mencerminkan kematangan spiritual.

4. Perspektif dalam Islam

Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw. bersabda:
"Mujahid yang sejati adalah orang yang berjihad melawan hawa nafsunya untuk menaati Allah." (HR. Ahmad, At-Tirmidzi).
Hadis ini menunjukkan bahwa perjuangan terbesar seorang Muslim bukanlah pertempuran fisik, tetapi pertempuran melawan dorongan-dorongan buruk dalam dirinya sendiri.

Orang yang berhasil mengalahkan nafsunya menunjukkan bahwa ia memiliki kendali penuh atas dirinya dan mampu menjalani hidup sesuai dengan nilai-nilai kebenaran dan kesucian. Kemenangan seperti ini adalah bukti kekuatan iman dan integritas seseorang, yang jauh lebih mulia daripada kemenangan duniawi semata.

Seluruh Kebaikan ada Pada Menentang Nafsu

Ungkapan "Seluruh Kebaikan ada pada Menentang Nafsu" mengandung pesan mendalam yang berkaitan dengan konsep spiritual dan etika dalam kehidupan manusia. Dalam ajaran Islam dan filsafat moral, nafsu sering kali dipandang sebagai elemen yang harus dikendalikan agar manusia dapat mencapai kebaikan sejati. Berikut adalah analisis maknanya:

1. Nafsu dalam Pandangan Spiritual
● Definisi Nafsu: Nafsu adalah bagian dari jiwa manusia yang berhubungan dengan keinginan, hasrat, dan dorongan duniawi. Dalam Islam, nafsu dibagi menjadi beberapa tingkatan, seperti:
o Nafs Ammarah: Nafsu yang memerintahkan kepada keburukan.
o Nafs Lawwamah: Nafsu yang mencela diri sendiri setelah melakukan kesalahan.
o Nafs Muthmainnah: Nafsu yang tenang karena dekat dengan Allah.
● Potensi Nafsu: Nafsu tidak selalu negatif, tetapi jika tidak dikendalikan, ia cenderung membawa manusia pada perbuatan buruk. Sebaliknya, nafsu yang diarahkan dengan baik dapat menjadi alat untuk mendekatkan diri kepada Allah.

2. Menentang Nafsu sebagai Sumber Kebaikan
● Mengendalikan Nafsu Membawa pada Kebaikan:
o Ketika seseorang menentang nafsu yang mendorong kepada keburukan, ia sedang berjuang untuk tetap berada di jalan yang benar.
o Menahan nafsu amarah, misalnya, menciptakan perdamaian dan harmoni dalam hubungan sosial.
o Menentang nafsu serakah akan mengembangkan sikap qana’ah (puas dengan apa yang dimiliki), yang membawa ketenangan hati.
● Menentang Nafsu Menguatkan Karakter:
o Pengendalian diri membentuk karakter yang sabar, bijaksana, dan teguh dalam menghadapi godaan.
o Orang yang mampu melawan nafsunya menunjukkan kekuatan batin yang luar biasa, yang menjadi dasar semua kebajikan.

3. Perspektif Islam tentang Menentang Nafsu
• Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman:
"Adapun orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sungguh, surga adalah tempat tinggalnya."
(QS. An-Nazi'at: 40-41).
● Rasulullah Saw. bersabda:
"Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, tetapi orang yang kuat adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah."
(HR. Bukhari dan Muslim).
Ungkapan ini menunjukkan bahwa seluruh kebaikan memang berakar pada pengendalian diri dan perjuangan melawan dorongan nafsu yang merusak.

4. Menentang Nafsu dalam Praktik Kehidupan
● Dalam Ibadah: Menahan diri dari rasa malas dan mengutamakan ketaatan kepada Allah, seperti melaksanakan salat tepat waktu, puasa atau bersedekah.
● Dalam Hubungan Sosial: Mengendalikan nafsu amarah, iri hati atau sombong dalam interaksi dengan orang lain.
• Dalam Kehidupan Sehari-Hari: Mengatasi nafsu konsumtif, berlebihan dalam makan, atau keinginan akan hal-hal yang tidak bermanfaat.

Kesimpulan

Menentang nafsu adalah pintu menuju seluruh kebaikan karena ia melibatkan proses pengendalian diri, ketundukan kepada Allah, dan penghindaran dari keburukan. Dalam proses ini, seseorang tidak hanya memperbaiki dirinya sendiri, tetapi juga berkontribusi pada keharmonisan dalam masyarakat dan dunia secara keseluruhan.
Ungkapan ini mengajarkan kita bahwa perjuangan melawan hawa nafsu adalah inti dari perjalanan spiritual yang membawa manusia menuju kedekatan dengan Tuhan dan kesempurnaan akhlak.

Dr Nasrul Syarif M.Si.  
Penulis Buku Gizi Spiritual. 
Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo



Opini

×
Berita Terbaru Update