TintaSiyasi.id—Merespons fenomena menurunnya angka pernikahan dan tingginya angka child free di Indonesia, Direktur Siyasah Institute Ustaz Iwan Januar mengatakan hal itu akan menjadi ancaman besar untuk bangsa ini.
"Akan menjadi ancaman besar untuk bangsa ini," ungkapnya dalam program Spesial Fokus UIY: Refleksi Akhir Tahun 2024 dan Masa Depan Umat Islam di YouTube UIY Official, Selasa (31-12-2024).
Islamic Super Parent ini mencatat, 2023 angka pernikahan yang paling rendah sepanjang sejarah nasional dalam satu dekade. Ia mengingatkan, agar pemerintah segera mengambil kebijakan untuk mendorong dan menyelamatkan angka pernikahan serta kelahiran anak.
Menurutnya, pemerintah mesti menjadikan ini isu yang penting dalam pembangunan manusia, karena dahulu negara ini dikenal dengan bonus demografi namun nyatanya sekarang justru fenomena pernikahan dan tingkat natalitas (kelahiran) itu menurun dibanding dengan 10 tahun lalu.
"Kalau trennya seperti ini terus, ya jadi ancaman nasional," cetusnya.
"Kalau fenomena angka pernikahan ini terus terjadi, ini akan seperti negara Korea Selatan, Jepang, Jerman, Cina juga sekarang itu mereka mengalami ancaman krisis kependudukan, jadi piramidanya terbalik, lebih banyak penduduk usia tua dibanding dengan usia muda dan anak anak," tambahnya.
Ia membeberkan, ada beberapa faktor yang menyebabkan orang menunda bahkan tidak ingin menikah, diantaranya ada faktor ekonomi. Ia melihat, ada banyak laki-laki saat ini yang berpikir panjang, merasa belum cukup mapan dan akhirnya menunda untuk menikah.
"Nah standar mapannya apa? Kalau kita kembalikan pada kehidupan hari ini ya memang berat. Kenapa? Karena hari ini masyarakat itu berjuang sendiri bahkan juga negara mengambil pajaknya, di semua sektor kena pajak, termasuk kenaikan ppn 12 persen itu juga pukulan untuk ekonomi," ungkapnya.
Padahal, katanya, jika merujuk pada Islam semuanya akan lebih mudah dan simpel, bahwa Allah Swt hanya mewajibkan bagi para ayah (suami) memberikan yang
makruf dari segi kebutuhan dasar (primer) kebutuhan pangan, sandang dan papan. Standar makruf artinya sesuai kebutuhan bukan keinginan (gaya hidup) yang berlebihan.
Selain laki-laki, lanjutnya, ada juga fenomena independent woman yang menunda bahkan enggan untuk menikah karena sudah merasa mapan dalam segi ekonomi dan merasa karirnya bagus sebagai perwujudan eksistensi diri dan prestise.
Lebih lanjut ia menjelaskan selain faktor ekonomi, faktor sosial dan budaya juga penyebab angka pernikahan menurun. Faktor sosial ini menyangkut nilai-nilai dan lifesyle yang sedang diadopsi.
"Dalam masyarakat ada nilai-nilai yaitu kesamaan aturan, perasaan dan juga interaksi diantara mereka. Pemikiran dan perasaan yang hari ini mendominasi dan menjadi acuan anak muda kita dan keluarga itu sayangnya bukan dari Islam tapi dari budaya yang masuk ke negeri kita, dari Barat," paparnya.
Seperti budaya hedonisme, ungkapnya, diantaranya memunculkan fenomena FOMO, gaya hidup bebas yang membuat enggan menikah namun kebutuhan biologis tetap bisa dipenuhi secara bebas.
"Ini memang akhirnya menjadikan nikah itu bukan sebuah hal yang dicita-citakan lagi.
Bagaimana dengan kebutuhan biologis? Ya gampang, bisa yang namanya friend with benefits, one night stand. Saya prihatin juga, ini dikampanyekan di berbagai macam podcast-podcast oleh sejumlah publik figur tanah air," terangnya.
Ia melihat, hedonisme melahirkan banyak fenomena baru, seperti munculnya open marriage artinya pasangan suami istri saling terbuka dan sepakat untuk menjalin hubungan seksual dengan orang lain di luar pernikahan.
"Memang dahsyat fenomena hedonisme ditengah-tengah masyarakat kita sekarang ini, akhirnya membuat orang berpikir enggak usah nikahlah, yang penting single, living free," tandasnya. []Tenira